Islam mengatur bagaimana selayaknya seorang perempuan berbusana. Namun aturan tersebut kerap disalahartikan oleh mereka yang tidak mengenal Islam sebagai bentuk pengekangan dan penindasan terhadap kaum perempuan dan bahwa para muslimah yang mengikuti ajaran Islam tidak bisa tampil modis.
Pandangan inilah yang ingin diubah oleh sekitar 20 remaja muslimah di Inggris. Mereka ingin menghapus stigma Islam dan mode saling bertentangan dengan berpartisipasi dalam program inisiatif yang bertajuk "Faith and Fashion" yang digelar di kampus Hackney, London School of Fashion.
"Faith and Fashion" digagas oleh Sophia Tillie, 28, seorang perempuan Inggris yang masuk Islam saat di bangku universitas. Ia kini sedang mengkaji bagaimana konsep kesederhanaan–yang sangat esensial dalam pemikiran Islam–diartikan berbeda-beda tergantung pada konteks tempat dan waktu.
"Tradisi mengenakan niqab (cadar) di Arab Saudi dimaknai secara harfiah dan menjadi bagian dari gerakan puritan yang mereduksi doktrinnya itu sendiri. Tapi dengan membaca secara lebih luas, saya terkesima oleh fleksibilitas pemikiran Islam dan inilah yang ingin didorong oleh inisiatif ini," jelas Tillie soal ide "Faith and Fashion" yang digelarnya.
Tillie menilai pemberitaan media massa yang gencar soal burqa (busana sejenis abaya dilengkapi dengan cadar) mengaburkan keberagaman pilihan busana kaum Muslimin sepanjang abad. "Melarang burqa merupakan penindasan terhadap perempuan yang menganggap burqa sebagai satu-satunya cara berpakaian untuk menjadi seorang muslimah yang taat," tukasnya.
"Alasan saya menggelar ‘Faith and Fashion’ adalah untuk memberikan ruang yang aman. Kita melihat beberapa perempuan muslimah memberikan penafsiran ayat-ayat Al-Quran untuk mendukug burka. Di sisi lain, kita membuka ruang bagi interpretasi lain untuk membuka peluang pilihan busana yang lain," sambungnya.
Remaja-remaja muslimah yang ikut serta dalam insiatif "Faith and Fashion" itu adalah para pemenang kompetisi disain pakaian yang mengalahkan 100 lebih peserta kompetisi. Mereka membuat merancang busana muslim yang sekaligus mencerminkan identitas mereka sebagai muslim Inggris. Para remaja itu adalah siswi sekolah Islam dari pelosok London.
Di antara 20 remaja muslimah itu adalah Tasnem yang masih berusia 15 tahun. Remaja yang mengaku sangat tertarik dengan dunia mode ini mengatakan, "Saya suka dengan busana-busana yang funky. Saya mengenakan jilbab dan saya ingin memakai busana yang tetap menunjukkan ketaatan pada ajaran agama saya," kata Tasnem.
Rancangan-rancangan busana para remaja muslimah itu, bahkan ada yang disisipi penjelasan puitis tentang mengapa mereka memilih mengenakan jilbab. "Allah tidak melihat kecantikan fisik, tapi kecantikan jiwa," demikian salah satu keterangan yang disematkan di salah satu rancangan busana.
Di rancangan lain tertulis, "Seorang pria berjalan di jalan, ‘oh perempuan itu cantik’ / Perempuan memakai jilbab untuk perlindungan/ bukan untuk menarik perhatian/ Kami berpendidikan/ Dan kami menginginkan pekerjaan."
Nadya, remaja muslimah lainnya yang berpartisipasi dalam "Faith and Fashion" mengisahkan pengalamannya ketika sedang naik bis dan seseorang bertanya mengapa ia mengenakan jilbab. "Pertanyaan itu membuat sata frustasi. Mereka tidak tahu apa-apa tentang saya, tapi mereka sudah menghakimi saya," ujarnya.
Para remaja muslimah itu menegaskan, tidak kontradiksi antara tertarik dengan dunia mode dengan menjadi seorang muslim yang taat. Seorang muslimah bisa mengenakan busana muslim yang modis, tapi tetap memenuhi syarat seperti yang diajarkan dalam Islam. "Saya senang mengenakan pakaian bagus dan saya ingin mengekspresikan diri melalui busana, " kata Musafa, 15 tahun yang mengenakan burqa yang dipadu dengan jaket berwarna hijau terang.
"Orang-orang berpikir bahwa saya dipaksa memakai ini (burqa). Padahal ini keputusan saya sendiri. Kelima kakak dan ibu saya juga mengenakan burqa," ujarnya.
Para remaja muslim ini akan menerima pelatihan untuk mengembangkan kemampuan mereka merancang busana dengan bimbingan para ahli busana, serta mengembangkan keahlian mereka di bidang informasi teknologi.
"Para remaja muslimah ini akan belajar bagaimana merancang busana yang sederhana tapi tidak membosankan. Sekolah mode ini mempelajari aspek identitas, tapi aspek pemahaman terhadap agama lain dan sejarah tentang kesederhanaan dalam ajaran agama merupakan hal yang baru," kata Hassaanah, seorang guru di sekolah Islam Tooting Bec.
"Ini kesempatan saya untuk lebih kreatif dan memenuhi kebutuhan para muslimah lainnya yang juga tertarik pada dunia mode," tandas Tasnem bangga. (ln/grd)