Tak terasa bulan Ramadhan akan segera memasuki 10 hari terakhir. Di mana kaum Muslimin seharusnya lebih meningkatkan ibadah dan amal shalih demi mendapatkan pahala di 10 hari terakhir bulan Ramadhan, berupa terbebasnya mereka dari api neraka. Apalagi di 10 malam terakhir ada malam Laylatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Di 10 hari terakhir Ramadhan, kaum Muslimin biasanya menyiapkan diri untuk beri’tikaf seperti yang dicontohkan Rasulullah Saw. "Abdullah bin Umar r.a. berkata: Rasulullah saw biasa beri’tikaf pada malam-malam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan," (Bukhari, Muslim).
Profesor bidang Tafsir Al-Quran dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Dr ‘Abdul Fattah ‘Ashoor mengatakan, "I’tikaf bukan hanya disarankan bagi kaum lelaki muslim, tapi juga bagi para muslimah, karena istri-istri Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam juga beri’tikaf baik semasa Rasulullah masih hidup maupun setelah wafatnya", ujarnya.
"Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sepeninggalnya," (Bukhari, Muslim).
Makna dibalik ‘itikaf di 10 hari terakhir Ramadhan adalah untuk memberi kesempatan bagi kaum Muslimin untuk lebih mendekatkan dan mengabdikan diri secara khusus, setidaknya beberapa hari dalam satu tahun. Oleh sebab itu, i’tikaf selayaknya dilakukan di masjid dengan maksud agar bisa berkonsentrasi pada pengabdiannya dan tidak terganggu dengan urusan dunia. Pasalnya, sudah menjadi kebiasaan di hari-hari akhir bulan Ramadhan, banyak kaum Muslimin yang justru menghabiskan waktunya untuk urusan dunia mempersiapkan Idul Fitri; beli baju baru, bikin kue dan lain sebagainya.
Berbeda dengan kaum lelaki yang nyaris tak menghadapi kendala untuk beri’tikaf di masjid selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, kaum perempuan kadang menghadapi berbagai halangan jika ingin beri’tikaf di masjid, terutama mereka yang masih memiliki anak-anak yang masih kecil. Di satu sisi, mereka khawatir jika anak-anak harus ditinggal di rumah. Di sisi lain, mereka tidak mungkin membawa anak-anak ke masjid, karena takut hanya akan mengganggu kekhusyukkan orang lain yang sedang beri’tikaf.
Menanggapi dilema ini, para ulama mengatakan bahwa kaum perempuan tidak harus melaksanakan i’tikaf di masjid? Profesor ‘Ashor dari Universitas Al-Azhar Mesir menyatakan, "Boleh-boleh saja seorang perempuan beri’tikaf di masjid sepanjang tidak mengambaikan hak-hak keluarganya, terutama suami dan anak-anaknya."
Menjawab dilema ini, apakah perempuan boleh melakukan i’tikaf di rumah saja, Dr Rajab Abu Mleeh, konsultan syariah di Islamonline mengatakan, ada perbedaan pandangan tentang hal itu. Mazhab Maliki, Shafi’i dan Hambali adalah ulama yang berpandangan bahwa seorang perempuan tidak diizinkan beri’tikaf di kamar atau mushalanya sendiri di rumah. Ketiga ulama itu merujuk pada Al-Quran, Surat Al-Baqarah ayat 187.
" … Tetapi jangan kamu campuri mereka , ketika kamu beritikaf dalam masjid …."
Maliki, Syafi’i dan Hambali juga merujuk pada peristiwa ketika Abdullah bin Abbas ditanya tentang seorang perempuan yang bersumpah untuk beri’tikaf di mushala di rumahnya. Abdullah bin Abbas lalu mengatakan, "Itu adalah bid’ah, dan tindakan yang paling dibenci Allah Swt adalah melakukan bid’ah. Tidak ada i’tikaf selain di masjid di mana shalat lima waktu dilaksanakan."
Berdasarkan pandangan itu, kamar atau mushala di rumah tidak bisa dianggap sebagai masjid, dan jika i’tikaf dalam kamar atau mushala di rumah dibolehkan, maka para istri Rasulullah Saw seharusnya sudah melakukannya, meski cuma sekali.
Sebaliknya, para ulama penganut mazhab Hanafi membolehkan kaum perempuan beri’tikaf di ruangan khusus atau mushala di rumahnya. Mereka berpendapat bahwa tempat i’tikaf bagi perempuan adalah tempat yang mereka sukai dan tempat mereka melakukan salat lima waktu sehari-hari, karena tidak seperti laki-laki, lebih baik bagi kaum perempuan untuk salat dirumah dibandingkan di masjid. Berdasarkan pendapat itu, tempat i’tikaf perempuan selayaknya di sebuah ruangan khusus atau mushala di rumahnya sendiri.
Abu Hanifah dan Ath-Thawri menyatakan, "Seorang perempun boleh melakukan i’tikaf di rumah. Itu lebih baik bagi mereka, karena salat mereka di rumah lebih baik daripada di masjid."
Disampaikan pula oleh Abu Hanifah bahwa Rasulullah Saw. meninggalkan i’tikafnya di masjid ketika Beliau melihat tenda-tenda istrinya berada masjid. Rasullah Saw lalu berkata, "Apakah kebenaran yang dimaksudkan dengan melakukan hal yang demikian?"
Pendapat yang membolehkan perempuan i’tikaf di drumah juga mengatakan bahwa mushala di rumah adalah tempat terbaik bagi kaum perempuan menunaikan salat, maka tempat mereka i’tikaf adalah seperti masjid bagi kaum lelaki dimana mereka mereka melaksanakan i’tikaf.
Meski demikian, Dr Rajab Abu Mleeh mengatakan tidak ada salahnya bagi perempuan yang ingin beri’tikaf di masjid, karena masjid merupakan tempat terbaik untuk beribadah dan mengingat Allah ta’ala. Selain itu, tidak seperti rumah, masjid lebih memiliki atmosfir spiritual. Tapi bagi seorang ibu yang masih punya anak kecil, atau seorang perempuan yang suaminya tidak mengizinkan ia beri’tikaf di masjid, maka mereka boleh beri’tikaf di rumah.
Lebih dari itu, seorang perempuan yang memiliki niat yang tulus untuk mengabdi pada Allah Swt, ia harus memahami bahwa pahala memenuhi hak dan kebutuhan suami serta anak-anak mereka bisa sama dengan, atau bahkan lebih besar dari dari sekedar memaksakan kehendak beri’tikaf di masjid. Itulah salah satu karunia Allah ta’ala yang Dia anugerahkan pada siapa saja yang Dia kehendaki dan Allah Mahakaya lagi Mahatahu. (ln/iol)