Peran wanita sebagai ibu tak bisa dianggap sebelah mata. Ibu memerankan peran yang luar biasa dalam mengurusi urusan suaminya, anak-anaknya dan berbagai macam kebutuhan rumah serta keluarganya. Namun sayang, tidak semua wanita yang berperan sebagai ibu bisa menjalankan perannya secara utuh. Di sekitar kita saat ini, banyak para ibu yang ‘dipaksa’ terjun membanting tulang di luar rumah untuk membantu perekonomian keluarga.
Di tengah himpitan ekonomi dan tingginya biaya hidup, para ibu harus rela berdesakkan berebut ladang pekerjaan dengan kaum lelaki. Era kapitalisme inilah yang memaksa perempuan untuk bersaing ketat dengan kaum lelaki untuk mendapatkan lembaran-lembaran penyambung nyawa. Apapun dilakukan untuk turut serta mengerakkan perekonomian keluarga. Mulai dari menjadi penyapu jalanan, pembantu rumah tangga, buruh pabrik, pedagang, bahkan ada yang menjadi TKI di luar negeri.
Namun, tidak semua upaya para ibu ini berjalan mulus. Para ibu yang menjadi TKW di luar negeri harus berjuang lebih keras menghadapi perbudakan yang dilakukan majikan mereka di sana. Tak jarang hak-hak mereka tidak dipenuhi, diperkosa, nasib mereka tidak jelas terlunta-lunta menanti dipulangkan, atau bahkan pulang tinggal nama.
Penggiringan perempuan ke sektor publik khususnya ekonomi tidak lepas dari program-program yang dibuat oleh pemerintah. Sebut saja program pemberdayaan ekonomi perempuan yang dilakukan oleh Kemenkokesra dan Kemeneg PP dan PA. Dengan dalih menaikkan kualitas hidup perempuan, program-program ini dibuat untuk menggerakkan roda perekonomian lewat tangan para perempuan.
Namun, karena standar hidup yang dipakai adalah sistem kapitalisme yang lebih menyasar eksploitasi finansial sehingga perempuan menjadi objek kapitalisasi melalui pola hidup konsumtif. Perhatian dan perlindungan terhadap mereka hanyalah kamuflase untuk mengamankan tujuan keberlangsungan eksploitasi ekonomi terhadap perempuan.
Rasulullah saw pernah bersabda:
“Ingatlah, setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir (kepala Negara adalah pemimpin bagi rakyatnya, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, yang akan dimintai pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya; seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, yang akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya..”
(HR. Bukhori-Muslim)
Mengingatkan kembali pada peran utama seorang wanita sebagai ibu dan pengatur urusan rumah tangga / ummu wa robbatul bait, seyogyanya untuk mengembalikan peran wanita ke posisi semula. Posisi mulia yang hanya akan didapatkan oleh para ibu dalam Islam. Islam mendudukkan posisi ibu sebagai pengatur urusan rumah tangga bukan dalam rangka mengekang langkah dan mengebiri prestasi perempuan di dalam rumah. Islam memberikan label ibu sebagai pengatur urusan rumah tangga, bukan sebagai tukang cuci dan tukang masak bagi suami dan anak-anaknya. Namun lewat peran ibu lah lewat pendidikan berdasarkan aqidah Islam serta keterikatan dan kepatuhan terhadap hukum syara yang bisa mencetak generasi mulia. Sebagai istri, wanita menjalankan kewajiban-kewajibannya menjadi rekan seperjuangan suaminya dalam mengurusi rumah tangga. Hanya dengan Islam ibu mulia dan sejahtera, berbeda dengan kapitalisme yang hanya memeras perempuan untuk dijadikan budak-budaknya. Mari para ibu, kita kembali meraih kemuliaan hidup di dunia dan akhirat kelak dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban kita sebagai hamba dari dzat yang Maha Segalanya.
Hanifah
Ibu Rumah tangga
Tinggal di Sukajadi Bandung