Ketika Hilang Kerinduan dan Kehangatan Seorang Isteri

taat isteriOleh : Zahrotul Makwa ( Penggiat CIIA Devisi Kajian Parenting )

Menikah, sejatinya adalah menggabungkan dua pribadi yang berbeda. Pria dan wanita. Karakter dan sifat yang diciptakan Alloh tak serupa. Jadi wajar, dalam mengarungi bahtera rumah tangga akan ada sandungan bahkan badai dan gelombang yang menghadang. Berani menikah berarti harus siap dengan berbagai masalah yang mungkin menerpa. Tidak hanya mikir enaknya saja, tapi lupa dengan pahitnya. Menikah tak mungkin tanpa ujian, baik ujian kenikmatan maupun ujian musibah. Dari ujian itulah akan terseleksi siapa yang layak memperoleh keberkahan dan kebahagiaan. Akan terbukti benar menikah semata karena ibadah atau hanya mengikuti hawa nafsu.

Fenomena di masyarakat, bisa dijumpai betapa banyak yang menikah ternyata semata “ibadah” hanya di bibir saja. Jauh sekali dari tindakannya. Ada yang menikah karena hamil, yang berarti telah berbuat zina dan terpaksa menikah untuk menutup aib. Ada yang menikah karena bangga dengan calon pasangan yang punya “nama” di masyarakat, yang akhirnya memunculkan kesombongan. Ada yang menikah karena terpesona dengan kechakepan seseorang. Ada juga yang menikah karena silau oleh harta. Ada pula yang karena kepepet usia yang semakin menua, hingga asal pilih. Dan alasan lain yang jauh dari tujuan seharusnya sebagai suatu ibadah dan menjaga kesucian diri. Hingga tak heran di kemudian hari akan memicu perselingkuhan bahkan perceraian.

Berdasar angka statistik, perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat drastis. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) tahun 2012 mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen. Data Badilag,  tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya. (Republika online, Selasa 24/1/2012)

Menurut Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar di Jakarta, Sabtu (14/9/2013), Kementerian Agama (Kemenag) mencatat setiap tahunnya telah terjadi 212 ribu kasus perceraian di Indonesia dimana angka tersebut jauh meningkat dibanding 10 tahun yang lalu, yang jumlah angka perceraiannya hanya sekitar 50.000 per tahun.

Sejatinya, Alloh telah menurunkan seperangkat aturan untuk bekal hidup manusia di dunia. Termasuk di dalamnya pedoman hubungan suami istri. Sudah jelas Alloh atur bagaimana kewajiban dan hak suami. Demikian juga dengan hak dan kewajiban istri. Jika masing-masing suami dan istri berada pada relNya, insyaalloh kebahagiaan ada di hadapan mata. Seterjal apa pun jalan “pernikahan” yang ditempuh tak akan berarti apa-apa. Semua akan terasa ringan dilalui. Mudah sekali sebenarnya manusia itu, gak perlu susah-susah membuat aturan baru. Bersama dengan penciptaannya Alloh telah membekali sebuah aturan yang sempurna. Manusia hanya tinggal mengadop saja.

Namun, terkadang sisi manusia dengan atribut “perasaan” yang ada pada diri tiap individu lebih dominan berbicara. Sisi perasaan inilah sebagai celah masuknya setan Harut dan Marut untuk mengoyak maghligai perkawinan dua manusia. Ilustrasi berikut bisa sedikit memberikan gambaran.

Jundi menatap langit-langit di rumahnya. Pikirannya galau tak menentu. Sepuluh tahun sudah rumah tangga ia bina bersama sang istri. Dua anak lelaki nya pun mulai menginjak remaja. Tiga tahun belakangan Jundi merasa rumah tangganya bagai neraka. Tepatnya sejak ia memutuskan berhenti bekerja pada sebuah perusahaan. Mengakhiri Long Distance sejak awal pernikahan. Jundi ingin lebih dekat dan intens mendidik istri dan anak-anaknya. Azzam nya untuk membawa bahtera pernikahannya sesuai dengan Islam sudah bulat. Jundi ingin hijrah, dari kehidupan yang jauh dari Islam pada kehidupan yang segala hal bersandar pada aturan Alloh. Kajian Islam rutin yang telah diikutinya sejak empat tahun lalu benar-benar telah mengubah hidupnya. Telah menyulap hidupnya menjadi seorang aktifis dakwah yang amat dekat dengan amar ma’ruf nahi munkar.

Sebuah keputusan yang sulit memang. Melepaskan pekerjaan mapan yang telah dimilikinya sejak lajang. Tapi demi dakwah dan totalitas berada dalam relNya, Jundi rela. Toh rumah tempat tinggal mereka cukup mewah dengan perabotan yang lengkap. Hanya perlu menjaga agar asap dapur tetap mengepul. Itupun bukan hal yang sulit baginya, asal mau hidup lebih sederhana. Apalagi istrinya pun seorang wanita pekerja.

Maka dimulailah episode itu. Jundi intens membimbing sang istri untuk  belajar ilmu agama. Mulai mengajak istri untuk menutup aurat dengan sempurna dan mengikuti kajian keislaman yang sesungguhnya bertebaran di lingkungan tempat tinggal mereka. Membiasakan anak-anak mengaji dan menghafal alquran.

Tak terasa telah tiga tahun semua berlalu. Hasilnya benar-benar menguras pikiran dan kesabaran. Anak-anak tak ada masalah. Justru ibu mereka lah yang bermasalah. Istri Jundi tak kunjung berubah. Aurat ditutup hanya sekedarnya, itupun jika ke kantor ataupun keluar rumah. Kajian tak satupun mau diikutinya. Buku-buku Islam pun tak disentuhnya. Segala nasihat pun mental dan menguap entah kemana. Selalu saja ada pembenar atas perbuatan salah yang dipilih. Selalu saja ada alasan atas setiap perintah suami. Yang capai di kantor lah, lelah lah, gak sempat lah dan berpuluh jawaban lain. Bahkan untuk sekedar menyediakan sarapan pagi untuk suami dan anak-anak pun tak ia lakukan.

Setiap nasihat berakhir dengan konflik. Istrinya mulai melarang Jundi mengaji, karena dianggap sebagai sumber perubahan suami. Kalau perlu kunci kendaraan pun disembunyikan agar tak bisa Jundi kajian rutin. Cacian dan hinaan sang istri telah menjadi santapan sehari-hari. Bahkan suara keras sang istri menjadikan tetangga tahu tentang permasalahan rumah tangga mereka. Peralatan dapur yang melayang keluar rumah pun menjadi hal yang sudah biasa dilihat tetangga. Memang, jika sang istri marah dan “ngamuk”  hanya setan yang bisa mengendalikannya. Jundi tak bisa berbuat apa-apa. Dulu pernah karena saking marahnya, Jundi khilaf  membentak istri dengan suara keras, tapi bukannya istrinya takut, malah sebuah tamparan mendarat di pipinya.

Jundi merasakan kegoncangan yang begitu hebat. Entah harus bagaimana ia menghadapi sang istri. Kelembutan dan kesabarannya selama ini seolah tak berbekas. Kehangatan seorang istri tak pernah lagi ia dapatkan. Semua terasa hambar dan beku. Kalau bukan karena demi anak-anak ingin rasanya Jundi menjatuhkan talaq. Toh, mencari pengganti istrinya pun bukan hal yang sulit. Banyak wanita sholihah di tempatnya biasa mengaji yang bisa Jundi pilih salah satunya. Namun ia pun masih mencintai istri, masih sangat berharap istrinya berubah. Jujur, dulu Jundi memilih sang istri karena kecantikannya, dan kini ia merasa benar-benar celaka. Entah sampai kapan…..

Didasarkan cerita di atas, pasti semua sepakat. Tak ada yang salah dengan Jundi. Ia manusia yang telah mendapat petunjuk dan bertobat. Wajar jika ingin menularkan hidayah itu kepada istri dan anak-anaknya. Dan itu kewajiban Jundi sebagai qowwam di rumah tangganya. Namun apa daya Jundi, ketika sang istri lebih memilih memperturutkan perasaan dan hawa nafsunya. Jundi telah kehilangan kerinduan dan kehangatan seorang istri. Kerinduan untuk bertemu ataupun sekedar bercengkerama tak ada lagi pada diri istrinya karena menganggap Jundi telah berubah penuh nasihat. Tak ada lagi kehangatan seorang istri untuk tulus mencintai dan berkhidmat pada suami. Jundi sedih, jangankan pada Jundi yang manusia biasa, pada Alloh Sang Pemilik Hidup pun istrinya tak taat. Jadi bagaimana mungkin ia bisa menjadi istri yang menaati suami.

Lain lagi dengan cerita seorang sahabat berikut ini.

Sity sedang bingung, dan ingin mencari solusi. Sebenarnya sahabat saya itu seorang istri sholihah. Selalu menaati dan khidmat pada suaminya. Seorang ibu yang baik bagi anak-anaknya. Pernikahan selama lima belas tahun dengan seorang suami sholeh, telah menjadikannya wanita yang bahagia. Namun, ada satu hal yang selama beberapa tahun terakhir telah mengganjal hatinya. Pelan namun pasti terpikirkan. Lambat laun mulai terasa ketidaknyaman dan ketidakpuasannya. Ia mulai merasakan kehampaan dan kekosongan saat melakukan hubungan di balik tirai kamar. Pelayanan yang diberikan pada suami dianggap sebagai hal rutin, sekedar menggugurkan kewajiban. Kehidupan ranjang tak lagi menjadi suatu hal yang menyenangkan. Bahkan kadang ia lakukan dengan terpaksa demi baktinya pada suami. Padahal hatinya tersiksa, dan lebih tersiksa lagi ketika harus menipu diri sendiri dengan berpura-pura klimaks demi menyenangkan suami. Tak lagi ada rindu di hatinya untuk memadu cinta. Kehangatan pun hanya sekedar sandiwara. Mungkin suaminya tak pernah tahu. Anak-anak pun hanya tahu bahwa orangtuanya baik-baik saja. Tak ada yang tahu betapa hambar rasanya menjalani peran sebagai istri.

Banyak hal yang telah berubah, kecuali rutinitas sebagai suami istri. Beberapa tahun terakhir, ia anggap sang suami telah berbeda. Suami yang biasanya romantis, pandai mengolah kata-kata mesra, sekarang tak lagi seperti itu. Siti merasa tak lagi diperhatikan. Haknya sebagai istri untuk sekedar memperoleh kata-kata dan panggilan indah tak lagi ia dapatkan. Suami terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan dan dakwahnya. Bahkan komunikasi dari hati ke hati pun sulit diwujudkan. Setiap ucapan suami adalah perintah yang harus ditaati. Sedikitpun tak boleh berbeda meskipun hanya berupa masukan. Siti layaknya robot yang harus selalu menuruti tuannya. Cintanya pada sang suami perlahan layu. Kerinduan tak lagi dimilikinya. Ibarat bunga yang perlu siraman air setiap hari. Tapi setitik pun air itu tak menetesinya.

Entah kemana perginya kata-kata yang dulu selalu membuat hatinya berbunga. Rangkaian kalimat indah yang membuatnya serasa menjadi “princess”. Kata sayang…my hunny…my lovely wife…bidadariku….kekasih… telah hilang dari kamus pernikahannya. Entah menguap kemana. Ciuman tak terduga, kecupan kecil, kerlingan mesra, bisikan indah dan godaan nakal telah lama tak lagi ia peroleh dari suami. Kadang Siti sendiri bingung, siapa sebenarnya yang berubah, ia atau suaminya. Kadang juga ada prasangka menyeruak tiba-tiba, mungkin suaminya telah bosan dan tak lagi mencintainya.

Sebuah pernikahan yang awalnya karena semata ibadah mengikuti sunnah nabiNya, kini entah apa motivasi di baliknya. Semua terasa hampa dan monoton. Siti hanya bisa berdoa. Semoga pernikahannya dengan suami selamat dari gelombang kejenuhan. Semoga ia dan suami bisa sama-sama saling evaluasi diri. Mengembalikan semua hal pada Alloh SWT. Meluruskan kembali niat awal pernikahan mereka.

Dari kedua kasus di atas kita bisa mengambil ibroh bahwa setelah sekian lama pernikahan, rasa cinta pada pasangan yang awalnya teramat menggebu bisa saja pudar. Apalagi memang ada Harut Marut yang tugasnya memisahkan istri dari suaminya. Ada setan yang menggoda agar ketika dengan pasangan sah merasa biasa saja. Tapi dengan orang lain yang bukan suami atau istrinya  pingin dekat dan cari perhatian. Ada setan yang mengganggu agar komunikasi dengan orang lain lebih mengasikkan daripada komunikasi dengan pasangan sendiri. Hingga tak heran, jika angka perselingkuhan di Indonesia makin tinggi.

Sebagai contoh, Jatim menempati peringkat pertama di Indonesia dengan 7.172 kasus. Peringkat kedua ditempati Jabar dengan 3.650 kasus dan ketiga Jateng dengan 2.503 kasus. Di Indonesia sendiri angka perselingkuhan mencapai 10.029 kasus (suarakawan.com, 28 Juni 2012).

Mungkin, perselingkuhan hanya berlaku bagi masyarakat awam. Keluarga pengemban dakwah kemungkinan besar tak disinggahi badai perselingkuhan. Sebab, perselingkuhan adalah hal terlarang. Pengemban dakwah rasanya tak mungkin memilih jalan hina ini. Paham, selingkuh adalah salah satu pintu mendekati perbuatan zina. Terpikirkan pun tidak.

Namun, sering singgah badai lain yang benar-benar harus hati-hati menyikapi. Sebuah badai yang akan membuktikan iman tak hanya sekedar lisan. Badai itu jika dianggap badai ia bernama “poligami”. Ada istri-istri yang menerima hukum poligami hanya jika bukan suaminya yang menikah lagi. Tapi ketika sang suami ingin matsna, istri meradang, marah, tak rela dan akhirnya melakukan perbuatan melanggar syara demi mencegah sang suami punya istri lagi. Bahkan bila ternyata sang suami telah menikah, dengan entengnya meminta suami menceraikan madunya. Tak ada lagi kehangatan seorang istri yang biasanya lembut. Lupa bahwa bukan hanya pernikahan pertama yang bertujuan ibadah, lalu menganggap pernikahan suami yang ke dua dan seterusnya adalah sebuah kedholiman hanya karena rasa sakit hati istri pertama. Ketaatan seorang istri pun hilang tertiup emosi. Lupa dengan sabda rosul,” perkara yang pertama kali ditanyakan kepada seorang wanita pada hari kiamat nanti, adalah mengenai sholat lima waktu dan ketaatannya terhadap suami (HR. Ibnu Hibban, dari Abu Hurairah).

Cemburu boleh saja, wajar dan sangat manusiawi. Cemburu tanda adanya cinta. Sulit memang mengelola cemburu. Tapi jangan sampai menghilangkan kehangatan terhadap suami. Melenyapkan kerinduan seorang istri. Memusnahkan kepercayaan pada suami. Apalagi menghilangkan ketaatan pada syariat Alloh. Dari Husain bin Muhshain dari bibinya berkata: “Saya datang menemui Rasulullah SAW. Beliau lalu bertanya: “Apakah kamu mempunyai suami?” Saya menjawab: “Ya”. Rasulullah SAW bertanya kembali: “Apa yang kamu lakukan terhadapnya?” Saya menjawab: “Saya tidak begitu mempedulikannya, kecuali untuk hal-hal yang memang saya membutuhkannya” . Rasulullah SAW bersabda kembali: “Bagaimana kamu dapat berbuat seperti itu, sementara suami kamu itu adalah yang menentukan kamu masuk ke surga atau ke neraka” (HR. Imam Nasai, Hakim, Ahmad dengan Hadis Hasan)

Ketika hilang kerinduan dan kehangatan istri, seorang suami sebenarnya bisa melakukan introspeksi total. Mencari penyebab dibaliknya. Apakah karena istri yang memperturutkan perasaan dan hawa nafsu, ataukah  justru sikap suami yang berubah dan membuat resah istri. Bisa jadi seorang suami telah melakukan pelanggaran syara, hingga mengganggu hati istri. Seorang suami yang baik tentu bisa ” membaca” sang istri meski hanya sekedar dari bahasa tubuh dan tatapan mata. Rasulullah pernah bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya terhadap istri-istrinya.” (HR. Tirmidzi).

Menikah adalah ibadah, maka sudah seharusnya suami istri berlomba mewujudkan samara dan saling membahagiakan. Saling menunjukkan kehangatan tanpa ada sekat pembatas. Saling rindu kala beberapa jam saja tak bertemu. Saling mendukung kala melangkah. Saling menginspirasi dalam kebaikan. Saling memotivasi untuk bermanfaat bagi orang lain. Saling menguatkan kala badai menerpa. Bukan sebaliknya, saling melemahkan, membenci, memudarkan semangat bahkan mencaci dan mengeluarkan kata-kata buruk. Bukankah hadits riwayat Bukhari menyebutkan untuk, “Berkata baik atau diam?”

Mewujudkan mawaddah warohmah adalah kewajiban bersama suami istri. Keduanya harus terlibat aktif. Tak bisa hanya salah satu, istri atau suami saja. Mungkin perlu direnungkan kata bijak berikut, ” bahwa untuk membentuk kebahagiaan rumah tangga perlu dua orang suami istri yang bersinergi dan bekerjasama, tapi untuk menghancurkannya satu orang saja cukup.” Wallohu’alam.

 

¤¤¤¤( CIIA-The Community of Ideological Islamic Analyst : [email protected] )¤¤¤¤