Dari hadits ini dipahami bahwa izin suami untuk melakukan ibadah sunnah diperlukan bila suami ada di rumah. Sementara itu, jika suaminya tidak ada di rumah, ia boleh melakukan ibadah sunnah tanpa izinnya.
Namun, jika suami sedang berpergian dan pulang ke rumah ketika istrinya sedang berpuasa, ia boleh menyuruh istrinya membatalkan puasanya, dan hal itu bukan tindakan makruh. Termasuk makna ketiadaan suami adalah bila ia sedang sakit sehingga tidak bisa melakukan senggama.”
Berkenaan dengan keharusan meminta izin suami ketika mengundang orang lain ke rumah. Al-Hafizh dalam Al-Fath berkata, “Sabda Rasulullah, ‘Istri tidak boleh mengizinkan siapa pun masuk ke rumah suami tanpa izinnya,’ merupakan syarat yang sulit dipahami. Ketiadaan suami di rumah tidak berarti istri boleh mengizinkan orang lain masuk rumah. Justru, ketika itulah larangan tersebut lebih ditekankan berdasarkan beberapa hadits yang menegaskan larangan bagi istri untuk mengizinkan orang lain masuk ke rumah pada saat suaminya tidak ada. Barangkali, inilah maksud hadits tersebut. Sebab, ketika suami ada di rumah, istri lebih mudah meminta izin padanya.”
Imam Al-Nawawi berkata, “Dalam hadits ini ada isyarat bahwa kewajiban meminta izin kepada suami harus dilakukan ketika istri belum yakin suaminya merestuinya. Sekiranya istri mengetahui bahwa suaminya merestui, tidak meminta izin kepadanya adalah kebolehan. Misalnya, istri mempersilakan para tamu masuk rumah di tempat yang dikhususkan bagi mereka (ruang tamu), baik ada suami ketika itu maupun tidak ada. Dalam hal ini, mempersilakan mereka masuk tidak perlu izin khusus dari suami.” (Inilah)
Oleh Badwi Mahmud Al-Syaikh