Pernikahan bagi seorang muslimah adalah suatu hal yang sakral dan begitu bahagia rasanya bila ada seorang lelaki yang meminang. “Akhirnya ada juga yang memilih saya,” begitulah biasanya gurauan dan nasihat yang diselingi canda membuat sang muslimah mukanya merah dan merasa malu. Ya malu-malu senang, atau biasa dikatakan tersipu-sipu malu.
Hal yang harus dipersiapkan oleh para muslimah menjelang nikah biasanya adalah persiapan lahir. Kalau yang satu ini kebanyakan para sanak saudara dan orang tua yang menyuruh para muslimah untuk memikirkan hal ini, yaitu dengan menyuruh luluran, bersih-bersih diri bahkan tidak jarang dicampur adukkan dengan kepercayaan sang orang tua misalnya siraman dan lain-lain. Ada beberapa muslimah yang mengikuti tapi ada juga yang tidak mengikuti. Namun akhirnya terjadilah kesepakatan acara pernikahan yang menggetarkan dengan memikirkan soal undangan, siapa yang akan diundang, tempat diadakan acara dan juga sedikit rebut- ribut kecil yang ujung-ujungnya adalah soal biaya. Dan semua itu membuat sang muslimah selama beberapa bulan atau beberapa minggu menjelang pernikahan sibuk dengan hal-hal yang merupakan bagian daripada rutinitas pernikahan yang hanya sehari saja.
Terkadang saya heran juga melihat persiapan yang dilakukan berbulan-bulan bahkan disertai dengan rapat ini itu yang sebetulnya hanya untuk menyiapkan sebuah acara yang dilakukan hanya beberapa jam saja dengan biaya yang lumayan banyak yaitu sampai jutaan lah kalau mau dihitung. Semua pihak juga mempersiapkan hari tersebut agar rapi dan tidak kacau, sementara itu biasanya kawan pengajian, sang murobiyah atau ustadzah membekali sang muslimah dengan petuah-petuah bagaimana manjadi istri yang baik, solehah, taat, enak bila dipandangnya serta akhlak akal lainnya dalam berumah tangga. Namun ada satu hal yang nyaris dilupakan para orang tua dan para murobiyah dalam melepas sang muslimah untuk menikah, hal yang cukup lumayan penting dan mengganggu bila tidak dapat dilaksanakan yaitu memasak nasi.
Berapa banyak cerita mengenai muslimah yang baru menikah namun ketika masak nasi menggunakan rice cooker, lupa ditekan tombol cook-nya sehingga ketika waktu makan malam tiba, nasi masih menjadi beras yang hangat dan sang suami bila sabar maka akan diam saja, namun bila tidak sabar akan membuat suasana di malam hari menjadi tidak nyaman dan tak khayal pertengkaran kecil kerap terjadi. Selain itu pemborosan juga namanya bila sang muslimah yang tidak pandai memasak karena harus menghabiskan uangnya untuk mencoba-coba berbagai masakan, namun akhirnya mungkin lauk ada yang terbuang atau terdiamkan diatas meja dalam waktu lama karena keasinan yang kalau dibuang saying tapi kalau dimakan, masya Allah asinnya bikin semangat makan hilang sehari semalam. Akibatnya, karena panik seringkali sang muslimah yang sudah menjadi istri harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli makanan dari warung sebelah rumah.
Sudah selayaknya begitu seorang muslimah akil baligh, pelajaran pertama selain akhlak dan adab-adab sebagai muslimah dari segi berpakaian, ibadah, mandi janabaha dan lain-lain, maka diwajibkan untuk turun ke dapur, bukan hanya membantu, kalau perlu tugas memasak nasi, membuat lauk dan lain-lain diserahkan pada anak gadis kita, bukan diserahkan kepada pembantu sementara anak kita tinggal duduk makan dengan tenangnya (kalau bahasa jakartanya duduk nge’jogrok..) dalam proses belajar masak.
Bila anak kita berbuat kesalahan biarlah, yang penting ada pembelajaran sebelum anak gadis kita masuk pada jenjang pernikahan. Saya melihat budaya ini kurang di masyarakat Indonesia, apalagi di perkotaan, yang ada adalah makanan fast food ala Mc Donald dan budaya membeli makanan untuk lauk siang dan malam hari.