Seorang perempuan muda berseragam putih menyeberangi jalan yang sepi dengan kendaraan . Daerah itu bukanlah perkotaan.
Kicauan burung, nyanyian jangkrik bahkan gumaman sapi yang perlahan menghibur hati seolah menjadi saksi langkah-langkah yang tergesa-gesa menuju tempat yang sepertinya begitu mengharapkan kedatangannya.
Ya, tepat di saat semua makhluk beristirahat, perempuan ini dengan semangatnya melewati jalan berlumpur yang tidak ramah. Bebatuan yang menusuk kaki menjadi cambuk untuk segera sampai tujuan.
“Alhamdulillah, tolong Bu, istri saya sepertinya akan segera melahirkan,” suara bariton yang bergetar penuh harap menyambut kedatangnya sesampai di depan pintu rumah sederhana itu. Tak berapa lama kemudian, suara tangisan bayi pun mengusik ketenangan malam.
Siapakah dia ? seorang perempuan yang sehari-harinya tak kenal lelah dari satu desa ke desa yang lain untuk menyelamatkan jundi-jundi yang akan menjadi generasi harapan. Hanya seorang perempuan biasa yang dengan seragam lusuhnya karena sering dipakai untuk bertugas.
Hanya seorang perempuan biasa dengan sebuah tas kumal berisi peralatan dan obat-obatan. Mungkin tak ditemukan di perkotaan, karena ia hanya hadir untuk orang-orang yang membutuhkan dengan ketidakmampuan mereka.
“Maaf Bu, saya tidak punya uang untuk proses persalinan, seandainya … ” kalimat yang tidak perlu dilanjutkan lagi karena ia sudah hafal dengan kata-kata itu.
Apa yang membuat mereka bertahan dengan segala halang rintang yang tidak ringan? Dengan segala keterbatasan transportasi dan peralatan? Dengan dingin malam ataupun panasnya siang?
Atau siapakah dia yang berada di balik kesuksesan seorang dokter. Yang mengibur pasien siang dan malam, merawat layaknya seorang ibu penuh kasih. Siap dipanggil saat dibutuhkan. Tak kenal siapa yang memanggil, bahkan rela menemani walau tak tahan dengan kondisi terburuk sekalipun. Datang dengan senyum pembawa harapan. Dengan segala keinginan tetap bertahan untuk sebuah pengorbanan.
Tulus …. Jawaban singkat dari semua itu.
Semua perkuliahan diikuti dengan sungguh-sungguh karena ilmu menetukan keberhasilan proses persalinan dan kefasihan dalam merawat. Apa jadinya jika seorang perawat tidak cerdas dan tidak paham dengan ilmu yang didapatnya? Apa jadinya jika seorang perawat bingung dengan kondisi pasien yang berbeda-beda? Sungguh hanya akan mempersulit keadaan dan mencelakakan orang lain. Sebuah hadis sederhana ini menjadi penentunya;
عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس »
Diriwayatkan dari Jabir berkata, ”Rasulullah Saw. bersabda, ‘Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).
Bermanfaat dengan segala resiko yang harus dihadapi menjadikan perempuan berseragam putih ini bukanlah perempuan biasa. Mereka ada layaknya pahlawan yang menjalankan misi tanpa pamrih. Menyelamatkan banyak manusia yang dengan kehendak Allah menghirup udara dunia.
Sebagaimana Rufaidah Binti Sa’ad al-Aslamiyah. Sahabiyah yang berasal dari Bani (marga) Aslam, salah satu marga di suku Khazraj di Madinah. Ia merupakan perawat pertama pada masa penyebaran Islam / The Islamic Periode ( 570 – 632 M).Pada saat peperangan yang diikuti yaitu Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Khaibar dan beberapa perang lainnya, dialah yang menjadi tonggak dalam penjagaan dan perawatan terhadap kaum Muslimin yang terluka.
Atau layaknya Nusaibat Binti Ka’ab Bin Maziniat, dia adalah ibu dari Abdullah dan Habi, anak dari Bani Zayd bin Asim. Dia berpartisipasi dalam Perjanjian Akabat dan Perjanjian Ridwan, dan andil dalam perang Uhud dan perang melawan Musailamah di Yamamah bersama suami dan anaknya.
Dalam perang Uhud, ia merawat korban yang terluka dan menyuplai air. Ia juga digambarkan berperang pedang membela Nabi. Namun, dengan segala kerendahhatian, tidak menutup mata mereka untuk tetap berkarya yang lebih besar, terbukti dengan Rufaidah yang mendirikan rumah sakit medan perang.
Zaman sekarang, bisa dilihat dari salah seorang perawat bidan muslimah pada tahun 1960 yang bernama Lutfiyyah Al-Khateeb yang merupakan perawat bidan Arab Saudi pertama yang mendapatkan diploma keperawatan di Kairo, ia mendirikan institusi keperawatan di Arab Saudi.
Perempuan berseragam putih ini berada di balik kesuksesan sebuah peperangan, dibalik lahirnya generasi pembawa kemenangan, dan di balik kemegahan hidup yang terkadang menistakan harapan.
Mereka hadir dengan segala peluh dan keteguhan hati ber ta’awun dengan semua yang membutuhkanya. Karena memang mereka hadir layaknya pahlawan yang datang saat dibutuhkan dan berjuang untuk kemaslahatan.
Wallahu’alam bishhowab.
Penulis:
Ryan Muthiara Wasti
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
[email protected]