Perlahan Nadya melipat sajadahnya yang telah basah oleh airmata. Saat berdoa ia merasa sebagai manusia yang amat rapuh. Dosa-dosanya menggunung. Betapa pedihnya saat ia menyadari bahwa ia tak layak untuk syurgaNya. Namun ketakutannya pun amat sangat, saat teringat dengan neraka. Sebagai seorang istri, Nadya amat menyadari keterbatasannya. Pengabdian, ketaatan dan cintanya pada sang suami penuh kekurangan. Kadang Nadya merasa tak layak untuk sang suami yang dicintainya sepenuh hati. Nadya sangat menyadari, ia bukan wanita yang cantik, lemah lembut, kaya raya dan berbudi pekerti luhur seperti Bunda Khadijah, sehingga pantas mendapatkan cinta yang luar biasa dan tiada duanya dari rasulullah sang suami tercinta.
Hatinya kecil saat teringat suaminya adalah pria shaleh dan tampan yang banyak dikagumi wanita. Wanita-wanita yang lebih segalanya darinya. Tak heran Nadya, bila sang suami kemudian ingin menikah lagi. Ingin membagi cintanya dengan wanita lain. Toh poligami bukan perbuatan dosa. Sungguh Nadya tak ingin menjadi anggota komunitas sosialita istri-istri galau saat suaminya berkeinginan menikah lagi sehingga pandai melakukan pelanggaran syara, hatinya buta tak lagi mampu melihat kebaikan-kebaikan pada diri sang suami, dan syukurnya sirna, hilang tertutupi oleh rasa cemburu. Apalagi Nadya sadar betul dirinya amat sangat jauh dari istri sempurna nan shalihah seperti Bunda Khadijah.
Siapa tak mengenal Bunda Khadijah? Istri dan kekasih rasulullah Muhammad SAW. Pengabdiannya sebagai seorang istri tiada duanya. Ketaatannya pada sang suami tak ada bandingannya. Cintanya yang tulus pada sang pujaan hati tak diragukan lagi. Pengorbanannya pada idaman jiwa laksana hujan di kemarau panjang. Kasih sayang seorang istri yang penuh keikhlasan telah menjadikan Muhammad sang suami merasakan ketenangan, kebahagiaan dan kenyamanan luar biasa, saat ujian dan badai bergulung-gulung datang menerpa dakwah nabi.
Banyak kaum wanita yang iri dan amat cemburu dengan Bunda Khadijah. Bagaimana tidak, sebuah istana megah telah Allah sediakan di syurga, dan hanya beliau satu-satunya wanita yang mendapat salam dari Allah. Cinta sang suami untuk beliau pun amat besar dan tiada akhir sekalipun Bunda Khadijah telah tiada. Bunda Khadijah pula wanita yang hanya disibukkan oleh perjuangan dakwah dan ketaatan pada Allah, tanpa harus dibebani oleh “perasaan” lain karena sang suami taaruf lagi, ingin menikah lagi dan jatuh hati dengan wanita lain, seperti dialami kebanyakan wanita zaman sekarang. Bunda Khadijah bisa tetap fokus menjadi ibu untuk anak-anaknya tanpa disesaki sebuah pikiran, di hati suami ada lagi wanita selain dirinya..
Itu hanya sebagian tanda kasih sayang Allah pada Bunda Khadijah dengan ditakdirkanNya menjadi satu-satunya istri sepanjang hidup di dunia. Di akhirat Allah pun telah menjamin dengan sebuah istana penuh permata di dalam syurga. Wanita manakah yang tak iri?
Kaum wanita sangat boleh iri dan cemburu dengan Bunda Khadijah tapi bukan hanya sebatas pada “taqdirnya” yang tak pernah dipoligami. Namun harus lebih dari itu. Yaitu tentang pengabdian, pengorbanan, ketaatan dan cinta seorang istri. Di saat manusia lain mengingkari, Bunda Khadijah tetap mempercayai sang suami. Seluruh harta kekayaannya pun dengan ikhlas diserahkan untuk perjuangan dakwah. Cintanya sepenuh hati untuk sang suami, meski Muhammad bukan lelaki pertama dalam hidupnya. Lisannya penuh kelembutan dan kata-kata yang menyejukkan.
Berbeda sekali dengan istri zaman sekarang, yang kebanyakan masih bebas berteman dengan pria selain suaminya, di luar koridor yang diperbolehkan syara. Seharusnya hanya dalam hal pendidikan, pengobatan dan perdagangan interaksi pria wanita ajnaby diperbolehkan. Di luar itu sama sekali terlarang, karena kehidupan wanita pria pada dasarnya adalah terpisah.
Lihatlah di kota-kota besar, atas nama emansipasi seorang istri makan siang berdua dengan suami orang saat jam istirahat kantor. Atas nama anak-anak, seorang wanita menghubungi terus menerus mantan suaminya meski hanya untuk memamerkan perhiasan yang baru dibelinya dan semacamnya. Dikiranya karena pernah menjadi suami istri, boleh untuk mengkomunikasikan apa saja. Bebas untuk berkeluh kesah, curhat layaknya saat masih menjadi suami istri. Atas nama kemajuan teknologi, istri-istri bebas berinteraksi apa saja dengan pria lain di dunia maya.
Pun bukan rahasia lagi, betapa banyak istri-istri yang merendahkan sang suami karena penghasilannya lebih besar, meski jumlah kekayaannya masih amat jauh di bawah Bunda Khadijah. Lisannya tak terjaga sehingga menyakiti dan menyinggung perasaan suami. Jauh dengan Bunda Khadijah yang tetap memuliakan sang suami dalam segala keadaan, meskipun kaya raya dan memiliki kedudukan tinggi di kalangan kaumnya.
Meski teramat berat, setiap istri sudah seharusnya belajar dari Bunda Khadijah, bila menginginkan kemuliaan seperti beliau. Seorang Khadijah adalah istri yang memenuhi hak-hak suami setelah keutamaannya menunaikan ketaatan pada Allah. Mencintai suami dengan tulus, berkorban untuk suami penuh keikhlasan dan hanya mengharap pada ridha Tuhannya, menyenangkan dan menenangkan suami, serta memiliki kata-kata yang terjaga dan menyejukkan. Hanya suami satu-satunya pria yang bertahta di hidupnya.
Andai Nadya bisa menjadi seperti Bunda Khadijah…. namun pada faktanya memang ia tidak bisa. Hanya setitik saja ketaatan yang bisa dilakukannya untuk suami tercinta. Menjadi seperti Khadijah ternyata amat mudah dilakukan saat awal-awal pernikahan, ketika cinta masih begitu menggebu, ketika rasa didominasi oleh ketakjuban atas taqdir jodoh yang tiada terduga, ketika hati bak samudera terpesona dengan anugerahNya yang tak bernilai. Sangat gampang dilakukan saat madu-madu pernikahan masih begitu manis, saat semua hal tentang rumah tangga masih baru, saat bunga-bunga kasih baru mulai tumbuh dan bersemi.
Namun setelah waktu berganti, dari bulan ke bulan, bahkan memasuki bilangan tahun, menjadi seperti Khadijah ternyata tak mudah lagi. Kehadiran anak-anak, rutinitas pekerjaan dan aktifitas ikut mengubah haluan hati. Isi hati mulai terbagi-bagi tidak hanya untuk suami saja. Kalimat-kalimat menyejukkan yang dulu selalu hadir, mulai terlupakan terganti oleh kata-kata amat biasa. Keromantisan yang awalnya setiap waktu, berubah rutinitas yang juga biasa.
Menjadi seperti Khadijah untuk manusia biasa memang berat. Tapi semua bisa dicoba dan diusahakan. Dibalik keterbatasan yang kita punya, ada Allah tempat kita memohon pertolongan. Ada Allah Sang Maha Pengabul Doa. Ada Allah tempat kita meminta kekuatan cinta agar ia bersemi lagi dan menumbuhkan kelapangan hati, kekuatan jiwa untuk bisa tetap menjadi seperti Khadijah tanpa lekang oleh waktu dan usia. Laa Haula Walaa Quwwata illa billah.