Hukum Pembatas dalam Shalat

sigit1Assallaamu ‘Alaikum..

Mohon penjelasan tentang sutroh/pembatas dalam sholat…

Jazaakallahu khoiron..

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Syahrul yang dimuliakan Allah swt

Sutroh menurut bahasa berarti sesuatu yang digunakan untuk membatasinya. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang dijadikan oleh Imam shalat sebagai pembatas, seperti : tongkat atau yang lainnya atau sesuatu yang diletakkan dihadapan seorang yang melaksanakan shalat untuk menghalangi seseorang melintas dihadapannya.

Disunnahkan bagi seorang yang melaksanakan shalat sendirian atau menjadi imam agar meletakkan sutroh dihadapannya untuk menghalangi seorang yang akan melintas dihadapannya dan hal itu dapat mengokohkan kekhusyuannya didalam gerakan-gerakan shalatnya, sebagaimana riwayat dari Abu Said al Khudriy bahwa Nabi saw bersabda,”Apabila seorang dari kalian melaksanakan shalat hendaklah shalat dengan (menggunakan) sutroh, dan mendekatlah darinya dan janganlah biarkan seseorang melintas dihadapannya.” Serta sabda Rasulullah saw,”Hendaklah seorang diantara kalian menjadikan sutroh didalam shalatnya walaupun dengan sebuah anak panah.”

Perintah didalam hadits tersebut merupakan sebuah anjuran bukan kewajiban. Ibnu Abidin mengatakan,” Ditegaskan didalam kitab “al Maniyah” bahwa meninggalkannya adalah makruh tanzih.

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari al Fadhl bin al Abbas berkata,”Rasulullah saw mendatangi kami, sementara kami tengah berada di suatu perkampungan lalu beliau saw melaksanakan shalat di padang pasir dan tidak tampak dihadapannya sutroh.” Hal yang sama juga dikatakan oleh para ulama Hambali.

Al Bahutiy mengatakan bahwa bukanlah sebuah kewajiban berdasarkan hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi saw melaksanakan shalat di suatu tempat terbuka dan tidak ada sesuatu pun (sutroh) dihadapannya.” Sementara itu para ulama Hanafi dan Maliki didalam pendapat mereka yang mayhur disebutkan bahwa hal itu adalah sunnah baik bagi imam maupun orang yang shalat sendirian jika dirinya khawatir ada orang yang akan melintas dihadapannya dan jika tidak ada kekhwatiran tersebut maka hal itu bukanlah sunnah.
Sedangkan para ulama Hambali mengatakan bahwa sutroh adalah sunnah bagi imam dan orang yang melaksanakan shalat sendirian walaupun dirinya tidak khawatir akan ada orang yang melintasinya.

Adapun makmum maka tidaklah dianjurkan baginya mengambil sutroh berdasarkan kesepakatan para ulama karena sutroh imam adalah sutroh bagi orang yang ada dibelakangnya atau karena imam adalah sutroh baginya, meski di sini terdapat perbedaan di kalangan para fuqaha.

Kemudian para fuqaha bersepakat bahwa diperbolehkan bagi seorang yang melaksanakan shalat untuk menjadikan segala sesuatu yang berdiri (tegak) sebagai sutroh, seperti : dinding, pohon, tiang, pilar, atau segala sesuatu ditusukkan, seperti : tongkat, tombak, anak panah atau yang sejenisnya. Dan seyogyanya menggunakan sesuatu yang kokoh sehingga tidak menyibukkan seorang yang shalat dari kekhusyuannya.

Para ulama Maliki mengecualikan sutroh dengan sebuah batu. Mereka mengatakan bahwa menggunakan batu apabila ada sesuatu selainnya maka hal itu adalah makruh karena menyerupai penyembahan berhala akan tetapi apabila tidak ada selainnya maka hal itu dibolehkan…

Sementara itu para ulama berbeda pendapat tentang ukuran dan sifat dari sutroh :
Para ulama Hanafi dan Maliki berpendapat apabila seorang melaksanakan shalat di padang pasir atau tempat-tempat yang dikhawatirkan ada orang yang melintas dihadapannya maka dianjurkan baginya untuk meletakkan sutroh dengan panjang satu hasta atau lebih. Para ulama Hanafi mengatakan bahwa hitungan satu hasta atau kurang maka terdapat perselisihan. Yang dimaksud dengan satu hasta di sini adalah hasta tangan yaitu dua jengkal.

Sedangkan para ulama Syafi’i mengatakan bahwa panjang sutroh adalah sekitar dua pertiga hasta atau lebih.

Sementara itu para ulama Hambali mengatakan apabila seseorang shalat di tempat terbuka dengan sutroh yang tingginya paling tidak sekitar satu hasta.

Adapun ukuran ketebalannya maka para ulama Syafi’i dan Hambali tidaklah membatasinya. Bisa saja dia tebal seperti dinding dan onta atau tipis seperti anak panah karena Rasulullah saw melaksanakan shalat dengan sutrohnya yaitu tombak dan onta.
Sedangkan para ulama Hanafi menegaskan didalam banyak matannya bahwa sutroh tebalnya atas seperti ketebalan jari jemari. Ini adalah ukuran minimalnya karena apabila kurang dari itu maka sutroh tidaklah bisa terlihat sehingga tujuan dari sutroh itu tidaklah kesampaian. Namun Ibnu Abidin berkata,”Didalam kitab “al Bada’i” penjelasan ketebalan sutroh adalah pendapat yang lemah..”

Para ulama Maliki mengatakan bahwa ketebalan sutroh adalah paling tidak seperti ketebalan lembing dan tidak cukup sutroh apabila kurang dari ukuran itu. Dinukil dari Ibnu Habib bahwa dia mengatakan,”Tidak mengapa sutroh kurang dari tinggi tongkat dan tidak setebal lembing.’ (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 8486 – 8490)

Wallahu A’lam