Hafshah binti Umar bin Khatab adalah ummul mukminin yang gemar berpuasa dan shalat. Ibunya adalah Zainab binti Madh’un binti Hasib. Hafshah adalah sebelumnya isteri dari sahabat Khunais bin Khudzafah al-Sahmi yang ikut hijrah ke Habasyah (Ethiopia) dan Madinah.Suaminya Khunais syahid pada perang Uhud.
Meskipun, hidupnya dirundung duka nestapa, semenjak suaminay syahid di padang Uhud, dan penuh dengan duka, keimanan dan keteguhan (sikapnya yang tsabat) hati Hafshah dapat meredam segala yang terjadi dan menerpa dirinya, dan Hafshah menyadari benar bahwa semua adalah semata karena takdir-Nya.
Kesabaran, ketabahan, sikap hidup yang qanaah (ridha) selalu menyelimut pribadinya. Tidak pernah berkeluh kesah dengan keadaan yang dihadapinya. Segalanya diterima penuh dengan ikhlas dan tawakal. Dijalaninya kehidupan sehari-hari tanpa rasa cemas dan khawatir, dan selalu yakin atas janji Allah Azza Wa Jalla. Hafshah yakin atas pertolongan dari Allah, dan tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya. Wanita Muslimah itu benar-behar pasrah-seprasahnya. Tidak bersuudhon (berburuk sangka) kepada Allah Rabbul Alamin.
Karena sikap yang sangat zuhud dan wara’, dan selalu berpuasa itu, maka ia mendapatkan julukan ‘sawwamah’ (orang yang selalu berpuasa) dan qawwamah (orang yang selalu bangun malam). Hafshah tidak pernah henti berpuasa dan bangun malam untuk bertemu dengan Rabbnya. Hidupnya tidak dimanjakan dengan keinginan-keinginan yang dapat menjauhkan dari Rabbnya. Maka, ia selalu berpuasa, menahan lapar dan dahaga, dan terus bangun malam, meskipun di siang hari tetap bekerja.
Kemudian, Umar berkeinginan keras agar Hafshah dapat dipertemukan dengan Utsman r.a., namun dengan sikapnya yang halus, ternyata Utsman menyatakan ketidaksanggupannya. Betapa Hafshah di mata Utsman, wanita yang sangat mulia, puteri Umar, dan kehidupan yang penuh dengan zuhud dan wara’, serta berpuasa dan bangun malam. Demikian pula, sahabat Abu Bakar As-Sidiq, tak sanggup untuk menikahinya.
Tetapi, segala ketentuan kehidupan ada di tangan Allah Azza Wa Jalla, dan takdir dan hikmah-Nya yang sangat agung. Kemudian, Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, menkahinya dan menjadikan dia sebagai ‘ummul mukminun’, gelar kehormatan bagi para isteri Rasulullah Shallahu Alaih Wa Salam.
Dengan kehidupan yang begitu sedih, cobaan begitu berat, tetapi tidak menghilangkan rasa cintanya kepda Allah Azza Wa Jalla. Tetap bertaqarrub (mendekatkan) diri kepada Allah, berpuasa yang terus menerus, dan melakukan ibadah di malam hari, Hafshah akhirnya menjadi ‘Ummul Mukminun’. Sebuah gelar kemuliaan yang disandangnya, dan kelak akan mendapatkan kemuliaan di disisi-Nya.
Betapa kehidupan ini hanya dapat dinikmati dengan melakukan ibadah-ibadah yang berat, dan penuh dengan pengorbanan, serta menjadikan Rabbnya semata menjadi tujuan hidupnya. Kesedihan yang mula-mula mengawalinya dalam kehidupan, kemudian berakhir dengan kebahagiaan. Ummu Syahidah.