Betul! Judul itu ditujukan khusus untuk kaum ibu. Kaum yang secara kejiwaan, umumnya amat rentan bila harus kehilangan suami. Entah ditinggal mati suami atau karena kasus perceraian. Konon peristiwa yang paling memukul perasaan seorang wanita adalah, ketika ia harus kehilangan orang yang dicintainya.
Kasus seorang lelaki yang mengalami shock berat lantaran kehilangan istri, barangkali terbilang langka. Jika betul ada seorang suami ditinggal minggat istri misalnya, mungkin ia hanya akan mengatakan, “Biarin aja. Emang gue pikirin!”
Ada anggapan, seorang laki-laki ditinggal mati istri, hampir tak begitu menimbulkan persoalan besar. Jarang peristiwa itu sampai mengakibatkan guncangan bathin yang hebat pada laki-laki. Kecuali barangkali bagi mereka yang memiliki kenangan amat dalam dengan isteri mereka. Boleh jadi lantaran itulah muncul anekdot yang cukup akrab di kalangan kaum perempuan: “Ah, laki-laki sama! Sebelum kuburan isterinya kering, pasti ia sudah kawin lagi.”
Tentu tidak selamanya asumsi itu benar. Anekdot tersebut hanya sebuah penggambaran, betapa beratnya bagi seorang wanita jika harus kehilangan suami. Tapi bahwa peristiwa seorang wanita bakal ditinggal mati suami, atau sebaliknya, hal itu adalah sebuah keniscayaan. Sesuatu yang aksiomatik.
Tinggal masalahnya sekarang, bagaimana seorang istri harus menyadari bahwa hal itu pasti terjadi pada siapapun. Hanya sayangnya kaum ibu umumnya, jarang menghayati peristiwa yang tak pernah diharapkan, tapi pasti bakal datang itu. Tak pelak hal ini menjadi persoalan laten yang relatif cukup serius bagi kaum wanita tentunya.
Perpisahan apapun namanya, terlebih dengan orang yang kita cintai, pasti tak pernah kita harapkan. Apalagi harus berpisah dengan suami. Bahkan jika mungkin kita ingin suami berada di sisi kita selamanya. Tapi realitas kehidupan selalu mengajarkan kita, bahwa “tamu tak diundang” bernama kematian itu acapkali datang secara mengejutkan.
Sebut saja kisah Abdul Rozaq (40). Istrinya tak pernah menyangka laki-laki yang dicintai itu direnggut maut dengan cara mengenaskan. Subuh hari ia pamit keluar untuk membeli bahan-bahan roti. Tapi sebelum kesampaian niatnya, mobil Hijet yang dikemudikannya dihajar sebuah truk besar hingga meremukkan batok kepalanya.
Jauh sebelum itu, Naimullah, seorang wartawan Harian Sinar Pagi mengalami nasib serupa. Ketika itu, Naimullah pamit pada istri dan anak-anaknya untuk shalat Jum’at. Tapi lama ditunggu hingga malam hari, tak kunjung pulang. Besoknya aparat menemukan jasad bapak tiga orang anak itu terbujur bersimbah darah dalam sebuah mobil.
Ilustrasi itu mungkin terlalu menakutkan. Tapi tidak, ini sebuah fakta yang harus kita jadikan ibroh. Sebab apapun yang namanya perpisahan (karena kematian atau perceraian) akan selalu menyisakan guncangan mental bagi pelakunya. Penelitian para psikolog anak dan keluarga membenarkan, betapa sulitnya kondisi seorang ibu di masa-masa pasca perpisahan.
Mereka para ahli menuturkan, betapa pelik dan sukarnya para ibu menjawab dan menjaga kondisi bahtera keluarga yang kehilangan nakhodanya. Ibu-ibu, kata mereka, akan kehilangan retorika komunikasi untuk menjelaskan satu kalimat: “Ayah sudah tidak ada…!” Kondisi itu diperburuk oleh berbagai persoalan yang menuntut sikap dan jawaban yang tak boleh ditunda. Sebab sekali seorang ibu menunda tanpa strategi, jelas akan membawa dampak yang tidak baik terhadap anak.
Betul, siapa yang bisa melarang dan membantah jika wanita membayangkan indah dan nikmatnya pernikahan? Bahwa menikah itu indah, kita tak akan menafikan premis itu. Tapi apakah mereka juga menyadari bahwa hanya melulu membayangkan keindahan tanpa memahami esensi pernikahan, terkadang bisa membawanya pada petaka?
Kenapa? Karena bayangan indah itu akan membawanya ke dunia persepsi yang rawan: menyenangi asesori tanpa memahami esensi.
Apapun lapangan kehidupan, di sektor publik maupun domestik, adalah lahan ujian. Tak terkecuali pernikahan tentunya. Ia adalah arena ujian. Kadang kita diuji dengan kesenangan. Tapi adakalanya ujian itu mencekam. Ibarat berlayar di tengah laut, kerap angin dan cuaca begitu indah dan bersahabat menggerakkan bahtera kita. Namun sekali waktu tanpa kita harapkan, secara mendadak hujan dan badai memporakporandakan seisi bahtera. Begitulah hidup.
Allah mengingatkan hal itu; “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan kebaikan dan keburukan sebagai ujian (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS 21:35).
Begitu banyak wanita yang mengalami shock ketika harus kehilangan suaminya. Yakni mereka yang mungkin hanya memandang pernikahan adalah asesori. Mulus perjalanannya dan menyenangkan, tanpa gangguan. Tapi ketika tiba-tiba ia harus dihadapkan pada kenyataan, suaminya meninggalkannya (untuk sementara atau selama-lamanya) jiwanya terguncang. Ia tak mau menerima kenyataan pahit itu.
Syukur-syukur guncangannya tak terlalu lama. Tapi bila berlangsung konstan? Ini yang berbahaya. Ia mungkin akan berupaya memenuhi fantasi-fantasi tentang indahnya berumah-tangga sebagaimana pernah dialami bersama suaminya. Jika ini yang terjadi, seseorang bisa terjebak pada sekadar ingin melampiaskan fantasinya tanpa memandang rambu-rambu agama. Ia akan terjebak pada dunia asesori tanpa keinginan untuk memahami esensi.
Pernahkah kita mencoba menyelami kisah seorang Siti Hajar yang amat monumental itu? Ketika ia ditinggal suaminya Ibrahim ‘alaihis salam, di padang tandus terpencil dengan bayi merah yang masih berada dalam gendongannya. “Wahai kakanda, benarkah engkau akan pergi meninggalkan kami sendiri?” tanya wanita itu lirih. Ibrahim hanya mengangguk pelan, seraya pergi menjauhi istri dan anaknya.
Ibunda Hajar jelas penasaran dan cemas, lalu menghambur mengejar suaminya. “Benarkah yang menyuruhmu Allah?” desak wanita sholihat itu sekali lagi. “Benar!” jawab Ibrahim.
“Kalau ini perintah Allah, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kami,” ujar Siti Hajar mantap. Lantas perasaan cemas itupun berubah jadi tenang dan pasrah. Wanita sholihat itu tidak lagi merengek setelah memahami esensi misi suaminya. Ini tidak lain karena ia sangat mengerti bahwa pertalian cinta antara dia dengan suaminya karena Allah semata. Dengan kata lain, ia telah menukik ke dalam esensi, bukan menggayut pada asesori.
Memang, Islam tak melarang seseorang untuk melampiaskan duka atas sebuah musibah, apapun jenisnya. Termasuk menangisi kehilangan suami. Tapi jangan terus larut dalam perasaan tanpa berpikir rasional dan proporsional. Bahwa masalah-masalah baru menyangkut kelangsungan keluarga perlu segera dipikirkan. Sehingga Rasulullah saw pernah melarang wanita ke kuburan, ketika para wanita tak mampu mengendalikan emosi kesedihannya. Tapi setelah itu (ketika wanita Makkah tidak lagi histeris menangisi kematian anggota keluarganya), ziarah kubur bagi wanita beliau izinkan.
Satu lagi kisah seorang wanita tabi’in yang kehilangan suaminya. Ia bersikap pasrah tanpa emosional. Para kerabat suaminya justru yang bertanya cemas. “Apa Anda tidak khawatir atas kematian suami Anda?” Dijawab oleh si wanita, “Bukankah suami saya seorang yang ‘tukang makan’ bukan ‘Pemberi Makan’?” jawabnya tenang, lantaran keyakinannya yang mantap bahwa Allah adalah Penggaransi rezeki yang sebenarnya.
Dua penggal episod di atas, seyogyanya kita jadikan sebagai ibroh (pelajaran). Bahwa kemantapan iman dan kepahaman akan esensi hidup, membuat seseorang akan bersikap rasional dan proporsional. Akan membuat seseorang menjadi cerdas, peduli, dan cepat mengambil tindakan-tindakan realistis mengatasi berbagai problema hidup.
Mungkinkah wanita bisa memiliki keteguhan hati dan sikap sebagaimana dimiliki Siti Hajar dan wanita generasi tabi’in itu? Sangat mungkin. Tapi tentunya, ini harus melalui sebuah proses pembinaan yang lama dan berkesinambungan tanpa putus. Karena itu membekali diri mengahadapi segala kemungkinan itu menjadi suatu kemestian dan keniscayaan.
Bekal-bekal yang seyogyanya disiapkan para wanita antara lain; pertama bekal ruhiyah (spiritual). Dengan cara menjauhkan diri dari hal-hal yang tercela. Kemudian intens membaca Al Qur’an dan menciptakan komunitas yang bernuansa qur’ani. Menjaga malam-malam dengan amalan-amalan shalih. Sebisa mungkin menjauhkan diri dari dominasi emosional yang berlebihan. Selain itu selalu berupaya mensyukuri nikmat dan berpikir tentang masalah umat.
Kedua, bekal fikriyah (akal dan wawasan), dengan banyak membaca buku-buku Islam, khususnya kisah-kisah ketegaran para shohabiyah, tabi’in, maupun tabi’ tabi’in dalam menghadapi cobaan hidup. Tak kalah penting tentunya, mengikuti berbagai peristiwa yang terjadi di dunia Islam, terutama Palestina. Di situ kita akan dapatkan kisah-kisah sejati tentang betapa tegarnya para ibu di Palestina menghadapi kebiadaban dan kedegilan bangsa Yahudi.
Ketiga, bekal faniyah (keterampilan), dengan cara mempelajari berbagai keterampilan yang cocok dengan kodrat wanita. Entah itu keterampilan manajemen bisnis, bahkan mungkin sampai perintisan ke arah menjadi juragan usaha katering misalnya. Atau keterampilan jurnalistik, mengajar, komputer, perbankan syari’at, sampai ke arah menjadi kepala sekolah atau lembaga pendidikan lainnya.
Paling tidak, ketiga hal itu perlu menjadi perhatian dan kudu disiapkan seorang wanita. Agar kemampuan spiritual, wawasan, dan keterampilan, menjadi benteng kokoh yang akan memproteksinya dari pikiran, niat, dan perilaku nyeleneh, saat harus menghadapi ujian berat.
“Hidup bagaikan garis lurus. Ia tak pernah kembali ke masa yang lalu.” Begitu pesan Bimbo dalam salah satu lirik lagunya. Hadapilah hidup ini dengan realistis dan penuh keberanian. Bismillah. (sulthoni)