OLEH : CUT ASMAUL HUSNA TR,S.H.,M.Kn
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinlah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (An-Nisa : 3)
Issue poligami merupakan topik yang cukup menarik dibicarakan pada saat ini. Selain karena poligami itu terkait secara langsung dengan keadilan dan ketidakadilan Suami dalam menjalankan rumah tangga berganda, juga karena adanya anggapan bahwa hingga saat ini kontroversial pro dan kontra poligami masih diperdebatkan banyak kalangan.
Mencuatnya issue poligami akhir-akhir ini baik di media massa maupun elektronik, tidak terlepas dari perkawinan kedua para pemimpin ummat. Poligami merupakan perkawinan yang dinilai kontroversial bagi sebagian komunitas masyarakat Indonesia sekarang ini, mulai dari kalangan masyarakat kelas elite, pengusaha, cendikiawan, bahkan pejabat publik.
Sebagai konsekwensi dari produk kontroversial tersebut, Pemerintah berinisiatif untuk segera merivisi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, junkto Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 mengenai perubahan PP Nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS. Paradigma yang akan di bangun adalah tidak hanya efektifitas pemberlakuannya bagi PNS saja, akan tetapi juga berlaku bagi Pegawai Swasta. Fenomena pro dan kontra masih aktual (hot issue) diperbincangkan berbagai kalangan sampai detik ini.
Mengutip Surat An-Nisa ayat :3 di atas, jelas bagi kita umat Islam, Allah Azza Wa Jalla telah memberikan hak kepada seorang lelaki untuk berpoligami sampai 4 orang isteri. Menanggapi ayat ini, para mufassir (ahli tafsir) menjelaskan, tujuan dari berpoligami adalah takut terjerat ke dalam perbuatan zina.
Penafsiran kontemporer terhadap praktik poligami sekarang “dilarang”, tidak lebih akibat pola hidup permisif, konsumtif, dan bertabiat liberalis-kapitalistik. Umat Islam pun kehilangan orientasi, pijakan, dan harga diri. Nilai-nilai akhlak Islam yang dianut dan dimuliakan, kini ditinggalkan bahkan dicibir. Anehnya, perbuatan zina yang sering dilakoni pejabat publik mendapat legitimasi.
Membicarakan rekonseptualisasi poligami kontemporer sekarang ini, bukan maksud penulis untuk melegitimasi kekeliruan yang sering dilakukan setiap suami ketika mereka berpoligami. Berbabagai macam ragam kekeliruan seorang suami ketika berpoligami, tidak lantas kita kaum muslimah untuk menentang hukum Allah.
”Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam.(Memang), Jahanam itu tempat kembali yang buruk” (An-Nisa : 115).
Para ulama sepakat bahwa orang yang mengingkari atau membenci ayat Al-Quran adalah murtad, demikian pula, orang yang mengingkari hadist-hadist mutawatir. Orang-orang yang mengingkari poligami (padahal dasar hukumnya disebutkan dalam Al-Quran dan Hadist), maka tidak diragukan lagi kekafiran dan kemurtadan bagi mereka.
Zaman kontemporer ini merupakan zaman syubuhat (tuduhan dan keraguan) yang dicanangkan oleh musuh-musuh Islam. “…… Sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran”) (An-Nisa : 27).
Regulasi Perilaku Poligami
Fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat kita, adalah setelah suami berpoligami, istri pertama dan anak-anaknya sering dan nyaris terabaikan, apalagi bagi suami yang tidak mapan penghasilannya dan minimnya pengetahuan serta pengamalan terhadap nilai-nilai agamanya (baca Islam), baik secara materi maupun maknawi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5ayat (1) memberi jalan alternatif bagi suami yang berpoligami dengan syarat alternatif berupa : Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, Isteri tidak dapat melahirkan keturunan serta dengan syarat komulatif berupa : Adanya persetujuan dari Isteri/ Isteri-isteri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Dari ketentuan di atas, maka timbul permasalahan bagaimana barometer dan indikator jaminan bahwa suami mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka, baik jaminan dalam bentuk materil maupun inmateriil ? secara teknis seharusnya Pemerintah membuat petunjuk pelaksana (juklak) atau petunjuk teknis (juknis), guna untuk mengantisipasi kesimpangsiuran penafsiran dan efektifitas undang-undang tersebut.
Persoalan lainnya,bagaimana bila syarat-syarat tersebut tidak dapat terpenuhi sedangkan suami ingin berpoligami? Disebutkan dalam beberapa penelitian, sebanyak 70% pria Amerika Serikat pernah berselingkuh dari isteri mereka. Terdapat lebih 35 juta pria yang sudah beristeri menjalin hubungan asmara di luar perkawinan. Dengan kata lain, 70% isteri mereka menderita, karena suaminya berkhianat. Fenomena itu mendorong para wanita membentuk Forum WATE, yang singkatan dari bahasa Inggris yang terjemahannya “Wanita dan Suaminya yang Berselingkuh” (Lihat Min Ajli Tahrir Haqiqi li Al-Mar’ah :48-49).
Hak untuk melakukan perkawinan merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) dan berada dalam ruang lingkup hukum keluarga(family recht) Dengan demikian seyogianya tidak boleh ada aturan dalam suatu negara untuk melarang, atau tidak memberikan hak bagi warganegaranya laki-laki untuk melangsungkan perkawinan secara sah untuk kedua kalinya.
Poligami merupakan pilihan sosial (social of changes), oleh karena itu tidak diperlukan campur tangan Pemerintah yang melampaui batas dalam perkara ini, apalagi dalam syariat Islam, poligami merupakan perbuatn yang dihalalkan, bagaimana hukumnya perbuatan yang halal kemudian diharamkan dan diberikan sanksi pidana bagi yang berpoligami, dilematis memang.
Sementara mengapa Pemerintah tidak mengambil inisiatif untuk membuat rancangan undang-undang (RUU) Anti Perselingkuhan bagi PNS dan Pegawai Swasta, dan diberikan sanksi pidana yang tegas bagi yang melanggarnya.
Apabila Pemerintah ingin membuat peraturan tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil yang konon akan diperluas juga bagi pegawai swasta, aturan hukumnya seharusnya bersifat fakultatif (mengatur) bukan bersifat imperatif (memaksa), agar bagi mereka yang ingin berpoligami harus memenuhi ketentuan dan syarat-syarat untuk berpoligami guna mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan hukum, terutama bagi Isteri kedua dan isteri-isteri selanjutnya dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut, demikian juga sebaliknya bagaimana perlindungan hukum terhadap Isteri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan terdahulu apabila suami yang berpoligami tidak dapat menjalankan kewajibannya secara adil. Bila aturan-aturan ini dapat diterapkan, maka keprihatinan dan kekhawatiran sebagian kalangan dapatlah diminimalisir secara hukum.
Menurut hemat Penulis, suatu produk UU atau peraturan lain di bawahnya yang dilahirkan, hendaknya tidaklah merupakan side of interest elite politik dan elit publik dan juga bukan euforia sesaat opini publik. Dan pada situasi dan kondisi yang dialami bangsa Indonesia saat ini, Pemerintah sebagai Regulator bersikap arif dan bijak untuk lebih mencurahkan perhatian dan fokus pada kepentingan Nasional.
Back To Basic Al-Quran Dan Hadits
Diprediksi fenomena poligami tingkat intensitasnya akan terus mengalami peningkatan pada masa-masa yang akan datang. Kemajuan di bidang teknologi informasi yang ditandai dengan semakin meluasnya penggunaan telepon seluler dan media internet, serta kemajuan teknologi transportasi yang begitu pesat, telah mempercepat mobilitas orang –orang dari satu tempat ke tempat lain dengan biaya yang relatif murah, dan menyebabkan pergaulan manusia menjadi mendunia.
Dalam kondisi seperti ini seringkali pergaulan manusia mengabaikan norma-norma agama. Jika masalah ini tidak dapat segara dicarikan solusinya , berupa undang-undang atau peraturan pemerintah yang sesuai dengan syariat yang telah digariskan dalam Al-Quran dan Al-Hadist, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah sosial, seperti hidup serumah tanpa ikatan perkawinan (kumpul kebo), timbulnya topengan untuk nikah diam-diam hanya sekedar untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, dan tindakan-tindakan penyeludupan hukum lainya, seperti yang banyak terjadi di depan mata kita, baik ia berasal dari kalangan jelata, selebritis ataupun pejabat publik.
Suatu hal yang tidak dapat dibantah, bahwa UU No.1 Tahun 1974 dan PP No.10 Tahun 1983 jo. PP No. 45 Tahun 1990 telah mengebiri sebagian hak asasi manusia laki-laki, untuk melangsungkan perkawinan yang kedua kalinya. Hal ini telah menyebabkan laki-laki yang hendak melakukan perkawinan kedua kalinya, mencari jalan sendiri dengan berbagai cara.
Mungkin ada yang sebagian yang tidak takut dosa hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah, berselingkuh, jajan, dan sebagian lain yang takut akan dosa nikah secara diam-diam. Selama hubungan itu dijalani masih aman bagi para pihak, mungkin tidak ada persoalan, tapi bagaimana jika dalam hubungan itu lahir anak, bagaimana status anak menurut hukum? Ketika Bapak Biologis meninggal, bagaimana dengan warisan terhadap anak tersebut? Dan bagaimana pula status isteri muda yang ditinggalkan?
Islam adalah agama yang realistis. Menghadapi persoalan sesuai dengan kenyataan yang ada. Di samping tidak melalaikan naluri seks dan fitrah manusiawi laki-laki yang pada dasarnya berbakat poligami. Logika, bahwa Allah Azza Wa Jalla memperkenankan sebagian kecenderungan (mail) demi memenangkan maslahat poligami, karena poligami mengandung maslahat besar. Jika tidak, maka kecenderungan (mail) di sini dilarang untuk selamanya, dan bersikap adil itu di antara isteri adalah kewajiban.
Firman Allah SWT : “Kamu sekali-kali tidak dapat bernuat adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu mcenderung (kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung” (An-Nisa’ “ 129).
Ketika Islam memperbolehkan poligami, tidak berarti bahwa salah seorang isteri boleh mengalahkan isteri yang lain. Bahkan, masing-masing dari isteri itu harus mendapat bagiannya masing-masing, baik itu tempat tinggal, nafkah lahir-bathin, pakaian dan sebagainya. Sungguh, Allah menyuruh kamu berbuat adil dan berbuat kebajikan (An-Nahl : 90).
Sabda Rasulullah SAW “Barang siapa beristeri dua kemudian terlalu cenderung kepada salah seorang di antaranya, maka pada hari Kiamat ia datang dengan bahunya cenderung sebelah “.
Oleh sebab itu, maka poligami dalam keadaan seperti ini tidak dibenarkan. Dan keadaan poligami seperti ini yang banyak dilakoni para suami pada saat ini, sehingga banyak kalangan yang menggugat atau bahkan menghujat poligami.
Pada dasarnya pemberian izin bagi pria untuk boleh menikah lebih dari satu, merupakan sarana terbesar dalam rangka pengembangan manusia. Rasulullah SAW memerintahkan agar umat Islam memperbanyak jumlah keturunan, karena di hari Kiamat nanti akan dibanggakan jumlah mereka.
Poligami dalam Islam dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dan menutup kerusakan. Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan isterinya. Ia bertanggung jawab akan hal itu. Manajemen pemimpin dan sikap adil terhadap yang dipimpinnya adalah batasan yang memisahkan antara kecerdasan dan kekuatan agamanya dengan kedunguannya dan kelalaiannya.
Kekhawatiran terhadap perilaku poligami saat ini lebih pada perilaku pribadi suami yang melakoninya. Sering kali tanpa dinafikan bahkan hampir sebagian besar suami berpoligami berlaku zhalim terhadap istri dan anak-anak yang terdahulu pada perkawinan sebelumnnya.
Bentuk-bentuk kezhaliman suami dalam berpoligami yang terjadi dewasa ini, diantaranya adalah: Suami meninggalkan salah satu isterinya karena perselisihan kecil, tanpa didahului nasihat dan peringatan terlebih dahulu, kecenderungan dalam pemberian kasih dan cinta, tidak adil dalam memberi nafkah, tak adil dalam mencurahkan kasih sayang, istri dan anak-anak terlantar tanpa pemberian nafkah, istri terpaksa bekerja mencari nafkah untuk memenuhi keperluan hidupnya.
Ironisnya anak dan isteri menderita batin berkepanjangan. Anak dan isteri menjadi korban poligami. Bila kehidupan poligami yang seperti ini dijalankan, maka poligami dalam keadaan ini dosa.. Itulah sebabnya mengapa Allah menandaskan poligami dengan adad (jumlah). “Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin” (Al-Ma’idah ‘ 50).
Tidak mudah memang melakoni poligami, apabila para suami takut tidak dapat berbuat adil, maka cukuplah satu baginya. Banyak fakta terjadi di depan mata, suami yang melakoni poligami tidak dapat berbuat adil bahkan cenderung menganiaya sekaligus berperilaku di luar akal sehat.
Memahami agama saja tidak menjadi indikator untuk berbuat adil. Mencari solusi atas fenomena poligami seperti ini, maka kita akan merujuk pada ketentuan Allah, terutama bagi para suami yang kurang agamanya, akal dan muru’ah (kehormatan pribadi), di antaranya para suami harus : Bertaqwa kepada Allah dan merasakan pengawasan-Nya, menahan pandangan, senantiasa qana’ah, merenungkan orang yang lebih rendah derajatnya dalam hal keduniaan, pahami makna kecantikan dengan benar, mengendalaikan hawa nafsu syahwat dan merenungkan berbagai akibatnya.
Bagi pengambil kebijakan baik itu Ulama maupum Umara, untuk segera merekonseptualisasi poligami yang diatur dalam peraturan yang ada sekarang untuk menselaraskan dengan hukum yang telah digariskan dalam Al-Quran dan Al-Hadist. Dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi sekarang, hendaknya kita memikirkan secara objektif dan meninggalkan konsepsi-konsepsi poligami yang salah.
Banyaknya kejadian yang menggemparkan dan memalukan, mengakibatkan kontradiksi dan pertentangan serta kecenderungan berbuat diluar batas norma-norma yang telah digariskan. “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinlah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Maha Benar Allah dengan Segala Firman-Nya.
Penulis Dosen Fakultas Hukum
UNIMAL. Lhokseumawe