Oleh : Aris Solikhah*)
Mafia peradilan yang selama ini dianggap sebagai dugaan belaka, kini memperoleh konfirmasi dan bukti ketika Mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji membeberkan keberadaan makelar kasus (markus) di tubuh polri. Sebelumnya bukti lain Anggodo Widjojo mengaku telah menggelontorkan uang Rp 6 miliar ke berbagai pihak terutama pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menghentikan proses hukum. Mafia peradilan ini melibatkan banyak lembaga. Mafia peradilan juga melibatkan hakim peradilan. Pada masa Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan, Komisi Yudisial (YK) telah mengajukan 28 hakim untuk dijatuhkan sanksi terkait pelanggaran. Namun sayangnya, rekomendasi tersebut tidak ada satu pun yang ditindaklanjuti. Di era kepemimpinan Harifin A. Tumpa, dari 11 hakim yang direkomendasikan untuk dikenakan sanksi, baru dua yang ditindaklanjuti.
Faktor rendahnya kualitas sumberdaya manusia baik intelektualitas dan spiritual, birokrasi peradilan yang berjenjang, pengawasan sangat lemah, dan rendahnya integritas pimpinan menjadi penyebab merebaknya mafia peradilan di Indonesia. Di samping tidak ada sanksi berat bagi pelaku mafia peradilan makin menambah suburnya mafia ini. Satu contoh, mantan hakim pengadilan tinggi Harini Wijoso, yang menjadi pengacara pengusaha Probosutedjo. Dia yang telah terbukti menyuap dengan uang 400 ribu dolar AS dan Rp 800 juta, hanya divonis 2 tahun di tingkat pengadilan banding. Semua faktor ini muncul dan berakar dari sistem peradilan yang diadopsi Indonesia.
Meminalisir Keberadaan Mafia Peradilan
Kelemahan sistem peradilan Indonesia-lah yang memberikan celah keberadaan mafia peradilan. Sistem peradilan Indonesia merupakan warisan dari Pemerintah Belanda. Wajar jika perundang-undangan tadi tidak mewakili aspirasi dan semangat penduduk Indonesia yang mayoritas muslim. Perundang-undangan tersebut bersifat sekuler, banyak menimbulkan kontraversi dan tidak memberikan solusi dalam masyarakat. Selain itu, malah menimbulkan permasalahan baru, sehingga pantas kiranya dikatakan sistem peradilan Indonesia telah cacat sejak dilahirkan. Oleh karenanya, untuk menghilangkan mafia peradilan, maka tidak ada jalan lain selain merombak total sistem peradilan di Indonesia dan mencari alternatif lain. Alternatif terbaik tersebut adalah sistem peradilan Islam yang telah dibuktikan pelaksanaannya selama lebih dari 1500 tahun.
Secara umum, sistem sanksi (uqubat) dalam Islam bersifat zawâjir (membuat jera) dan jawâbir (penebus dosa di akhirat). Sistem sanksi Islam akan membuat jera pelaku kejahatan dan masyarakat untuk tidak melakukan tindakan kriminal. Ini akan memberikan rasa aman kepada masyarakat baik pelaku maupun korban. Patut diketahui Islam memiliki kaidah hukum “Membebaskan orang yang diragukan kesalahannya adalah lebih baik daripada menjatuhkan hukuman bagi orang tak bersalah.”
Hukuman hanya dijatuhkan bila ada bukti dan motif atau motivasi sangat kuat dengan melihat kondisi negara ketika itu. Islam membatasi empat hal sebagai bukti kuat yakni: kesaksian, pengakuan, sumpah dan dokumen-dokumen tertulis yang meyakinkan. Rekaman video, suara, foto dan selain empat bukti tersebut tidak bisa dijadikan bukti kuat langsung untuk menjerat seseorang.
Kesaksian dalam Islam ditetapkan berdasarkan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282 ‘Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan.”
Saksi hendaknya orang yang adil dan bisa dipercaya. Firman Allah dalam surat Al-Hujurat (49) ayat 6: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Saksi melihat langsung kejadian, didasarkan ilmu dan keyakinan kuat. Rasulullah mengisyaratkan kepada seseorang yang memberi kesaksian, ”Jika engkau melihat, (maka) seperti engkau melihat matahari, maka bersaksilah. Jika tidak, tinggalkanlah.”
Khusus tuduhan zina jumlah saksi sebanyak empat orang laki-laki yang melihat langsung kejadian perzinahan dari dekat. Seseorang bisa dijatuhi hukuman dengan pengakuannya atau sumpahnya. Nabi Muhammad Saw bersabda, ”Dua saksi dari kalian, atau sumpahnya.”
Sisi lain, Islam menghukum berat para saksi palsu. Memberikan kesaksian palsu termasuk dosa besar. Orang yang bersaksi palsu dan menuduh orang lain berzina dijatuhi hukuman 80 kali dera. Tanpa bukti kuat ini seseorang tidak bisa dijatuhi hukuman.
Islam secara khusus menghukum pelaku kejahatan berat dan dosa besar secara terbuka dan transparan di muka umum dan disiarkan di media masa, sebagai bentuk pendidikan moral. Rasa malu, ketakutan dan keinginan mempertahankan hidup serta nama baiknya ketika melihat langsung ekskusi hukuman berat, mencegah masyarakat melakukan hal serupa. Beda sekali dengan hukuman di Indonesia. Hukuman di Indonesia kadang tidak dilakukan secara transparan dan terbuka sehingga kurang menimbulkan efek jera.
Dari aspek motif, pelaku kriminalitas tak bisa dijatuhi hukuman, bila motifnya untuk mempertahankan hidupnya demi kelangsungannya (hajatul udhawiyah), bukan karena hawa nafsu atau keserakahan (menumpuk kekayaan dan mencari kekuasaan) semata. Misalnya, seorang pencuri atau koruptor yang mencuri atau mengkorupsi uang negara/masyarakat karena kelaparan amat sangat, maka ia dibebaskan. Bahkan negara wajib memenuhi makanan dan menyediakan kebutuhan pokoknya, sehingga tidak ada alasan baginya mencuri dengan alasan kebutuhan pokok hidup. Lain halnya, dia korupsi karena ingin hidup mewah seperti yang terjadi pada makelar kasus Gayus Tambunan. Hanya dalam lima tahun saja melakukan praktek markus, Gayus Tambunan dapat tinggal di kawasan elit Kelapa Gading.
Motif ini sangat perhatikan oleh aparat atau negara. Bila motif kejahatan terjadi akibat kelalaian negara dalam memenuhi kewajiban dan kebutuhan hidup warganya, maka peradilan dapat mempertimbangkan untuk tidak menghukumi terdakwa. Peradilan malah bisa menuntut negara untuk memenuhi kewajiban warganegaranya.
Islam juga memilahkan peradilan dalam tiga kelompok masalah yakni peradilan masalah antara negara atau kepala negara (khalifah) dan warganegara (qadhi mazalim), peradilan masalah muamalah antar warganegara (qadhi khusumat) dan peradilan masalah kemasyarakatan atau kepentingan umum (qadhi hisbah).
Ketiga peradilan ini mempunyai fungsi masing-masing. Keberadaan qadhi hisbah dan aparat keamanan yang senantiasa terjun langsung memantau pelanggaran di tengah masyarakat meminimalisir pelanggaran kepentingan umum. Baik qadhi maupun aparat keamanan adalah pegawai negara yang memiliki kompetensi tinggi dibidangnya, sehingga, mereka senantiasa mengedepankan keadilan dan memecahkan masalah keumatan di tempat kejadian. Telah diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah bersabda, “ Ringankanlah (sanksi) bagi orang yang memiliki perangai terpuji atas pelanggaran mereka, kecuali hudud.” Mereka tidak mencari-cari kesalahan dan kekurangan, untuk dibawa ke peradilan sebagai objek tambahan penghasilan seperti yang sering terjadi di negeri kita.
Untuk kasus kesewenangan khalifah atau kepala negara, warganegara bisa mengajukan bukti kuat dan pengaduan ke qadhi mazalim. Jika khalifah kalah di pengadilan, khalifah wajib memenuhi tuntutan warganegaranya. Demikian untuk masalah persengketaan antara warganegera, seseorang bisa langsung mengadukan terdakwa dengan bukti kuat. Tanpa biaya administrasi, pengadilan, dan biaya pengacara. Atau peradilan berjenjang yang ribet dan berbelit-belit memakan waktu bertahun-tahun tanpa kepastian hukum. Peradilan Islam mengedepankan solusi terbaik dan adil. Pelaksanaan hukuman Islam dilandaskan motivasi keimanan ruhiyah mencari ridha Allah bukan semata mencari kemaslahatan atau keuntungan semata. Niat atau motivasi inilah yang akan menjaga keberlangsungan keadilan dan kepastian hukuman.
Dengan struktur peradilan sederhana tersebut kejahatan peradilan mafia bisa diminimalisir. Sedikit kasus yang masuk ke peradilan. Islam memandang setiap warganegara baik muslim dan non-muslim setara dalam timbangan hukum peradilan. Tidak ada pengistimewaan keadilan antara pemimpin negara atau khalifah, pejabat negara dengan warganegara. Masing-masing pihak mendapat jaminan keadilan hukum yang sama.
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Dalam Islam sistem uqubat (sanksi) adalah satu bagian dari pilar bangunan sistem Islam secara keseluruhan. Penegakan dan penerapan sistem peradilan atau sanksi ini tak bisa berdiri sendiri, tanpa sistem-sistem lain, seperti: sistem politik, pemerintah, ekonomi, sosial, luar negeri, pendidikan dan sistem-sistem Islam lainnya. wallahu’alambishawab
*) Penulis Alumni IPB, bekerja di IPB, Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan, aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, penulis lepas.