Keberadaan polisi perempuan di Irak, tidak lepas dari pengaruh invasi AS ke Negeri 1001 Malam itu. Militer AS-lah yang membujuk pemerintah Irak agar melibatkan kaum perempuan dalam menjaga keamanan dan ketertiban negara, dengan membuka kesempatan bagi mereka untuk menjadi polisi wanita, hal yang sebelumnya dianggap tabu di Irak sebagai negara Islam yang konservatif.
Namun banyak polisi wanita (polwan) di Irak yang mengeluhkan perlakuan diskriminasi dengan kolega mereka yang lelaki maupun dalam penugasan. Seorang polwan di kota Baghdad bernama Rula Waleed Abdul-Kadir mengungkapkan bahwa mereka masih dipandang rendah dan tidak penting, meski mereka memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan polisi laki-laki, misalnya dalam menggunakan senjata.
"Perempuan, kami selalu dimarginalkan di Irak. Meski puluhan aktivis berusaha mengubah kondisi ini, pada akhirnya semuanya akan kembali seperti sebelumnya. Kami akan dipandang rendah dan tidak penting, meski kami mampu menggunakan senjata dengan baik," keluh Rula Waleed.
Saat ini sedikitnya ada lebih dari 2.000 polwan di Irak. Mereka dilatih secara terpisah, tapi mendapatkan pelatihan yang sama dengan polisi laki-laki pada umumnya seperti pelatihan menangani kerusuhan, membongkar senjata, membuat pos-pos pemeriksaan dan latihan mencari senjata. Polwan di Irak biasanya ditugaskan di pos-pos pemeriksaan dan gedung-gedung pemerintah, untuk memeriksa perempuan di pintu masuk untuk mencegah aksi serangan.
"Kami masih dilihat seperti seorang pegawai pemerintah dan bukan seorang anggota polisi.," sambung Rula.
Hala Abdul-Lattif, polwan berpangkat mayor yang ditugaskan di pos pemeriksaan di sebuah gedung pemerintah di Irak mengamini pernyataan Rula. "Tidak ada tempat buat kami untuk tidur di akademi atau di stasiun, sehingga kami harus berangkat pagi buta agar tepat waktu tiba di tempat latihan atau tempat kerja," ujar Mayor Hala.
Menurut Hala, bahaya yang mengintai polwan sama dengan resiko yang dihadapi polisi laki-laki. "Karena kami bisa menggunakan senjata, setidaknya kami merasa lebih terlindungi," ujarnya.
Yang jadi masalah, kata aktivis perempuan, Mayada Zuhair, seorang polwan hanya dibolehkan membawa senjata jika markas polwan yang bersangkutan mengijinkan. "Dari riset yang saya lakukan, hanya tiga markas polisi di seluruh Irak yang membolehkan polwannya membawa senjata," ungkap Mayada.
Ia berpendapat, kebijakan itu merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap polwan, karena polwan juga bertugas di tempat dan situasi yang setiap hari menghadapi ancaman bahaya dan membawa senjata adalah hak seorang polwan.
Rula Waleed menambahkan, penderitaan yang dialami para polwan lebih dari sekedar masalah penugasan kerja karena mereka juga diperlakukan berbeda dengan polisi laki-laki.
"Kami tidak dihormati seperti layaknya polisi laki-laki. Jika ada yang melontarkan perkataan buruk pada saya dan saya mengadukannya pada atasas, atasan cuma minta pada yang bersangkutan untuk menghentikan perkataannya. Tapi jika yang mengadu seorang polisi laki-laki, pelakunya pasti sudah ditangkap karena dianggap telah menghina petugas negara," papar Rula.
Sejumlah polisi lelaki di Irak memiliki anggapan yang merendahkan kemampuan polisi perempuan. Banyak diantara polisi lelaki yang menilai polwan tidak bisa memberikan jaminan keamanan pada masyarakat, karena menurut mereka, perempuan itu sendiri membutuhkan perlindungan.
"Polwan adalah hal yang baru di Irak. Kami belum terbiasa. Mereka lebih rapuh dan kami tidak bisa melihat mereka sebagai orang yang punya kemampuan sama dengan kami. Saya merasa bahwa saya harus melindungi warga Irak di sekeliling saya, termasuk para polwan itu," ujar Mayor Haydar Abdul Jaffar menanggapi soal eksistensi polwan.
Menurutnya, kalau perempuan ingin berada di kepolisian atau kemiliteran, mereka lebih cocok mengerjakan pekerjaan administratif dan tidak berasa di lapangan.
Pejabat senior kementerian dalam negeri Irak, Letnan Kolonel Ali Hassan Gandour, membantah tudingan bahwa polwan sudah diperlakukan diskriminatif. Tapi ia mengakui bahwa perempuan memang tidak diperhitungkan untuk menduduki posisi elit di kepolisian atau kemiliteran.
"Kami bangga pada para perempuan yang ada di kepolisian dan kemiliteran. Saya tidak percaya ada diskriminasi dalam tugas mereka sehari-hari. Lagipula, ada undang-undang baru tahun ini yang membuka kesempatan bagi polisi perempuan untuk mendapatkan posisi yang lebih baik," tukas Letkol Ali Hassan. (ln/iol)