Oleh : Henny (Ummu Ghiyas Faris)
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang telah disetujui Presiden 21 Juli 2014 lalu. Dalam PP tersebut, dilegalkan aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan. (news.detik.com, 8/8/2014)
Pelegalan aborsi tersebut mengacu pada Undang-Undang Kesehatan Nomor 36/2009, khususnya pasal 75 ayat (1) yang ditegaskan, bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis, dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Menurut PP ini, tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.
PP ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan berserta alasannya. Bahkan Komnas Perempuan pro terhadap PP ini, dengan alasan PP ini dapat mengurangi dampak psikologis wanita yang mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan, dan mengurangi trauma.
Hukum aborsi itu sendiri memang wajib dipahami dengan baik oleh kaum muslimin, baik kalangan medis maupun masyarakat umumnya. Sebab, bagi seorang muslim, hukum-hukum Syariat Islam merupakan standar bagi seluruh perbuatannya. Selain itu keterikatan dengan hukum-hukum Syariat Islam adalah kewajiban seorang muslim sebagai konsekuensi keimanannya terhadap Islam. Aborsi dalam fiqih Islam dibahas dengan sangat detail.
Mahabenar Allah Subhanahu Wa Ta’aala dengan firman-Nya :
“Dan tidak patut bagi seorang mu`min laki-laki dan mu`min perempuan, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Qs. al-Ahzab [33]: 36).
Jika aborsi dilegalkan karena alasan pemerkosaan itu bukannya menyelesaikan permasalahan. Tapi tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab pemuja kemaksiatan. Alasan lain yang sering dilontarkan dilakukannya aborsi adalah usia yang masih terlalu muda (terutama mereka yang hamil di luar nikah), aib keluarga, atau sudah memiliki banyak anak. Alasan-alasan seperti ini juga diberikan oleh para wanita di Indonesia yang mencoba meyakinkan dirinya bahwa membunuh janin yang ada di dalam kandungannya adalah boleh dan benar. Semua alasan-alasan ini tidak berdasar.
Aborsi juga bukanlah semata masalah medis atau kesehatan masyarakat, melainkan juga problem sosial yang terkait dengan paham kebebasan (freedom/liberalism) yang dianut suatu masyarakat. Paham asing ini tak diragukan lagi telah menjadi pintu masuk bagi merajalelanya kasus-kasus aborsi dalam masyarakat.
Bagaimana di Indonesia? Di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini, sungguh disayangkan gejala-gejala memprihatinkan yang menunjukkan bahwa pelaku aborsi jumlahnya juga cukup signifikan.
Aborsi bukan sekedar masalah medis atau kesehatan masyarakat, namun juga problem sosial yang muncul karena manusia mengekor pada peradaban Barat. Maka pemecahannya tidak dengan solusi parsial. Persoalan ini haruslah dihentikan dengan sistem Islam yang sempurna. Hal yang harus dilakukan juga dengan menjauhi dan membuang sikap taqlid kepada peradaban Barat, dengan menghancurkan segala nilai dan institusi peradaban Barat yang bertentangan dengan Islam, untuk kemudian digantikan dengan peradaban Islam yang sudah terbukti dan pasti akan membahagiakan umat manusia. Wallaahu a’lam bi ash-shawab.