Apa yang membuat Malaysia dan Indonesia selalu berselisih? Demikian seorang pembawa acara televisi bertanya kepada Dr. Mahathir Mohammad, mantan PM Malaysia. Jawaban yang diberikan oleh Dr. Mahathir Mohammad cukup make sense alias masuk akal sebagai jawaban seorang politikus dan jawaban yang cukup menenangkan, namun bagi saya pribadi yang pernah ke Malaysia dan pernah singgah di Arab Saudi, jawaban yang sebetulnya hanyalah satu, karena kita bangsa Indonesia suka mengirim pembantu.
Wajar saja bila bangsa Malaysia begitu memandang rendah kita, orang Indonesia, karena yang diketahui oleh mereka bahwa pekerjaan sebagai pembantu, supir, tukang kebun, buruh dan lain-lain kebanyakan adalah orang Indonesia dan banyak dari mereka yang belum pernah ke Indonesia jadi tidak tahu seperti apa Indonesia itu. Di samping dari kita sendiri, media dan lain-lain yang berwenang untuk mengenalkan Indonesia, sangat jarang mengenalkan wajah Indonesia secara sesungguhnya. Gambaran tentang Indonesia lebih kepada wajah para pembantu, pengusiran atau deportasi pekerja ilegal di Malaysia, banjir, sungai yang kotor dan juga bencana alam.
Pernah ada pertanyaan yang sampai sekarang membuat hati kesal, ”Di Indonesia ada rumah bertingkat gak? Di Indonesia, ada tidak makanan seperti ini dan seperti itu?” Atau pertanyaan yang disampaikan secara hati-hati, mau tidak bekerja di rumah atuk (kakek) saya sebagai pembersih bilik air (kamar mandi). Pertanyaan itu disampaikan setelah kami pulang halaqah di Malaysia dimana acara tersebut dihadiri juga oleh para ekspatriat Indonesia, pelajar serta dosen-dosen dari Malaysia dan Indonesia yang bekerja di sebuah intitusi di Malaysia. Niat mereka ketika bertanya dan raut wajahnya biasa saja, tidak nampak menghina namun image yang terbentuk di dalam pikiran mereka bahwa bangsa Indonesia adalah miskin dan harus ditolong serta mau bekerja apa saja.
Mereka baru terbengong-bengong kagum dan takjub ketika mereka datang ke Jakarta dan melihat jalan Thamrin yang sangat besar dan juga pergi ke Bandung melihat begitu banyak tukang jualan makanan yang semuanya sedap-sedap dan unik, namun sayangnya image bahwa bangsa Indonesia adalah pembantu sudah melekat ke hampir seluruh rakyat Malaysia, dan bukan hanya Malaysia saja lho, Arab Saudi juga. Seringkali kita, kaum wanita dihadapkan pada situasi yang tidak nyaman, bila kita ke imgirasi di Malaysia, sekaan-akan kita adalah TKW yang kehilangan majikan atau ingin bekerja di Malaysia tanpa melalui agensi. Kita ditanya macam-macam, apalagi bila kita berjilbab, beda sekali dengan perlakuan mereka terhadap wanita Indonesia yang tidak memakai jilbab, yaitu wanita yang putih, seksi, yang bermata sipit atau berkulit cerah, pasti perlakuan mereka lebih baik dan tidak akan dianggap wanita yang mau cari kerja di Malaysia alias bukan dari kalangan pembantu. Miris, yaa nasib, mau bilang apa?
Perlakuan seperti pertanyaan, mau apa di sini, tinggal dimana, bawa uang berapa, berapa lama disini dan lain-lain serta muka masam, bentak-bentak dan wajah melengos, memandang rendah, yaa sebagai manusia normal maka rasa tersinggung pasti ada dan biasanya mereka agak sopan sedikit bila kita menjawab dengan bahasa Inggris dan tegas. Sampai akhirnya sempat saya berfikir, “saya tidak akan lagi masuk ke ke negeri ini bila bukan karena ada keperluan yang mendesak.”
Perlakuan seperti ini juga terjadi bagi wanita Indonesia ketika pergi ke Saudi Arabia. Disana sepanjanag jalan pedagang dan tukang jualan memanggil kita dengan “Siti, siti,” dan tak jarang tangan-tangan jahil menyentuh tubuh beberapa wanita Indonesia baik yang menjadi TKW maupun yang menjadi jamaah umrah dengan bercirikan bertelekung renda-renda putih. Mereka tidak tahu bahwa tidak murah untuk pergi berumrah, pergi ke negeri itu, dan umrah para wanita Indonesia merupakan devisa yang sangat banyak bagi negara mereka yang juga merupakan pemasukan yang sangat besar. Namun mereka seringkali memperlakukan dan merendahkan wanita Indonesia lagi-lagi karena dianggap pembantu.
Yaa, pembantu yang dikirim ke luar negeri kebanyakan kurang pandai, tidak bisa apa-apa sehingga dimata mereka memang bodoh dan wajar kalau diremehkan. Selain gaji juga lebih rendah, beda denagn TKW yang dikirim dari Filipina dan Thailand yang rata-rata lebih dihargai, digaji lebih besar bahkan mereka berani pasang harga tinggi serta minta waktu bekerja dibatasi hanya dari pagi hingga sore hari sehingga malam bebas pulang ke rumah kontrakan dan tidur, hal ini berbeda dengan TKW asal Indonesia, mereka harus dan masih harus bekerja dimalam hari bahkan sampai pagi.
TKW yang saya jumpai, beberapa mengatakan bahwa mereka hanya tidur paling banyak 3 atau 4 jam saja sehari, mereka mulai istrahat jam 1 atau jam 2 pagi, untuk kemudian terkantuk-kantuk bangun lagi sebelum subuh, sekitar pukul 4 pagi untuk menyiapkan berbagai keperluan esok harinya. Di bully sebagai bangsa Indonesai di dalam kehidupan di Malaysia sudah kerap diterima oleh para pelajar Indonesia di Malaysia, juga para pekerja dan lain-lain, namun semua terpaksa ditelan saja karena mau apa juga, tak bisa marah, sebab pada kenyataannya memang begitu, TKW dikirim terus, pendaftaran juga jalan terus, dan keadaan serta kemiskinan berlangsung terus. Maka masalah ini tidak akan pernah selesai walaupun TKW tidak dikirim lagi sekalipun, sampai kita memiliki izzah dan membangun negeri bersama, tanpa bergantung nafkah pada negeri yang lain, maka wanita Indonesia tidak perlu lagi dikirm keluar negeri dan menjadi pembantu di negeri orang. Pertanyaan yang membuat air mata anak saya yang mendapat beasiswa di Malaysia meleleh adalah ketika ditanya: ”ibu kamu kerja dimana, dirumah siapa? hari minggu bisa tolong saya basuh baju?”. Satu hal yang membuat wanita Indonesia cukup dihargai di Malaysia adalah ketika sinetron Cinta Fitri dengan artis-artisnya yang cantik serta gedung dan rumah mewah terpampang, maka pertanyaan berubah menjadi, “ibu kamu dengan artis-artis itu rumahnya berdekatan kah.”
Masalahnya bukanlah ini atau itu, masalah utamanya adalah tidak usah mengirim lagi TKW ke luar negeri atau kirimlah TKW yang full of skill yang bisa punya harga diri dan keberanian untuk membela nasibnya bila diperlakukan seweang-wenang serta dilindungi hukum yang jelas, lalu berani menanamkan pemikiran religius pada masyarakat Malaysia, bahwa yang menjadi musuh kita adalah yahudi dan nasrani, bukan orang Indonesia yang seagama.