Aku menjawab, Aku seorang hakim. Aku tidak mau mereka membuatku jenuh. Aku melalui malam yang penuh kenikmatan. Aku tinggal bersamanya selama tiga hari. Kemudian aku pergi ke majlis pengadilan (mulai bekerja kembali). Tidak ada hari yang aku lalui tanpa kebaikan darinya.
Satu tahun kemudian (setelah pernikahan kami), tatkala aku pulang ke rumah, aku melihat seorang wanita tua yang memerintah dan melarang, ternyata itu adalah ibu mertuaku. Aku berkata kepada ibu mertuaku, Selamat datang.
Ibu mertua berkata, Wahai Abu Umayyah, apa kabarmu? Aku menjawab, Baik, alhamdulillah. Ibu mertua bertanya, Bagaimana istrimu? Aku menjawab, Wanita terbaik dan teman yang menyenangkan. Ibu telah mendidiknya dengan baik dan mengajarkan budi pekerti dengan baik pula kepadanya.
Ibu mertua berkata, Seorang wanita tidak terlihat dalam suatu keadaan di mana prilakunya paling buruk kecuali dalam dua keadaan. Jika dia telah memperoleh tempat di sisi suaminya dan jika dia telah melahirkan anak. Jika kamu melihat sesuatu yang membuatmu marah darinya, maka pukullah (dengan pukulan yang membimbing, tidak membekas). Karena laki-laki tidak memperoleh keburukan di rumahnya kecuali dari wanita bodoh dan manja.
Syuraih berkata, Setahun sekali ibu mertuaku datang, dia pulang setelah bertanya kepadaku, Bagaimana menurutmu jika kerabatmu ingin mengunjungimu? Kujawab, Terserah mereka. Dua puluh tahun aku bersamanya. Aku tidak pernah mencelanya atau marah kepadanya.
Inilah pedoman yang harus dimengerti dan dipahami dengan baik oleh seorang wanita, sebagai pijakan cahaya dalam hidupnya. Mengabdilah dengan baik kepada suamimu, niscaya kamu berbahagia dan mendapatkan suami yang berbahagia dan berhasil dalam pekerjaannya. (inilah)
Sumber: Ensiklopedi Kisah Generasi Salaf