Senja memang selalu memberi kesan yang hangat, tak jarang para insan memanfaatkan waktu senja tuk sekadar berharap kelegaan telah menguasai relung hatinya atas segala ketidakberdayaan sebagai makhluk. Senja kali ini pun sama seperti senja-senja sebelumnya. Namun ada saja yang mengganjal di senja kali ini. Susah tuk melepas kepergiannya, berharap kedatangan malam tak semakin menambah hilangnya kemilau yang telah sang surya hadirkan di siang hari. Di “pagi yang cerah” saat kerudung panjang adalah hal yang haram. Saat putri-putri nan sholehah menyandang tas pemikul wajah peradaban bangsa. Saat pilihan bukan lagi menjadi pilihan karena hanya ada sebuah keterpaksaan, berhenti atas permintaan sendiri atau diberhentikan karena tidak mematuihi peraturan sekolah. Sebuah kalimat indah dari syaikhut tarbiyah menyatakan bahwa bila ini adalah sebagian dari indikator kebangkitan, lihatlah 5 tahun ke depan, dari setiap gang Jakarta dan seantero Indonesia akan berhamburan ukhti-ukhti yang anggun, cerdas dan berdaya dengan jilbab kebangkitan. Dan itu bukan ansich kebangkitan kaum perempuan, melainkan kelahiran sebuah generasi. Ya benar adanya, menjelang cerahnya mentari, jilbab pun tiada lagi mengundang keraguan, hingga pasar tanah abang pun menjadi sorotan ibu-ibu tuk sekadar membeli tidak hanya sehelai namun berpuluh-puluh helai kain panjang yang akan menutup mahkota terindah perempuan.
Entah sadar atau tidak, konspirasi atau tidak, saat matahari mulai meredup, keanggunan tanpa polesan apapun ditimpuki oleh keberagaman ide kreatif yang katanya tuk jadikan perempuan muslim pede dengan jilbabnya. Pede atau tidak, toh jilbab ini bagi insan yang sadar tak sekadar penutup rambut dan mempercantik diri. Maka, jika qolbu berbicara, ia tak kan sekadar sehari dua hari namun akan bertahan hingga tanah mengubur segala cita-cita duniawi.
Yang kalian perlukan bukanlah royalti sebuah perjuangan, karena itu telah disiapkan Allah, tersimpan rapih dalam khazanah kebajikan untuk saat kembali kepada Nya atau telah kalian nikmati tanpa sadar di dunia ini. Sebuah pengingatan, bahwa cita-cita kaum ibu di masa dahulu yang hingga tak bisa meneteskan air mata karena terlanjur menikmati keelokan dan keMahaKuasaan Nya menciptakan rupa insan bernama perempuan dengan segala ujian dan duri yang sering menusuki kain lusuhnya.
“senja peradaban” yang berlalu akan menghadirkan kemilau kemuliaan perempuan
serta kejayaan Islam pun terkobarkan lewat selembar kain penutup penanda keimanan.
– Ryan Muthiara Wasti <[email protected]> –