“Assalamu’alaikum, hai Ninaa… wah kangen deh, udah lama gak ketemu, makin subur aja nih…”, jerit kecil Rani dalam sebuah reuni SMP 79 di Jakarta baru-baru ini. Setelah perjumpaan intens itu serta bercanda-ria melalui facebook, akhirnya 5 wanita muda yang sudah tidak bisa dibilang muda lagi, karena usianya sekitar 30 sampai 35 tahunan ini memutuskan untuk berjumpa dalam rangka temu kengen dengan teman-teman satu gengnya dulu, sewaktu mereka masih remaja. “Ikkhh, tebel…”, cubit si langsing Rani, ke lengan Nina yang hanya mesem-mesem tak enak. Kemudian Dian mengalihkan pembicaraan yang menurutnya sudah tidak kondusif lagi karena melihat raut wajah Nina yang agak tidak sumringah seperti biasa.
Di tempat yang lain, “Hai, Ustad Gendut, ayo makan nih Ustad Gendut”, sambil menyorongkan piring berisi roti bakar dan teh manis, Dito, siswa kelas 2 SMP menyorongkan sepiring roti bakar pada ustadnya dalam acara perkemahan akhir tahun di Puncak. Dengan tergopoh-gopoh sang ustad yang memang bertubuh gemuk menyeret tubuhnya yang masih malas bermandikan cahaya matahari dan udara yang sejuk, membuatnya semakin malas untuk bergerak. Tanpa sadar sikapnya itu membuat anak-anak muridnya menjadi berani untuk tidak menghormatinya, dengan panggilan yang melecehkan, “ustad gendut” begitulah panggilannya. Sang ustad pun terlalu malas untuk menjawab atau menegur si anak murid.
“Sst, istri antum hamil lagi ya”, demikian bisik Pak Johan kepada Pak Ferdi ketika mereka bertemu di Bandara Sukarno Hatta. Lalu, perbincangan mereka merembet kesana dan sini yang utamanya menanyakan keadaan bisnis masing-masing. Kemudian dengan wajah malu Pak ferdi menyatakan “Tidak, mungkin istri ana lagi senang, sehingga nafsu makannya agak banyak akhir-akhir ini”, jelasnya ragu dan segera mengalihkan pembicaraan pada hal lain yang membuat suasana pertemuan menjadi lebih nyaman.
“Subhanallah, Anti makin lebar, lagi senang yaa”, demikian sapa sang murrobiyah, guru ngaji wanitanya Santi yang sudah 7 tahun tidak bertemu dengannya sejak Santi dibawa suaminya ke Palembang. ”Iya ni mbak, di palembang makan melulu, keluarga si mas kan punya restoran pempek, dan makanannya enak-enak”, tawa santi.
Si gemuk, Si gendut, si lebar, si tebel, sungguh bukanlah julukan atau panggilan atau pengenalan kepada seseorang yang menyenangkan, apalagi bila dia seorang wanita, maka kegemukan yang berterusan serta langkah yang lambat menyeret tubuhnya membuat sang wanita gemuk akan menjadi minder. Terlebih lagi keadaan seperti ini diingatkan terus oleh teman-temannya atau sanak saudaranya, sementara banyaknya iklan televisi, majalah dan iklan lain dimana-mana yang menggambarkan bahwa tubuh langsing yang dibalut pakaian tipis bahkan setengah terbuka adalah tubuh idaman semua lelaki dan juga impian hampir semua wanita. Media telah membuat image bahwa si langsing adalah ratu, dan dimanapun dia berada, dia berhak mendapatkan prioritas baik dari segi pekerjaan, pertemanan maupun hak untuk mem-bully teman-teman wanitanya yang gemuk.
Bahkan sekarang ini, ukuran eksistensi seseorang sering dilihat dari fisiknya, apalagi bila seorang Da’i adalah wanita maka orang akan melihat dari fisiknya. Bila fisiknya langsing maka menyenangkan untuk diihat dan dia berhak untuk menjadi wanita idola.
Oleh karena itu bila para Da’i wanita (khususnya) kurang gemar untuk bersyiar, maka tidak ada lagi idola terhadap wanita solehah. Tidak akan banyak lagi wanita yang berlomba-lomba mendapatkan gelar sholehah itu, karena lebih banyak wanita mengejar derajat kelangsingan daripada derajat kesolehannya.
Apakah tidak jelas bagimu sabda Rasululloh bahwa : “Dunia adalah perhiasan, Sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang sholehah” (HR. Muslim)
Jadi, sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang sholehah, tidak wanita yang langsing bukan?
Quiz : Mengapa wanita berlomba lomba untuk terlihat langsing?