Di Indonesia kita mengenal film “Ayat-ayat Cinta” yang bercerita tentang poligaminya tokoh Fachri. Poligami yang terlihat indah, namun tidak memberikan tauladan bagaimana bentuk poligami yang ideal itu. Di sisi lain Nia Dinata, seorang aktivis feminis liberal meng-counter konsep poligami dalam agamanya sendiri. Ia tidak melihat poligami sebagai solusi, tapi dalam pandangannya poligami adalah penindasan akan martabat perempuan. Benarkah konsep poligami dalam Islam merendahkan martabat perempuan?
Sebenarnya Nia Dinata tidak melihat Islam secera menyeluruh. Mungkin ini masuk akal karena semenjak kuliah di Amerika Serikat, 1992, ia telah larut dalam liberalisme seni. Karena gairah seninya memuncak, akhirnya pada tahun 1993 Nia Dinata diterima di Sekolah Film Program NYU Tisch School of Art. Lambat laun Nia Dinata semakin liberal, terbukti ia dengan menikahi seorang kafir, Constantine Papadimitriou. Bahkan ia pernah mempersilahkan puteranya untuk berzina kalau ia memang menginginkan. Na’uzubillah min zalik.
Adian Husaini pernah mengatakan bahwa seni itu indah. Allah subhanahu wa ta’ala -pun menyukai keindahan, namun bila seni tanpa adab itu yang salah. Ya, seni tanpa adab memang akan menjadi masalah, terlebih bila seni itu digunakan untuk menentang Islam. Ulama sepakat bila sesiapa yang menghina sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam maka dihukumi kufur.
Ada sebuah hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. Yakni tentang keberkahan poligami. Sa’id bin Jubair ia berkata; Ibnu Abbas pernah bertanya kepadaku, Apakah kamu sudah menikah? aku menjawab, Tidak. Ia kemudian berkata, Menikahlah, karena orang yang terbaik dari ummat ini adalah seorang yang paling banyak Istrinya. (HR.Bukhari no. 4681)
Abdullah Ibnu Abbas atau akrab disapa dengan Ibnu Abbas adalah seoraang yang Ghaniy (baca : kaya). Sahabat Rasulullah yang keilmuannya tidak diragukan lagi. Dan menjadi tidak mungkin ia menyelewengkan karunia ilmu dan harta dari Allah subhanahu wata’ala hanya untuk nafsunya. Dan tidaklah pula “yang paling banyak Istrinya” ini diartikan jumlah tanpa batas. Allah ta’ala membatasinya dengan 4 saja (QS. An-Nisa’ : 3). Kalimat “فَإِنَّخَيْرَهَذِهِالْأُمَّةِأَكْثَرُهَانِسَاءً” adalah kalimat yang bersifat kiasan (bunga kata).
Nazhat Afza dan Khurshid Ahmad dalam bukunya “The Position Of Woman In Islam” mengakui bahwa ada segelintir umat Islam yang menyalahgunakan kemubahan poligami. Ia mengakui bahwa diantara muslimin ada yang berpoligami hanya untuk kesenangan nafsu duniawinya saja. Keduanya menganalisa bahwa fenomena ini diakibatkan oleh kurangnya Ilmu Syari’at dan salahnya niat sang suami.
Lebih lanjut mereka berdua menjelaskan bahwa sebenarnya poligami adalah solusi. Solusi ketika seorang suami itu memiliki hasrat seksual yang sangat tinggi, ketika jumlah wanita dalam suatu negeri lebih banyak dari laki-laki, atau ketika seorang laki-laki memiliki kekayaan yang berlampau. Memang ada laki-laki yang memiliki hasrat seksual yang tinggi, bila sang istri tidak dapat memuaskannya sedang suami tidak dapat menyalurkannya, maka ia akan mencari pelarian.
Bila pelariannya adalah kepada yang halal maka tidak menjadi masalah. Namun bila pelariannya kepada pelacur atau dengan mencari selingkuhan maka inilah yang berbahaya. Berbahaya bagi dirinya, keluarganya dan agamanya. Dan ini belum termasuk bahaya terkenanya dia pada penyakit kelamin.
Nazhat Afza dan Khurshid Ahmad juga menjelaskan bila seorang lelaki memiliki kekayaan yang banyak sekali, sedang ia hanya hidup dalam satu keluarga kecil maka hartanya hanya menumpuk dan menumpuk saja. Menumpuk tanpa memberi manfaat yang luas. Islam mencela jenis orang yang menumpuk-numpuk harta, “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah” (QS. al-Humazah :1-4).
Dengan ia menikahi lagi seorang perempuan miskin, perawan tua atau janda beranak banyak, sang suami ini telah menghidupi tidak hanya satu keluarga lagi tapi juga menentramkan perempuan hati yang dinikahinya. Tidak mudah hidup suatu keluarga miskin menghidupi keluarganya, terlebih anak perempuan. Dengan dinikahinya gadis dari keluarga miskin ini, berarti sang laki-laki telah mengangkat derajat perempuan itu dan juga keluarganya. Perempuan yang tidak kunjung menikah akan menimbulkan akibat fatal, tidak menutup kemungkinan sang perawan tua akan menjalani hidupnya dalam depresi dan menderita dalam kesendirian. Seorang janda, harus melaksanakan 2 peran sekaligus, peran ayah pencari nafkah dan peran ibu pendidik anaknya. Ini adalah ujian yang terlampau berat baginya. Bila mencoba membuka mata, maka poligami adalah solusi atas problem ini.
Selepas Perang Dunia II, di Jerman Barat sempat terjadi krisis demografi. Jumlah wanita dan anak-anak jauh melampaui jumlah laki-laki dewasa. Parlemen mengusulkan untuk membuat kebijakan poligami. Agar poligami ini tidak diselewengkan, maka beberapa anggota parlemen Jerman Barat mendatangi Universitas al-Azhar Mesir. Mereka ingin mempelajari konsep poligami yang ideal kepada para Ulama al-Azhar. Akhirnya keluar kebijakan anjuran kepada laki-laki yang memiliki kemampuan kekayaan untuk menikahi janda-janda korban perang. Menakjubkan, beberapa dekade berikutnya Jerman bangkit dari krisis ketimpangan penduduk itu.
Kembali kepada masalah film. Di seberang lautan sana, tepatnya di Amerika Serikat, berkembang sebuah sekte Kristen fundamentalis yakni “Sekte Mormon”. Berpijak pada ayat-ayat Bible yang membolehkan para Nabi ‘alaihimus salam untuk berpoligami, Warren Jeffs salah satu tokoh sekte pun mengamalkannya. Namun suatu kesalahan dilakukannya, ia tidak dapat menyusun konsep poligami yang sempurna seperti di Islam. Ia terjebak dengan nafsunya hingga ia memiliki lebih dari 20 istri.
Para pengikut sekte ini benar-benar mengikuti langkah baik Jeffs dan membuang langkah buruknya. ‘Ala kulli hal, banyak sekali ditemukan pasangan plogami sekte Mormon yang harmonis. Entah apakah dengan niat murni mengamalkan ayat-ayat Bible atau karena tekanan media dan para aktivis feminis liberal, entahlah. Memang setelah Jeffs ditahan atas tuntutan para aktivis feminis dan atas tuduhan kejahatan federal, sekte ini menjadi perbincangan yang yang menggemparkan di Amerika Serikat.
Hujatan dan sinisme tidak hanya meluncur dari aktivis feminis. Tetapi juga dituangkan dalam film garapan Leif Tilden dengan judul “Big Love” (Rilis tahun 2012). Dalam film ini digambarkan para istri saling tarik manarik hati sang suami dengan penuh ke-egoisan yang berimbas pada terbengkalainya anak-anak mereka. Miris, itulah yang memang dilakukan feminis, sekularis, pluralis, liberalis, apatis, sofis dan semua jenis pemikiran penentang agama lainnya. Selalu membuat makar untuk meruntuhkan tatanan agama.
Konsep Poligami dalam Islam begitu rapi dan begitu Indah. Dan inilah barangkali yang menjadi keunggulan Islam. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam telah memberikan banyak petuah dan nasihat mengenai kehidupan keluarga umumnya dan poligami khusunya. Bahkan banyak ulama yang telah membahas detail-detail mengenai poligami, bagaimana niatnya, ilmunya, manajemennya, problem solving dan lain sebagainya. Hanya tinggal kita sendiri, apakah mau menggali ilmu-ilmu peninggalan yang amat berharga ini atau senang mendengarkan celotehan para feminis?. Jawabannya kembali kepada diri kita masing-masing.
Ini juga sekaligus pesan bagi para wanita agar berilmu syar’i dan siap dalam segala kondisi. Dan nasehat bagi pria agar memiliki ilmu syar’i sebelum beramal. Dan pentingnya untuk meluruskan dan menjaga niat. Terakhir semoga ini dapat menjadi pacuan bagi para seniman yang memiliki komitmen keislaman untuk dapat membuat film atau karya seni lainnya yang mendakwahkan keteladanan, keindahan dan kesempurnaan Islam.
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (QS. An-Nisa : 76)
Wallahu a’lam bish shawab
Akbar Novriansyah – Yogyakarta