“Ikhlas ya ukhtiy, kalau boleh ana mengajukan syarat, jika kita menikah nanti anti cukup berada di rumah dan mengurusi urusan rumah tangga, anti tidak perlu capek-capek mencari nafkah karena Insya Allah sudah cukup dengan rezki yang Allah berikan kepada ana ”
Sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan yang mungkin saya, kamu dan kita semua anggap remeh. Ya, pernyataan yang menjadi pamungkas bagi para ikhwan yang ingin mendapatkan seorang istri sekaligus ibu yang sholihah dan selalu berada di rumah.
Tidak ada yang salah dalam pernyataan itu dan memang sudah menjadi fitrahnya bagi seorang ikhwan akan lebih memilih seorang wanita yang mampu mendidik anak secara keseluruhan dan memanage keluarga dengan sebaik-baiknya, urusan dapur biar bapak yang selesein.
Dan ini juga bukan masalah penyetaraan gender, dimana saya akan berupaya agar seorang wanita juga diberi hak untuk keluar rumah dan melakukan pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Tidak, sama sekali tidak.
Menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya adalah dambaan seorang perempuan. Yah, saya sebenarnya lebih cenderung untuk membahasakan wanita dengan perempuan.
Perempuan menjadi tonggak utama dalam membentuk akhlak yang baik bagi generasi-generasi Islam berikutnya. Dan perempuan dibutuhkan untuk memahami seutuhnya peran tersebut.
Namun, mari kita lihat di sisi lain dimana perempuan yang kita harapkan telah mempunyai wawasan yang luas baik dari sisi agama maupun kemampuan keilmuannya ternyata tidak dimiliki oleh semua perempuan, khususnya muslimah. Seorang muslimah mempunyai peran ganda dimana ia menjadi bidadari di rumahtangganya sekaligus srikandi bagi kaumnya, yaitu perempuan.
Terdapat 5,3 juta perempuan Indonesia buta aksara yang dengan ketidakmampuan membaca dan menulis ini membuat perempuan sulit mendapatkan hak-hak pelayanan publiknya.
Sungguh miris jika melihat kondisi perempuan Indonesia yang sering kita sebut sebagai tiang negara ternyata banyak yang buta aksara. Padahal merekalah nanti yang akan bermain peran dalam keluarga yang merupakan “batu bata” dari istana Islam yang megah. Nah, disinilah saya melihat peran srikandi bagi kaum perempuan itu sendiri.
Dimana perempuan juga harus bisa mendidik kaumnya sehingga menjadi setidaknya tidak buta akan pendidikan terutama dalam baca tulis yang peran ini tidak akan bisa diserahkan kepada laki-laki karena metode pengajaran seorang perempuan terhadap perempuan akan lebih efektif dibandingkan dengan laki-laki.
Nah, ini hanya contoh kecil dari masih banyak kasus yang menimpa kaum perempuan dan hanya bisa diselesaikan oleh perempuan. Tidak bisa dipungkiri bahwa Islam juga butuh seorang muslimah yang mampu berperan ganda tersebut untuk memberdayakan kaum perempuan itu sendiri yang kebanyakan lebih bersifat tatap muka sehingga sangat mustahil seorang perempuan yang berpotensi dalam berdakwah kepada kaumnya hanya bermain di belakang layar, namun ia harus turun ke lapangan sebagai bentuk empatinya terhadap kaum perempuan dan terutama tentu yang lebih mulia adalah demi Islam yang lebih indah.
Untuk itu dibutuhkan seorang laki-laki muslim yang memahami peran ganda seorang perempuan jika kelak ia mempunyai istri.
Wallahu’alam bishshowab
Ryan Muthiara Wasti ([email protected])
Fakultas Hukum 2008