”Allahumma lakasumtu wabika aamantu wa’ala rizqika aftortu birahmaitka ya arhamarrahimiin…”
Ketiga anak Nisa mengangkat tangannya dengan khusyu sambil membaca doa buka puasa. Si bungsu nampak melirik-lirik dengan penuh semangat ke arah donat bulat bertabur gula serta susu coklat yang sudah diaduk puluhan kali, sedangkan sang kakak diam-diam menghitung berapa jumlah sayap ayam goreng tepung yang bisa dilahapnya, sementara itu si abang berusaha untuk lebih tenang, karena malu sudah 12 tahun usianya, sudah akil baligh, tak pantes lagi berebut makanan, walau perutnya yang kosong sudah berontak ingin di isi sepenuhnya.
Ketika ayah selesai membaca doa, seketika itu juga tak sabar ketiga anak, ayah serta mbok Nah, sang pembantu, langsung menyerbu makanan. Nasi, sayur kangkung, ayam goreng tepung, sambal, telur balado dan kerupuk, semua membuat anak-anak tak bisa menahan nafsu untuk memulai makanan berbuka puasa dulu dengan kurma dan air. Hanya ayah dan bu Nisa yang memulai buka puasa dengan kurma dan air, hal ini mungkin dikarenakan mereka sudah dewasa dan lebih pandai menahan hawa nasfu. Namun tidak demikian dengan anak-anak, rasanya semua ingin dilahap sekaligus. Memang menyantap makanan pada saat berbuka pusaa nikmatnya luar biasa, lebih nikmat daripada makan siang biasa, kenapa ya, padahal lauknya sama saja, yang masak juga sama yaitu ibu. Ibu yang ditengah kepenatannya bekerja sebagai guru dan sekaligus kepala sekolah merangkap sebagai guru IPA di SMU 28, SMU favorit yang terkenal anaknya pintar-pintar dan sering nagih PR (Wah hebat ya bila ada anak muda jaman sekarang yang ketagihan PR, bukan ketagihan narkoba).
Setelah upacara makan berbuka terlaksana dengan rapih, lalu mbok Nah bersiap untuk minta diri pulang kampung. Katanya khawatir kalau tidak pulang sekarang, dua minggu sebelum lebaran dikhawatirkan tidak dapat bus. Karena sudah 2 tahun mbok Nah tak pulang ketika lebaran, maka bu Nisa pun menyetujuinya. Sebenarnya berat sekali bagi bu Nisa karena sekolah tempat bu Nisa bekerja belum libur sehingga si kecil belum bisa ditinggal sendiri sementara si kecil baru mulai belajar berpuasa. Bu Nisa akan sangat repot jika mbok Nah tidak ada.
Semua rutinitas di bulan Ramadhan dilalui bu Nisa dengan tidak mengeluh, karena bu Nisa tahu kalau diikutin lelahnya akan sangat terasa lelah sekali. Selain itu ternyata anak-anaknya pada minggu ketiga sekolah akan ada ujian mid test, ”wah tambah tidak tega untuk menyuruh anak-anak membantu pekerjaan rumah nih, dari menggosok, menyapu, mencuci sampai menjemur kasur yang kena ompol, semua harus dilakukan sendiri nih,” keluh bu Nisa.
”Walau tidak terlalu rapih, ya paling tidak pekerjaan sudah dicicil jadi nanti pulang dari mengajar sekitar pukul 3 petang, tinggal mengangkat jemuran dan menggosok baju yang penting-penting saja, lanjut bu Nisa. Pekerjaan rumah di bulan Ramadhan seperti tak ada habisnya. Kolak untuk berbuka sebetulnya bisa dibeli di depan sekolah tempat bu Nisa mengajar, namun suami bu Nisa dan anak-anak kurang menyukai rasanya, terlalu hambar kata mereka, mungkin kurang santan untuk mengejar untung besar.
Bu nisa memutuskan untuk memarut kelapa sendiri, dan membuat kolak sendiri. Dibubuhkan es batu sedikit sehingga kolak terasa lebih nikmat. Semua sudah mendapat jatah kolaknya masing-masing, namun bekas lengket di meja, yang akan membuat semut menyerang meja makan membuat bu Nisa segera berlari ke dapur mengambil serbet. Sementara, menunggu nasi masak, suaminya mengambil inisatif untuk shalat magrib dahulu. Setelah shalat magrib, dengan tangan kepanasan dan masih menggunakan mukena, bu Nisa mengaduk nasi yang baru saja bunyi ”cetek…” dari dapur kecil yang lantainya lengket dikarenakan percikan minyak bekas menggoreng ikan lele yang masih belum sempat dibersihkan.
Setelah buka puasa yang enak dinikmati seluruh anggota keluarga, sambil menghirup teh panas, suami bu Nisa memilih untuk mengobrol dengan abang dan kakak perihal rencana pulang kampung dan hadiah apa yang pantas untuk nenek. Bu Nisa hanya menimpali omongan sesekali dari dapur, sambil tangannya tetap mencuci dan membilas piring mangkuk kotor yang tak habis-habis dicucinya. Sejenak suaminya terlihat ingin membantu, namun raut wajah lelah yang menatap dari balik pintu dapur membuat bu Nisa mengatakan, “jangan kesini mas, letakkan saja cangkir tehnya disitu, lantainya lengket mas, mas ajak saja anak-anak taraweh, nanti aku nyusul..” ucap bu Nisa.
Setelah anak-anak dan suaminya bersiap keluar rumah untuk taraweh, maka bu Nisa segera ambil air wudhu dan, ”astaghfirullah…” bu Nisa menjerit lirih, membuat suami bu Nisa dan anak-anak panik. Lalu mereka bergegas menolong dan Alhamdulillah bu Nisa hanya keseleo sedikit akibat lantai dapur yang licin dan belum sempat dipel.
Bu Nisa, anak-anak serta suaminya khusyu menjalankan taraweh. Biasanya mereka shalat tarawih hanya 8 rakaat, sisanya diteruskan dengan Qiyamul lail dan shalat witir sebelum sahur.
Malam sudah larut, setelah memasak nasi untuk sahur dan mengupas bawang serta memotong sayur-mayur, bu Nisa beranjak mengunci pintu dapur menuju ke halaman belakang, sementara suaminya sudah pamit ke kamar karena mau meneruskan tilawahnya yang masih kurang beberapa halaman dari target 2 juz perhari. Sebersit iri di hati bu Nisa, karena memikirkan bahwa sudah 5 hari ini sejak mbok Nah meninggalkan rumah, bu Nisa lambat 3 juz. Sehari hanya mampu menghabiskan 8 halaman saja, paling banyak 12 halaman, itupun dengan mata berat dikarenakan saking mengantuknya. Bu Nisa tahu, bila diteruskan maka sahur bisa-bisa semua tidak terbangun dikarenakan bu Nisa tidak membangunkan karena tertidur.
Pantang bagi bu Nisa untuk bangun terlambat, karena sangat bahaya bila bu Nisa bangun terlambat. Jika ia terlambat maka makanan sahur tidak siap dan si kecil pasti tidak mau puasa karena dia harus disuapi setelah masakan selesai. Bu Nisa juga harus terburu-buru mencuci semua peralatan masaknya dan bergegas shalat subuh, kemudian menyiapkan keperluan anak-anak dan suaminya, seperti pakaian sekolah, pakaian kerja dan juga memeriksa PR anak-anak di sekolah serta rutinitas lainnya.
Sungguh, bu Nisa tidak ingin marah, tapi sebagai perempuan biasa, rasanya Ramadhan terasa berat dengan berbagai perkerjaan rumah yang terasa menjadi dua kali lipat beratnya. Dengan tarawehnya, menyiapkan makan berbuka, sahurnya, bangunkan anak, menyuapi anak, pekerjaan diluar rumah, juga ibadah-idadah lainya yang sama dengan kaum lelaki.
Kasih sayang Allah dirasakan bu Nisa ketika bu Nisa mendapatkan dirinya datang bulan dan membuatnya agak bernafas lega serta terharu, Allah sangat memahami. Semua perempuan pasti lelah sekali ketika ramadhan, maka kami diberi waktu untuk beristirahat dari shalat dan taraweh serta bisa minum dikala siang hari, sehingga ketika hawa panas dapur terasa sewaktu masak bukaan puasa, maka kami masih bisa sedikit minum air putih karena sedang datang bulan. Beda dengan kaum lelaki yang berpuasa dan beribadah terus-menerus full 30 hari di bulan Ramadhan. Mereka tidak ada istirahatnya sama sekali. Allah sungguh mengerti bahwa lelaki kuat sedangkan wanita lemah dengan berbagai beban yang ada pada perempuan dalam rangka menyiapkan pernak-pernik di bulan rmadhan.
Sungguh kasih sayang Allah sangat terasa ketika perempuan datang bulan di bulan Ramadhan, sehingga perempuan bisa beristrahat sejenak walaupun dilubuk hati yang paling dalam, ada sesuatu yang hilang, yaitu ruh untuk beribadah dan mendekatkan diri pada Allah seperti shalat malam yang khusyu dan nikmat serta keakraban ketika shalat taraweh dan lain lain.
Namun, hal yang membuat bu Nisa berlinang air mata adalah seakan-akan Allah mengerti keadaan perempuan dan memahami bahwa perempuan memerlukan istriahat walau dibulan Ramadhan sekalipun. Terimakasih Allah untuk semua cintamu.