Nama? Apalah arti sebuah nama, begitu pujangga Shakespeare pernah mengungkapkan pikirannya yang nyeleneh. Nama, “namanya siapa?” demikian tanya kita pada seseorang bila baru pertama kali berjumpa.
“Nama ibu?” seorang suster menanyakan nama pasien yang akan masuk ke dalam tempat perawatan. Dengan mengeluh menahan sakit, maka sang pasien menjawab lirih, “nama saya: Lisa Tirasonjaya.” Nama yang unik, dan sang suster dengan serius menuliskan nama tersebut dan bertanya kembali untuk memperjelas agar tulisannya tidak salah, “hmm, li.. sa.. ti.. ra.., apa bu?” “Tira, son, ja, ya, demikian bu Lisa menjelaskan.
Dalam sebuah peristiwa lain saya melihat sepasang suami istri sedang mendaftar untuk menjadi anggota klub jantung sehat di Jakarta. Petugas klub kesehatan kemudian menanyakan dahulu nama sang suami ketika mulai mengisi formulir pendaftaran “ya pak namanya benar yah pak Hero, oh ya pak karena untuk couple, maka ada discount, namun kartunya menginduk pada sang suami ya pak, jadi ibu… hmm.. bu Hero.. ikut nomor anggota suami.”
Terlihat sang istri berkerinyit keningnya, dan sejenak orang yang melihatnya akan berpikir bahwa sang istri tidak suka kalo kartu anggota klub kesehatan itu digabungkan dengan suaminya. Sang istri sepertinya ingin punya kartu sendiri agar tidak repot bila ingin datang sendiri, misalnya hendak pergi arisan atau pengajian dahulu, setelah itu baru datang ke klub kesehatan tersebut.
Setelah dengan sabar menunggu beberapa menit, maka si istri yang tadi dipanggil bu Hero angkat bicara dan berkata, “pak mohon nama saya dicatatkan sebagai bu Lisa saja, karena nama saya yang sesungguhnya Lisa Tirasonjaya. Tirasonjaya nama ayah saya, dan dalam Islam anak bernasab pada ayahnya sehingga yang dicantumkan harus nama ayahnya dibelakang nama seseorang, jadi jangan cantumkan nama saya di kartu itu sebagai bu Hero.” Sang suami menggangguk setuju, bahkan menambahkan, “ya pak, ditulis saja lengkap nama istri saya Lisa Tirasonjaya.”
Subhanallah, terkadang kita di Indonesia ini seringkali lupa, setelah menikah maka nama yang tercantum dibelakang nama istri adalah nama suami. Memang betul setelah menikah maka kita akan menjadi tanggung jawab suami, dan suami yang akan mengambil tanggung jawab anak gadis dari seorang ayah untuk mengambil peran pelindung bagi sang istri.
Namun, walaupun sudah menjadi seorang istri, nasab (garis keturunan) sang istri tidak dapat dihilangkan sebagai anak dari ayahnya, sehingga sampai meninggal pun tetap harus menggunakan nama sang ayah, bukannya nama suami. Bahkan di negeri barat sekalipun, nasab keluarga begitu dipentingkan, bahkan untuk pengisian formulir-formulir sekalipun, baik di rumah sakit maupun pembayaran listrik atau buat IC (identity card) dan urusan lain-lain yang berhubungan dengan masyarakat, maka yang ditanyakan adalah sure name dan biasanya sure name itu diambil dari nama ayah. Misalnya namanya Jane, ayahnya Smith, maka ditulisnya Jane Smith, walaupun suaminya sendiri bernama John misalnya.
Anak saya sempat protes ketika dipanggil Adam oleh kawan-kawannya, itu karena nama aslinya Zacharia Abdullah Adam, (Zacharia anaknya pak Abdullah dan cucunya pak Adam). Sampai saat ini walaupun suami saya menyandang gelar Adam dibelakang namanya, dan semua anak saya mencantumkan nama Abdullah Adam dibelakang nama mereka, namun saya sendiri sebagai istri tetap menggunakan nama saya sendiri dan nama ayah saya. Bila mengisi formulir apapun, saya menulis Proklawati Jubilea binti Erman, bukan Proklawati Jubilea Abdullah Adam.
Panggilah mereka dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 5)