“Taruh saja piringnya disitu mbak, nanti diberesin,” demikian Bu Ida yang lembut menampik pertolongan tetangganya yang kebetulan di rumah Bu Ida diselengarkan pengajian dan arisan bulanan kompleks. Pada hari itu pula, pembantu bu Ida sedang tidak masuk.
“Silahkan bu, seadanya yaa..!” bu Ida menawarkan makanan dan minuman yang nampak cukup melimpah ruah. Ada makanan berat yang mengundang selera, dan subhanalah semua itu disiapkan bu Ida sendiri. Dari minuman berupa cendol, teh hangat, lalu ada lagi nasi dan soto ayam ditambah dengan perkedelnya dan keripik kentang, kemudian kue-kue yang sebagian dibuat sendiri lalu sebagiannya lagi beli di ujung jalan.
“Beli saja kenapa sih bu,” ucap Pak Bima suami bu Ida menegur istrinya yang nampak sudah ruwet dan sibuk dari sebelum subuh. “kalau beli kan praktis,” lanjut pak Bima.
“Akh bapak tidak paham nih, bukan masalah praktis atau tidak. Yang jadi masalah adalah malu kalau ibu-ibu tahu ini masakan beli, apalagi bu Wibi yang tukang jajan, nanti nyeletuk lagi, ini kan soto ambengannya pak Sosro. Malu aku pak, apalagi suara bu Wibi itu keras, masa acara di rumah kita, tapi makanannya makanan beli,” tandas bu Ida mengomentari saran suaminya.
“Gak enak kalau beli, ya… selain rasanya kadang suka gak enak karena kurang bumbu harganya juga mahal. Selain itu isinya juga suka sedikit. Dan perasaan tidak enak kalau beli ketahuan tetangga karena seolah-olah kita sebagai tuan rumah menjamu tamu dengan seenaknya saja seperti nampak kurang menghargai tamu.”
Masya Allah.. Pikiran seperti itu memang ada benarnya namun kenyataannya, siapapun yang menjadi tuan rumah dan harus menyiapkan makanan bila tidak ada pembantu maka akan sangat repot dan kesannya merepotkan diri sendiri. Mulai dari proses mempersiapkan ruangan dan belum lagi proses memasak dengan bumbu yang banyak dan harus diulek. Pastinya dapat dibayangkan atau mungkin sering melihat kejadian seperti ini.
Perbedaan wanita Indonesia dengan wanita barat adalah wanita barat apabila kita ke rumahnya ketika ada acara di rumahnya hanya disediakan makanan dan minuman seadanya sekali, hanya satu kue dan satu cangkir teh bahkan sering kali tidak disediakan apa-apa.
Hal ini mungkin juga pengaruh budaya. Namun budaya merepotkan diri itu tidak begitu baik, karena banyak waktu yang terbuang untuk memasak, mencuci, menyiapkan, merapikan dan belum lagi ngomel sana sini yang dianggap mengurangi hasil masakan kita. Kalau perlu masakan buat tamu ya buat tamu, sementara itu anak-anak makan bakso. Ungkapan, “mama lebih sayang temannya daripada kita” akan terucap oleh anak yang diusir jauh-jauh dari meja makan yang lengkap berisi makanan buat arisan.
Menjamu tamu dan memuliakan tamu adalah adab yang dicontohkan oleh Rasulullah, namun tentunya dengan porsi dan keadaan yang tidak dilebih-lebihkan. Terkadang kebiasaan yang telah membudaya dari ibu-ibu yang saling berkumpul dalam arisan atau pengajian dengan bergiliran tempat menjadi tuan rumah adalah mengutamakan sajian makanan yang paling unik, paling enak dan berbeda dari yang sudah disuguhkan oleh ibu yang lain. Ibu-ibu disibukkan dengan hidangan apa yang akan disajikan, apa yang akan dikatakan oleh ibu A atau Jeng B, bukan memikirkan apa yang dapat dilakukan bersama yang dapat menambah timbangan amal sholeh atau menambah keilmuan atau mungkin keterampilan. Sehingga acara yang dilaksanakan tidak akan berujung sia-sia atau bahkan menambah dosa karena hanya berisi gibah. Wallahu’alam. [Fifi P.]