Dulu ketika televisi swasta masih belum sebanyak sekarang ini dan media informasi hanya terbatas pada koran yang hanya beberapa dan juga radio, perceraian pada sebuah rumah tangga adalah aib. Namun, saat ini sepertinya perceraian sudah menjadi hal yang biasa. Tidak ada yang istimewa dan tidak ada yang salah juga tampaknya.
Ketika menikah dan kemudian menemukakan ketidakcocokan, pasangan dapat mengajukan perceraian. Mungkin, bukan tidak ada usaha untuk memperbaiki, hanya saja sepertinya perceraian kalo boleh mengutip istilah barat “it’s not a big deal” bukan masalah besar. Dalam Islam perceraian memang bukan hal yang haram, tetapi perbuatan halal yang dibenci اَللّهُ Swt. Mari dibaca ulang, ‘perbuatan halal yang dibenci اَللّهُ Swt.’ Halal tetapi dibenci, apakah rasanya melakukan hal yang boleh dilakukan tetapi tidak disukai bahkan sampai dibenci?!
Bukan berarti saya hanya memandang perceraian sesuatu yang tidak boleh dilakukan apapun permasalahannya. Tentu, adakalanya perceraian adalah langkah yang terbaik yang harus dilakukan oleh pasangan suami istri dengan alasan jika pernikahan dilanjutkan akan membawa kemudharatan bagi keduanya bahkan keluarga dan agama. Seperti misalnya apabila suami atau isteri meninggalkan shalat, kecanduan minuman keras dan obat-obatan terlarang, atau si suami memaksa isteri melakukan perkara yang haram, atau menzaliminya dengan menyiksanya atau tidak memberikan haknya yang syar’i. Sementara berbagai upaya telah dilakukan dan nasehat tidak lagi bermanfaat bagi si suami/isteri dan masing-masing tidak mendapatkan jalan untuk memperbaiki keadaan. Maka ketika keadaan seperti ini tidak disalahkan istri meminta cerai dari suaminya guna menyelamatkan agama dan jiwanya. (Al Muharramat Istahana bihan Nas Yajibul Hadzru Minha, hal. 33)
Tetapi melihat fenomena perceraian yang sepertinya menjadi trend dan juga melihat data statistik dari beberapa sumber, sungguh merasa miris. Berdasarkan data tahun 2010 dari Dirjen Bimas Islam Kementrian Agama RI, dari dua juta orang yang menikah, ada 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian. Hal ini juga tercatat dalam situs BKKBN yang mencatat ada lebih dari 200.000 kasus perceraian di Indonesia setiap tahun, dan saat ini ternyata angka perceraian tersebut telah mencapai rekor tertinggi se-Asia Pasifik.
Sementara itu, data perceraian dari Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama (Badildag) pada tahun 2010 menunjukkan, 67.891 pasangan (24 persen) bercerai karena masalah ekonomi. Sekitar 10.029 kasus perceraian yang dipicu masalah cemburu dan 91.841 bercerai karena alasan ketidakharmonisan rumah tangga. Ada fakta unik dalam data Badildag, alasan perceraian karena cemburu dipicu dari produk perkembangan teknologi, seperti smartphone, SMS, email, dan jejaring sosial. Tak disangsikan bahwa perkembangan teknologi pun ikut mewarnai gejolak masalah dalam rumah tangga yang mengakibatkan perceraian.
Dari angka yang terlihat pada data tersebut bukan hanya masalah ekonomi yang menjadi problema perceraian tetapi ketidakharmonisan, perselingkuhan menjadi alasan utama fenomena perceraian yang terjadi di masyarakat.
Kesulitan ekonomi dan tidak terpenuhinya kebutuhan keluarga, memang menjadi masalah krusial yang dapat memicu pertengkaran antara suami istri. Namun, sebagai muslim kita memiliki panduan Quran dan Sunnah. Dalam Quran اَللّهُ Swt. telah memerintahkan kepada suami untuk memberikan nafkah kepada keluarga sesuai dengan kemampuan.
“…Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya…” (Al Baqarah : 233)
“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rizkinya, hendaklah memberikan nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (Al Talaq : 7)
Istri yang shalehah tidak akan menuntut sesuatu yang melebihi kemampuan suaminya. Suami yang shaleh akan senantiasa bersusah payah untuk memberikan nafkah yang mencukupi untuk keluarganya. Keduanya memiliki peran dalam pencapaian kebutuhan keluarga. Suami akan pergi menjemput rizki dengan usaha dan pekerjaan yang halal dan istri senantiasa memberikan dukungan dan doanya untuk kelancaran ikhtiar suami menjemput rizki.
Saudariku ingatlah bahwa kita sebagai seorang muslimah harus pandai-pandai mendahulukan apa yang menjadi kebutuhan dan apa yang sesungguhnya hanyalah pelengkap. Kebutuhan pangan untuk keluarga, kebutuhan pakaian yang sesuai syariat dan hal-hal pokok lainnya haruslah yang diutamakan. Terkadang kita tergoda dengan bujuk rayu iklan-iklan baik yang ada di TV atau yang terlihat di media-media lain, sementara barang tersebut sebenarnya hanya pelengkap. Tidak jarang terdengar pertengkaran antara suami istri karena istri menuntut untuk dibelikan pakaian atau perhiasaan yang sama dengan teman/tetangganya agar tidak dibilang ketinggalan jaman, atau meminta HP yang terbaru dan barang-barang lain yang bukan kebutuhan pokok sementara diketahui suaminya belum mampu untuk memenuhinya. Bukan berarti seorang istri tidak boleh meminta hal-hal tersebut kepada suaminya, tetapi meminta dan menuntut adalah hal yang berbeda. Ketika meminta dan suami belum dapat memenuhi maka kita perlu bersabar, tetapi jika meminta terus kemudian menuntut, inilah yang akhirnya sering membuat pertengkaran.
Terkadang memang disaat keinginan sangat kuat dan kebutuhan mendesak, kita cenderung menuntut. Meminta dengan nada yang sedikit memaksa, atau meminta disaat yang tak tepat seperti ketika suami lelah sehabis menjeput rizki diluar rumah seharian. Tentu kita sering mendengar nasehat ‘sambutlah suami dengan senyum terbaik ketika pulang lelah bekerja,’ tetapi kadang ketika keadaan tengah sulit dan hidup serba kekurangan sulit sekali melakukan hal tersebut. Astagfirullah, mari sama-sama beristighfar saudariku, saya pun tak luput dari kekhilafan yang demikian. Sesungguhnya اَللّهُ Swt. Maha Mengetahui keadaan setiap hambaNya, Ia tidak lalai dan tak pernah dzalim. Namun, kitalah sebagai hamba yang sering lalai dan menganiaya diri sendiri dengan segala khilaf dan mengabaikan perintah dan laranganNya. Kesempitan dan kelapangan yang kita alami tiada luput dari kehendakNya.
“Allah melapangkan rizki bagi siapa yang dikendaki diantara hamba-hambaNya dan Dia pula yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu.” (QS Al Ankabuut : 62)
Bermuhasabah dan selalu bertawakal kepada اَللّهُ Swt. adalah jalan yang terbaik. Mari kita saling mengingatkan untuk selalu meningkatkan kualitas diri melalui ibadah dan amalan kebaikan. Berkomunikasilah dengan cara-cara yang baik dan lemah lembut bersama pasangan untuk meminta sesuatu dan salinglah mendukung untuk bersama-sama menghadapi kehidupan disaat lapang maupun sempit. Dan teruslah berdoa pada Yang Maha Memberi untuk segala asa dan cita yang belum terpenuhi.
Adapun masalah ketidakharmonisan dan ketidakcocokan yang dialami setelah menjalani kehidupan berumah tangga, pahamilah bahwa tiada manusia yang sempurna. Teringat artikel yang pernah saya baca sebelumnya ‘Jangan Menikah Karena Angan-Angan,’ memang benar adanya, pikiran dan bayangan kita terhadap pasangan terkadang terlampau ideal sehingga sulit menerima ketika kenyataan tidak seindah yang dibayangkan. Menikah memang mempersatukan dua insan tetapi bukan berarti membuat kedua insan itu menjadi pribadi yang sama dengan kita atau menjadikan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Karena masing-masing memiliki latar belakang dan kebiasaan yang berbeda, namun bukan berarti tidak dapat berjalan bersama-sama tuk mencapai satu tujuan. Kembalilah pada visi dari pernikahan, untuk memperoleh ketentraman, kasih sayang, mendapat keturunan. Berusahalah tuk menggapai hal tersebut bersama-sama, karena hal tersebut bukan tugas kita seorang. Saling belajarlah dari masing-masing, ikutilah kebiasaan yang baik, perihalarah ahlak yang baik dan senantiasa istiqomah tuk menjauhi segala hal yang buruk dan kemaksiatan.
Sesungguhnya Allah subhanahuwata’ala mensyari’atkan perdamaian di antara suami istri dan melakukan beberapa langkah pemecahan yang bisa menyatukan yang retak dan menyingkirkan hantu perceraian. Diantaranya: memberi nasehat, tidak berhubungan badah (hajr), dan pukulan yang ringan apabila nasehat dan hajr tidak berguna, sebagaimana firman Allah subhanahuwata’ala:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang) dan (bila perlu) pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. an-Nisaa`:34)
Dan di antaranya: mengutus dua hakim (perwakilan) dari keluarga pihak suami dan keluarga pihak istri -ketika terjadi pertengkaran di antara keduanya- untuk mendamaikan di antara pasangan suami istri, sebagaimana dalam firman Allah subhanahuwata’ala:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. an-Nisaa`:35)
Kita sebagai seorang muslim janganlah terlalu mudah untuk mengatakan cerai dan menuntut perceraian. Jalankanlah kehidupan berumah tangga dengan niat karena Allah dan untuk menggapai ridha Allah, satukanlah visi yang ingin dicapai dalam kehidupan rumah tangga bersama pasangan. Karena tidak mungkin menjalankan kehidupan berumah tangga dengan visi yang berbeda antara suami dan istri. Komunikasi dan dialog sangat penting dalam membangun hubungan antara suami dan istri, jadikanlah pasangan kita sebagai orang terdekat tempat berbagi cerita, tempat berbagi resah. Jangan sampai kita malah berbagi cerita dengan orang lain yang belum tentu amanah dan malah membuka aib atau menjadi ghibah. Mari saudaraku kita perkuat ikatan keluarga dan bangun rumah tangga yang memberikan ketentraman, kenyamanan dan penuh kasih sayang. Wallahualam.[wn]