Rachel Corrie, mengabadikan cita-cita cinta dan kemanusiaannya melalui catatan-catatan hariannya. Semua tulisan dan gambarnya ”berbicara” lugas dan berenergi. Dia beritahu dunia, bagaimana cara menjadi manusia. Dengan akal sehat, lalu kata yang waras, tulisan yang hidup, tindakan yang benar, semua telah dilakukan Rachel, di Palestina.
Rachel Corrie. Sejak Olympia Movement for Justice and Peace (OMJP), Olympians for Peace in the Middle East (OPME), Students Educating Students about the Middle East (SESAME), Olympia Fellowship of Reconciliation (FOR) hingga International Solidarity Movement (ISM) disuplai energi kemanusiaan olehnya untuk meneriakkan kata “Merdeka!” Karena penjajahan yang diprakarsai negaranya (AS), Inggris dan Negara-negara Eropa masih berlangsung di hampir setiap sudut bumi ini.
Dengan pilihan merdeka, Rachel Corrie pergi ke Palestina. Rachel mempelajari isu tak masuk akal Palestina yang berhembus ke telinga dunia dengan kata “konflik” Palestina-Israel. Akhirnya dia dapati kenyataan bahwa Israel menjajah Palestina sejak lebih setengah abad lampau.
“Rachel, untuk pergi ke Palestina, kewajibankah? Tak seorangpun menyalahkanmu untuk mengurungkan niat itu,” ujar Mama Rachel. Rachel menjawab pasti, “Barang-barang sudah kukemas. Rasa takut itu manusiawi. Tapi kupikir, melakukannya tak mustahil. Harus kucoba, Mam.” Seatraktif apapun bujukan keluarganya, niat Rachel tak tergoyahkan. Tekad telah bulat, “Goodbye Olympia…”
Januari 2003. Rachel berangkat ke Israel untuk transit ke Tepi Barat. Setibanya di tanah para pengungsi itu, dia langsung bergabung bersama insan internasionalis (dari Inggris, Jerman, Itali dll) di International Solidarity Movement (ISM); wadah para pegiat kemanusiaan anti penjajahan. Pergerakan ini hanya memiliki dua syarat partisipasi: Pertama, pegiatnya yakin bahwa bangsa Palestina berhak merdeka berdasarkan hukum internasional dan resolusi PBB. Kedua, pegiatnya hanya menggunakan cara tanpa kekerasan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina.