Berbicara perempuan di masa kini tidak hanya sekedar membahas tentang masalah dapur, sumur dan kasur. Saat ini perempuan dituntut menjadi sosok yang serba bisa dalam menghadapi tuntutan zaman yang serba canggih. Di rumah ia harus menjalankan perannya sebagai seorang manajer rumah tangga merangkap koki, bendahara keuangan, guru, dokter dan berbagai tugas lain dalam mengurus suami dan anak-anaknya. Sementara itu ia juga harus bersikap teguh menjalankan tugasnya di luar rumah sebagai salah satu roda penggerak ekonomi di masyarakat.
Perempuan di balik kekurangannya dituntut untuk menjadi individu yang tangguh dalam membendung tantangan yang ia akan selalu hadapi dalam kehidupan termasuk tantangan dalam menjaga aqidahnya. Sudah banyak contoh perempuan yang berhasil dalam mempertahankan aqidahnya yang tak gentar menghadapi cobaan yang ada.
Candyce namanya. Saya berkenalan dengannya di penghujung tahun 2011. Kami sama-sama bergabung di Islamic Society of Edinburgh (ISocEd) yang biasanya mengadakan pertemuan seminggu sekali. Saat pertama kali bertemu ia baru masuk Islam. Ya, ia adalah satu dari sekian banyak orang yang memutuskan untuk masuk Islam di negara yang muslim masih menjadi kaum minoritas. Ia bercerita bagaimana ia harus menyembunyikan terlebih dahulu identitasnya sebagai muslim kepada orangtuanya yang tinggal di Amerika Serikat karena takut mereka akan menentang keputusannya yang ekstrem itu.
Karena satu dan lain hal, saya akhirnya jarang mengikuti acara yang diadakan ISocEd. Tak terasa hampir satu tahun berlalu. Saya kembali dipertemukan dengan Candyce di Central Mosque ketika kami sama-sama akan melaksakan shalat dzuhur. Satu tahun kami tidak bertemu ia sudah berubah menjadi sosok yang luar biasa. Rambut yang dulu tergerai sudah ia tutup dengan sempurna. Ia pun mengubah namanya menjadi Amenah. Ia pun terlihat sudah lancar melafalkan bacaan shalat, padahal ketika kami bertemu pertama kali ia beberapa kali terlihat memegang buku belajar membaca al-Qur’an. Betapa ketertundukannya pada Allah sangat terlihat di wajahnya. Hati saya tercabik-cabik membandingkan apa yang dilakukan sebagian muslimah di Indonesia yang rela melepas kerudungnya dengan alasan panas atau ketinggalan zaman. Padahal Indonesia adalah penduduk yang mayoritasnya muslim. Astagfirullah.
Cerita Candyce mengingatkan saya pada sosok Sumayyah binti Khayyath. Perempuan pertama yang mati syahid di jalan Allah karenan mempertahankan aqidahnya. Melalui anaknya Ammar bin Yasir ia beserta suaminya Yasir mulai mengenal Islam. Saat itu Ammar yang beranjak remaja mengenal kabar telah datang Nabi baru yang membawa agama tauhid. Ia pun akhirnya memeluk Islam dan menceritakan tentang keislamannya kepada kedua orangtuanya. Mereka menyambut gembira kabar tersebut dan memutuskan untuk masuk kepada agama yang dibawa oleh Muhammad. Saat itu mereka harus menyembunyikan identitas mereka sebagai muslim dikarenakan kebencian kaum Quraisy kepada Muhammad dan pengikutnya. Namun pada akhirnya identitas mereka terbongkar oleh Abu Hudzhaifah yang merupakan kepala suku Bani Makzhum.
Sumayyah pun mendapat siksaan yang begitu berat. Dadanya dihimpit dengan batu hingga ia kesulitan untuk bernafas dan tubuhnya dibaringkan di padang pasir yang panas. Sumayyah dipaksa untuk kembali ke ajaran nenek moyangnya menyembah berhala. Siksaan demi siksaan yang ia hadapi tidak sekalipun membuat ia bergeming. Ia teringat akan surga yang dijanjikan Rasulullah untuknya. Yang keluar dari mulutnya hanyalah “Ahad…Ahad”, Allah yang satu, tak ada Tuhan selain Dia. Hingga akhirnya tombak Abu Jahal menembus ke dadanya dan menjadikan ia mujahidah pertama yang teguh mempertahankan agamanya.
Allah berfirman dalam Qur’an surat al-Ankabut ayat 2:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?”
Amenah dan Sumayyah adalah dua sosok serupa yang hidup di zaman yang berbeda. Tindakan mereka dalam menunjukkan keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya patutlah menjadi contoh bagi kita. Serangan fisik dan non-fisik yang datang bertubi-tubi tidak menjadikan mereka mundur dengan keislamannya. Mereka teguh beriman padahal mereka merupakan kaum minoritas di tengah masyarakat yang membenci Islam.
Amenah dan Sumayyah adalah simbol kekuatan iman yang ditunjukkan oleh perempuan yang dikenal lemah. Tak banyak mungkin yang kita bisa jumpai seperti mereka. Di negeri yang mayoritas Muslim ini yang terjadi justru sebaliknya. Banyak perempuan yang menggadaikan aqidahnya dengan alasan cinta. Ya, cintanya pada manusia mengalahkan cinta yang diberikan Allah padanya. Yang mengaku muslimah pun tak sedikit yang mengumbar auratnya dan menunda untuk menutupnya dengan dalih belum dapat hidayah. Na’udzubillah.
Cukuplah Amenah dan Sumayyah menjadi suri tauladan bagi kita untuk senantiasa meningkatkan iman di tengah gerusan zaman. Cinta mereka pada Allah dan Rasul-Nya mengalahkan dunia dan seisinya. Bujukan dan paksaan untuk kembali ke agama yang lama tak membuat iman mereka goyah. Karena mereka yakin surga jaminannya. Wallahu a’lam bishawab.
*Penulis adalah dosen pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Bale Bandung dan alumni University of Edinburgh, United Kingdom