Mufti Besar Suriah Syaikh Ahmad Badr Al-Din Hassoun belum lama ini membuat pernyataan yang memicu kontroversi terutama di negara-negara Arab yang memberlakukan pembatasan ketat terhadap kaum perempuannya.
Syaikh Al-Din Hassoun menyatakan bahwa secara pribadi ia mendukung jika perempuan juga dibolehkan menjadi mufti sepanjang perempuan yang bersangkutan memiliki kemampuan dan bekal ilmu agama yang memenuhi syarat untuk menjadi seorang "muftiya".
Wacana yang digulirkan oleh mufti besar Suriah itu ditanggapi beragam, ada yang setuju, ada setuju tapi membatasi mufti perempuan hanya boleh mengeluarkan fatwa-fatwa yang terkait dengan persoalan kaum perempuan dan ada yang menolak total ide Syaikh Al-Din Hassoun.
Seorang mufti memiliki tanggung jawab yang berat dan yang memegang jabatan tersebut bukan orang-orang yang sembarangan, karena seorang mufti didefinisikan sebagai ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada umat.
Selama ini, jabatan mufti identik hanya diperuntukan untuk kaum lelaki dan masih terjadi pro dan kontra boleh tidaknya seorang perempuan menjadi mufti.
Yang paling antusias dengan pernyataan Syaikh Al-Din Hassoun tentu saja para cendikiawan Islam di kalangan muslimah. Salah satunya adalah Huda Habs asal Suriah yang berpendapat bahwa mufti perempuan bisa membantu kaum perempuan untuk secara terbuka mengungkapkan persoalan-persoalan yang dihadapinya tanpa khawatir merasa dipermalukan.
Seorang mufti perempuan bisa mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan urusan perempuan, pernikahan dan masalah rumah tangga serta keluarga.
Anggota Dewan Ulama Islam Senior Arab Saudi, Syaikh Abdullah Al-Munai juga menyatakan mendukung ide mufti perempuan. Pada surat kabar Al-Watan, Syaikh Al-Munai mengatakan bahwa jabatan mufti bukan diperuntukan hanya untuk laki-laki.
Cuma yang menjadi persoalan, sejumlah ulama Muslim beranggapan bahwa suara perempuan adalah aurat dan tidak pantas didengar di tengah kaum lelaki yang tidak ada hubungan muhrim.
"Padahal sebagai ‘muftiya’ seorang mufti perempuan harus bicara di depan publik," kata Syaikh Al-Munai.
Terlepas dari perdebatan soal suara perempuan adalah aurat, Syaikh Al-Munai mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah hak semua orang, termasuk bagi kaum perempuan. "Kaum perempuan juga memiliki kecerdasan berpikir seperti yang dimiliki kaum lelaki. Itulah sebabnya, di jaman Rasulullah Saw terdapat banyak perempuan yang kapasitasnya dipandang sama sebagai ulama," paparnya.
Pendapat berbeda diungkapkan mantan dekan akademi Islam di Universitas Imam Muhammad bin Saud, Saud Al-Nufaisan. Ia berpendapat, seorang ulama perempuan memainkan peranan penting untuk memberikan pendidikan syariah Islam bagi kaum perempuan.
Tapi seorang ulama perempuan, menurut Al-Nufaisan, tidak bisa menjadi seorang mufti dan tidak boleh mengeluarkan fatwa untuk laki-laki maupun perempuan atau fatwa pada negara, karena wilayah itu bukan wilayah yang menjadi tanggung jawab kaum perempuan.
"Tapi kaum perempuan boleh menjadi ulama, ustazah atau guru hanya di komunitas perempuan saja, yang posisinya berada di bawah lembaga pemerintahan," kata Al-Nufaisan.
Namun Suhaylah Zain Al-Abidin, penulis dan anggota Masyarakat Nasional untuk Hak Asasi Manusia menolak alasan bahwa mufti perempuan tidak boleh mengeluarkan fatwa. Menurutnya, kaum perempuan boleh mengeluarkan fatwa di jaman Rasulullah Saw. "Masyarakat bukan hanya berisi kaum lelaki saja dan bukan cuma kaum lelaki yang punya persoalan," tukas Al-Abidin.
Ia mendesak Dewan Ulama Senior Saudi untuk menerima mufti perempuan untuk duduk dalam Dewan tersebut. "Dengan segala hormat, bagi mereka yang menolak ide mufti perempuan berarti sudah mereduksi status seorang perempuan dan intelektualitas yang dimiliki kaum perempuan. Al-Quran dengan jelas menegaskan bahwa ilmu agama bukan cuma untuk kaum lelaki. Sekarang, banyak kaum perempuan yang berkualitas dan layak menjadi mufti," tandas Al-Abidin pada surat kabar Al-Madinah.
Tapi anggota Dewan Shuro dan konsultan Kementerian Kehakiman di Saudi, Sheikh Abdul Mohsin Al-Obaikan bersikeras bahwa kaum perempuan hanya boleh bebas bicara dengan terbuka hanya di depan seorang mufti perempuan.
"Itulah sebabnya seorang mufti perempuan hanya cocok untuk komunitas perempuan, karena dialah yang paling tahu kondisi perempuan dan apa yang diinginkan perempuan," kata Al-Obaikan. (ln/iol)