“Hmmm … do’ain aku ya … mudah-mudahan aku tetap istiqomah, mungkin ini ujian buat kami,” begitu tutur salah seorang sahabatku menutup curhat di malam itu.
Huff…
Antara percaya dan tidak, ketika pertemuan yang beberapa kali tertunda itu membicarakan sesuatu yang tak pernah aku bayangkan (dan tak kuharapkan) terjadi pada teman-temanku apalagi diriku. Kalaupun pernah kudengar, biarlah itu orang lain yang tak kukenal dan cukup do’a saja semoga (lagi-lagi… ) tak terjadi padaku atau keluargaku atau teman-temanku..
Tapi toh malam itu, menggugurkan seserpih harapanku. Laila (bukan nama sebenarnya), muslimah lembut dan anggun, menceritakan bahwa beberapa bulan ini ia tengah menjalin hubungan dekat (lebih sopan dari pacaran kan?) dengan seorang lawan jenis, yang jelas bukan mahramnya. Bahkan orang yang belum lama dikenalnya, suami orang pula. Biasa saja mungkin, kalau Laila seorang yang tidak paham haramnya hukum pacaran dan masih sendiri. Tapi Laila ibu muda, dua anak ini tetap mengadu padaku, seseorang yang menikah baru seumur jagung.
Lagi-lagi membuatku terhenyak, pagi-pagi sekali aku mendapat sms dari seorang sahabat lama, yang jauh lebih senior dariku. Seorang muslimah yang ceria dan sangat dermawan. Meski usia kami terpaut cukup jauh, sebut saja Mbak Jamilah ini sangat percaya padaku. Awalnya sapaan itu datang dariku, berupa tausiyah kecil pelepas kangen. Jawabannya cukup mengejutkan, intinya minta tolong untuk terus ditausiyahi karena sedang mengalami ujian (lagi-lagi ujian) cinta. Tadinya tak begitu mengkhawatirkan, karena kupikir si Mbak sedang ”cinta sekali” pada suaminya. tapi ternyata ”ujian” ini didapatkan bersamaan dengan seorang yang sama sekali bukan siapa-siapanya dan masih sendiri.
"Hey … hebat mbak sama brondong… " ledekan jahilku, mengingat si mbak sudah punya lebih dari tiga momongan.
Ah.. rasanya sulit menempatkan rasa, kecewakah, sedihkah, yang tepat hanya bingung. Aku terpekur beberapa kali. Sehela kemudian beristighfar. Rasanya tak ada yang tak mungkin di dunia ini bukan? Tapi kedua sahabat salehahku ini telah ”mencambuk” rasa terdalamku. Bukan tak mungkin kalau ujian itu bisa terjadi pada siapapun, termasuk diriku, hanya saja kita mampu ”menaklukannya” menjadi tangga menuju keimanan yang lebih tinggi atau sebaliknya. Seperti kata Bang Napi "kejahatan bukan hanya terjadi karena adanya niat, tapi juga karena adanya kesempatan."
Syukurlah keduanya segera tersadar sebelum terlambat ke dalam sesuatu yang dibenci Allah. Keduanya sama – sama memahami yang mereka lakukan adalah khilaf semata.
Siapapun tak menyukai pengkhianatan, apalagi seseorang yang bahkan menikah saja memilih "jalur" sebersih mungkin, tanpa pacaran dan semata diniatkan karena ibadah dengan cara yang indah. Tapi tokh ujian itu menghampiri juga. Faktornya bermacam – macam, tergantung di sisi mana lemahnya. Kalau kita lemah dari sisi ekonomi, maka ujian akan hadir di sana. Kalau kita lemah dari sisi ibadah, ujianpun akan hadir di sana.
Aku pernah membaca kisah seorang muslimah, seorang atlet karate yang sangat sehat, tidak suka bermaksiat, rajin ibadah, cerdas pula. Allah uji dengan sakit kanker, sampai diangkat salah satu indung telurnya. Tapi subhanallah … beliau berhasil melewatinya, dengan tertatih-tatih, beliau bersabar untuk terus berusaha sehat, dan Allah membalasnya dengan kenikmatan berupa suami dan anak-anak yang sehat juga saleh (awalnya beiau divonis tidak bisa hamil dan berumur pendek secara medis). Intinya semakin meningkat kadar keimanan seseorang, maka ujian pun akan menyesuaikan tingkatannya.
”Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ’Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al-Baqarah ayat 214)
”Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (Al-Kahfi ayat 7)
So, terlepas apapun motifnya. Tetaplah apapun namanya kesulitan, kesenangan, ujian yang kalau tak berhati – hati, kita akan terjerebab ke dalamnya. Kecintaan pada sesuatu yang halal jika berlebihan pun, bisa jadi sesuatu yang buruk membuat kita lalai beribadah misalnya.
”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak [186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran ayat 14)
Setelah menyadari itu semua ujian keimanan, mencari obatnya, itu yang dikagumi dari sosok orang beriman, bukankah kunci taubat hanya 3 : 1. menyadari kesalahan 2. meninggalkan kesalahan 3. menggantinya dengan amal saleh
Sama halnya dengan ujian cinta. Sebelum menikah maupun setelah menikah ujian terhadap lawan jenis ternyata ada, hanya kadarnya saja yang berbeda tergantung pribadi masing-masing dan lingkungan yang mendukung untuk menimbulkan kelemahan atas itu (sehingga terjadilah fitnah/ujian).
Maka, kuatkanlah ‘tameng’ kita, dengan terapi tombo ati ; pertama, baca qur’an dan maknanya; yang kedua, sholat malam dirikanlah; yang ketiga, berkumpulah dengan orang saleh (lingkungan positiif, ikut pengajian rutin misalnya); yang keempat, perbanyaklah berpuasa; yang kelima, perpanjang zikir (doa dan curhat sebanyak -banyaknya pada Allah).
Selanjutnya terapi khusus sesuai dengan kebutuhan masing-masing pribadi, komunikasi dengan pasangan, isi waktu dengan hal positif atu ingat-ingat dan sering-sering melihat wajah orang-orang yang kita cintai. Tegakah kita?
Semoga ketika ujian hadir, kita mintakan kekuatan lebih pada Allah Swt untuk mampu melaluinya dengan nilai cemerlang.
Penulis: Siti Nurseha, Asisten Dosen Universitas Negeri Jakarta.