“Ah, saya lebih suka di rumah, mbak, cukup suami saya saja yang bekerja, dan saya terima apa adanya yang diberikan suami, kalo ada uang kita belanja agak banyakan, tapi kalo tidak ada uang kita amalkan shaum sunnah, semua saya terima dengan ikhas, yang penting apa yang diberikan suami saya ke saya didapatkan dari pekerjaan yang halal, yaa tho mbak?“ Bunda Liha termanggut-manggut mendengar ungkapan pasrah, serta terkagum-kagum dengan sikap qonaahnya Bu Sutri, tetangga barunya yang hidup di rumah kontrakan kecil yang sangat sederhana.
Rumah yang bersih dan rapih itu, tak lama kemudian buyar dan sekejab menjadi berantakan ketika ketiga anaknya pulang sekolah dan berebut mainan dan makanan serta saling menyalakan televisi dengan keras yang kemudian salah satunya menangis dengan lengkingan yang cukup dalam karena marah, satu-satunya coklat tango yang tinggal separuh dan sudah melembek, dimakan dengan lahapnya oleh sang kakak. Sekitar 15 menit lamanya sang ibu yang sabar dan lembut mendiamkan anaknya.
Beberapa hari kemudian, ketika bunda Liha sedang menghitung uang infaq taklim ibu-ibu di perumahan kelapa dua, datang bu Surti yang hari itu lagi-lagi terlambat ikut pengajian dengan alasan masih memasak dan mencuci baju dikarenakan sudah 2 hari ini hujan terus menerus yang membuat baju seragam anak-anak yang hanya punya 2 buah menjadi tidak kering. Karena baju yang dimilikinya hanya 2, maka ketika yang satu digunakan untuk sekolah, dan yang satu lagi dicuci, namun bila yang dicuci tidak kering maka baju seragam yang dipakai sekarang akan diangin-anginkan saja agar keringatnya tidak begitu berbau, setelah itu ditaburi bedak agar besok bisa dipakai lagi. Bila 2 hari hujan terus-menerus maka baju kering berikutnya yang sebetulnya masih lembab akan dipakai juga oleh anaknya, dan untuk keperluan itulah maka bu Surti meminjam setrika di rumah bu Liha dan menyetrika baju seragam anaknya dirumah bu Liha.
Rumah Bu Liha tidak terlalu besar, sehingga bila bu Surti datang untuk menyetrika, maka semua buku dan barang-barang dikamar anak gadis Bu Liha segera disingkirkan agar lantai kamar bisa digelar tumpukan kain dan sarung untuk alas strika. Dengan setengah membungkuk Bu Surti menyetrika baju anaknya dengan tekun, dimulai dari satu baju, lama-lama Bu Surti membawa semua baju dan membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk menyetrika di rumah Bu Liha.
Tentu saja, selain sedikit mengganggu ketenangan Bu Liha yang terkadang tidak bisa keluar rumah lantaran ada tamu yang sedang menyetrika dirumahnya, juga tagihan listrik menjadi bertambah besar. Belum lagi, ketika masakan Bu Liha sudah selesai dimasak yang jumlah potongan tahu dan ikan sudah disesuaikan dengan anggota keluarganya, namun bu Surti dengan ramah dan akrab membuka tutup makanan sambil memuji harumnya tahu serta menanyakan resep serta bumbu apa yang dipakai. Rasanya tidak enak bila Bu Liha hanya diam saja.
Dengan sedikit terpaksa bu Liha membungkuskan beberapa potong tahu dan 1 bagian jatah ikan kembungnya buat Bu surti. Bu Liha teringat hadist bahwa dengan bersedekah atau memberi maka dia akan mendapat ganjaran 700 kali lipat di surga. Dengan ikhlas, Bu Liha hanya berharap akan mendapat tahu dan ikan kembung disurga yang lebih lezat.
Kedekatan bu Surti semakin bertambah dengan keramahan Bu Liha, dan ketika akhirnya Bu Surti mulai rajin menyambangi meja makannya, ikut mencuci dirumahnya dan menyetrika juga di rumahnya, maka Bu Liha berdoa sungguh-sungguh kepada Allah agar hatinya diberikan kelapangan dan keihlasan yang dalam, walaupun berat tetap dijalankan, namun sebelum pertolongan itu datang.
Sebagai manusia biasa Bu Liha sungguh terganggu dengan persaudaraan yang ditawarkan Bu Surti, yang dengan mudahnya menggunakan banyak fasilitas di rumah Bu Liha sehingga membuat tagihan semakin membangkak. Ibarat kata, bu Liha ikut membiayai sebagian dari pengeluaran rumah tangga Bu surti yang tidak mau bekerja ketika dirasakan gaji suaminya tak cukup untuk membiayai keperluan rumah tangganya.
Maka, salahkah bila wanita bersikap lebih realsitis dengan kebutuhan hidup yang begitu banyak, maka mulailah mencari nafkah dengan berjualan apa saja atau memberikan tenaga untuk membantu pekerjaan rumah orang lain atau membuat es mambo untuk dijual atau menerima jahitan atau perbaikan baju yang kepanjangan seperti permak levis atau membuat kue-kue kering yang bisa dijajakan ke sekolah-sekolah dan atau memasak bihun goreng untuk jajanan anak sekolah dasar serta apa saja yang bisa dilakukan dirumah paling tidak sekedar beras dan listrik dapat dibayar dari hasil kerjanya membantu suami.
Bayangkan, para ibu rumah tangga bila suaminya tiba-tiba mengalami kecelakan kerja (nausdzubillah min dzalik) atau tiba-tiba dipanggil yang maha kuasa atau dikarenakan sebab lain, pergi meninggalkan istrinya dan keluarganya. Apakah sang istri harus meminta-minta belas kasihan para tetangga.
Karena itu selagi masih dalam keadan kuat, berusahalah mencari pendapatan walau sedikit, paling tidak bila sudah tecukupi semua kebutuhan, kita dapat menggunakannya untuk bersedekah dengan uang hasil jerih payah kita sendiri,
Mari mencontoh Bunda Zainab, wanita yang tangannya paling panjang karena beliau didapati bekerja dengan jerih payahnya lalu beliau besedekah, subhanallah sikap istri seorang pemimpin besar yang jarang ada pada zaman apapun.
Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra.
Bahwa Rasulullah saw. ketika berada di atas mimbar, beliau menuturkan tentang sedekah dan menjaga diri dari meminta. Beliau bersabda: Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Tangan yang di atas adalah yang memberi dan yang di bawah adalah yang meminta. (Shahih Muslim No.1715)
Hadis riwayat Hakim bin Hizam ra.
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sedekah yang paling utama atau sedekah yang paling baik adalah sedekah dari harta yang cukup. Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Mulailah dari orang yang engkau tanggung (nafkahnya). (Shahih Muslim No.1716)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Kaya itu bukanlah lantaran banyak harta. Tetapi, kaya itu adalah kaya hati. (Shahih Muslim No.1741)
Tiap muslim wajib bersodaqoh. Para sahabat bertanya, "Bagaimana kalau dia tidak memiliki sesuatu?" Nabi Saw menjawab, "Bekerja dengan ketrampilan tangannya untuk kemanfaatan bagi dirinya lalu bersodaqoh." Mereka bertanya lagi. Bagaimana kalau dia tidak mampu?" Nabi menjawab: "Menolong orang yang membutuhkan yang sedang teraniaya" Mereka bertanya: "Bagaimana kalau dia tidak melakukannya?" Nabi menjawab: "Menyuruh berbuat ma’ruf." Mereka bertanya: "Bagaimana kalau dia tidak melakukannya?" Nabi Saw menjawab, "Mencegah diri dari berbuat kejahatan itulah sodaqoh." (HR. Bukhari dan Muslim)