“Pelan-pelan ya pak, nanti perutnya tambah sakit, perlu dibantu pak,” demikian sang suster yang berbadan kecil namun berwajah sabar menawarkan bantuan kepada pak Johan yang meringis kesakitan sambil memegang perutnya. Rini menatap sang suami dengan wajah pilu, “mas, sabar yaa tunggu dokter sebentar lagi datang, kalau mas harus dioperasi dan menginap di rumah sakit nanti Rini akan minta cuti dari kantor dan menemani mas disini, anak-anak biar sama mbak Ima, lalu nanti aku minta ibu untuk jaga anak-anak di rumah, sabar ya mas, banyak istighfar dan baca do’a Al Ma’tsurat,” genggam istrinya lembut sambil menguap peluh di wajah suaminya yang masih tak mampu berkata apa-apa karena sakit yang luar biasa.
“Gubrak,, aww,,, tolong suuus..”, di dalam ruang Unit Gawat Darurat, di rumah sakit Cipta Insan, seorang lelaki bertubuh besar nampak sangat bertenaga, terjatuh dari tempat tidur dan mengeluhkan bahwa kepalanya yang diperban seadanya oleh sang suster jaga, sakit terantuk meja kecil yang ada di samping tempat tidur seadanya. Dan sang lelaki itu yang kakinya pun masih belum mendapatkan pertolongan, mengeluhkan bahwa kakinya sakit, mungkin patah, sehingga tidak mampu untuk bangun dan menopang tubuhnya yang besar seperti raksasa.
Secara naluri, Rina ingin sekali menolong pasien yang terjatuh disebelah tempat tidur suaminya, namun Rina ingat bahwa dia tak mampu dan lagi pula itu bukan tugasnya juga, sementara Ina juga tidak mau meninggalkan suaminya yang sedang tertidur lelap setelah diberi obat penahan sakit oleh salah satu suster jaga, sambil menunggu dokter yang akan memeriksa suaminya datang.
“Ya Allah, sakitnyaa..” sambil memegangi kepalanya yang nampak mulai mengeluarkan darah dari balik perban, sang lelaki bertubuh besar, mengerang dengan memilukan. Rina lalu menepuk lembut tangan suaminya dan keluar dan mencari-cari perawat di ruang UGD. Tidak lama, segera bergegas seorang perawat bertubuh kecil masuk dengan wajah tenang. Mungkin sudah sangat terbiasa menghadapi pasien yang mengalami penyakit macam-macam sehingga wajahnya tetap tenang saja ketika melihat salah seoang pasiennya tejatuh. Rina berfikir sekali lagi, “bagaimana mungkin sang suster menolong pasien yang terjatuh itu untuk bangun lalu membaringkan kembali di tempat tidurnya karena berat tubuh si pasien lelaki bisa jadi 5 kali lipat dari sang suster yang tidak berkata apa-apa sedikitpun.
Dengan setengah berlari, Rina memanggil satpam yang ada diluar UGD. Lalu sang satpam yang masih sibuk mengurus parkiran pun nampak enggan untuk menolong, karena mungkin menurutnya itu bukan tugasnya. Ketika akhirnya Rina berhasil membujuk sang satpam, Rina melihat bahwa sang pasien pria masih tergeletak di bawah, namun sudah tidak begitu mengeluh lagi, dan sang suster nampak sibuk menelepon ke sana-kesini.
Rina berpikir dan berpikir lagi, “masya Allah, aku tak habis mengerti mengapa para suster kebanyakan wanita bahkan hampir semua perawat adalah wanita yang banyak juga bertubuh kecil, selain juga mereka muda-muda. Seharusnya ada suster-suster atau perwat lelaki yang bertubuh besar dan kuat serta cekatan untuk melayani pasien pria sehingga suster wanita hanya untuk pasien wanita dan suster lelaki untuk pasien lelaki.
Mengapa seperti itu, pertama dari segi kekuatan, sang suster tidak berimbang dengan beban pasien pria bila terjatuh atau harus dipindahkan dari tempat tidur ke kursi dorong misalnya. Betapa beratnya memapah tubuh pasien lelaki bila bertubuh besar, belum lagi menghadapi gangguan dan suit-suit nakal dari kawan-kawan pasien pria. Dan ada lagi tugas pelik, memandikan pasien pria, walau mungkin hanya mengelap saja, namun tak terbayang oleh Rina bila harus melakukan beban tugas seperti itu, apa tidak sebaiknya dilakukan oleh suster lelaki saja.
Di zaman sekarang yang banyak lulusan SMU tidak memliki pekerjaan, bagus juga bila rumah sakit mendidik atau mentraining banyak kaum lelaki yang belum memiliki perkerjaan untuk manjadi perawat lelaki, paling tidak untuk tugas-tugas tertentu seperti, menjaga pasien lelaki di waktu malam hari, mengukur suhu tubuh yang dilakukan dengan menyelipkan termometer dibawah ketiak pasien lelaki, mengelap atau membantu memandikan sang pasien lelaki, mengangkat atau memapah tubuh pasien lelaki dari kursi roda ke tempat tidur, atau dari tempat tidur ke kursi roda, dari tempat tidur di kamar, ke tempat tidur yang didorong menuju ruang operasi.
Selain untuk hal-hal diatas, perawat lelaki khusus menangani pasien lelaki juga penting agar tidak menimbulkan fitnah bila pasien lelaki dikerubungi oleh suster-suster muda yang manis dan ramah, dengan sentuhan-sentuhan yang terkadang memang diperlukan seperti memegang lembut nadi sang pasien untuk menusukan jarum suntik, mengukur suhu tubuh dengan memasukkan alat ke bawah ketiak dan banyak tugas lainnya yang memerlukan sentuhan perawatan.
Semoga ada perubahan yang bisa dilakukan oleh rumah sakit-rumah sakit Islam terutamanya mempekerjakan perawat lelaki untuk melayani pasien lelaki dan perawat perempuan untuk melayani pasien perempuan, amin.
Berkata Asy-Syinqithy (Adwa` Al-Bayan 6/603) : “Tidak ada keraguan bahwa fitnah yang ditimbulkan akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah memandang”.