Dokter dan Obat Bayi Tabung

Assalaamualaikum wrwb

Ustadz yang dimuliakan Allah,

Fatwa MUI membolehkan pasangan suami istri mengikuti program bayi tabung selama sperma dan sel telur yang dilibatkan dalam proses berasal dari pasangan sah tersebut. Namun ada yang masih mejadi pertanyaan bagi saya. Bagaimana hukumnya pasangan suami istri mengikuti program bayi tabung, jika:

1. dokter dan paramedis yang menangani bukan muslimah (sehubungan dengan masalah aurat, khususnya bagi calon ibu), dan/atau

2. obat yang digunakan dalam proses tsb ada yang terbuat/diolah dari bahan yang haram?

Informasi autentik yang saya dapatkan, dengan teknologi saat ini salah satu obat yang berperan signifikan dalam proses bayi tabung/IVF (In-vitro fertilization) adalah diolah dari air seni wanita hamil untuk mendapatkan zat tertentu.

Bagaimana statusnya obat-obatan semacan ini, Ustadz?

Mohon penjelasan lebih lanjut, Ustadz.

Jazakallaahu khairan katsiiran.

Wassalam

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Istik yang dimuliakan Allah swt

Hukum Operasi dengan Dokter Non Muslim

Perihal hukum bayi tabung ini telah kami utarakan didalam rubrik ini beberapa waktu lalu dengan judul “Inseminasi Untuk Punya Anak”.

Adapun tentang dokter maupun paramedis non muslim yang menangani operasi ini maka pada asalnya menampakkan aurat seorang wanita muslimah kepada selain suaminya adalah tidak diperbolehkan kecuali untuk suatu tujuan yang dibenarkan oleh syariat. Dan ketika terdapat tujuan yang dibenarkan syariat maka sudah seharusnya dokter atau para medis yang menanganinya adalah seorang wanita muslimah apabila hal ini dimungkinkan. Akan tetapi apabila tidak memungkinkan maka hendaklah ditangani oleh seorang wanita non muslimah dan apabila juga tidak ada maka oleh dokter muslim yang bisa dipercaya dan apabila juga tidak ada maka oleh dokter non muslim, demikianlah urutannya.

Tidak diperbolehkan adanya khalwat (berdua-duaan) antara dokter yang mengobati dengan wanita yang ingin melakukan operasi ini kecuali dengan kehadiran suaminya atau wanita lainnya.

Dengan demikian tidak diperbolehkan pengoperasian bayi tabung oleh seorang dokter non muslim selama ada orang-orang yang disebutkan diatas atau ada orang-orang seperti disebutkan diatas akan tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dibandingkan dokter non muslim itu dengan syarat tidak terjadi khalwat antara dokter itu dengan wanita yang akan dioperasi. (www.islamweb.net)

Hukum Pengobatan dengan Sesuatu yang Diharamkan

Adapun penggunaan air seni wanita hamil yang diolah sebagai obat dalam operasi bayi tabung—sebagaimana yang anda katakan—maka pada dasarnya air seni menurut kesepakatan para ulama adalah najis, seperti halnya muntah dan kotoran manusia kecuali jika muntah itu hanya sedikit maka dimaafkan atau air kencing bayi laki-laki yang hanya meminum air susu sehingga cara membersihkannya hanya dengan memercikkan air keatasnya.

Dengan demikian air kencing manusia tidak boleh digunakan untuk pengobatan terhadap suatu penyakit baik dengan cara diminum ataupun dioleskan kecuali pernyataan dokter muslim yang bisa dipercaya atau ketika tidak ada lagi obat yang suci yang bisa dipakai untuk mengobati penyakit tersebut, sebagaimana disebutkan oleh al ‘Izz Abdus Salam,”Diperbolehkan pengobatan dengan menggunakan sesuatu yang najis apabila tidak ada lagi obat yang suci untuk mengobatinya. Hal itu dikarenakan kemaslahatan kesehatan dan keselamatan lebih diutamakan daripada kemaslahatan menjauhi sesuatu yang diharamkan.” (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2610)

Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan bahwa para ulama telah bersepakat tidak dibolehkan pengobatan dengan sesuatu yang najis kecuali didalam keadaan yang terpaksa (darurat). Adapun ketika terdapat banyak pilihan dan tersedia obat-obatan yang dihalalkan maka hal itu tidak diperbolehkan, sebagaimana hadits bahwa khamr bukanlah obat akan tetapi penyakit. Didalam sebuah hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwasanya Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya Allah swt tidak menjadikan obat untuk umatku sesuatu yang diharamkan atas mereka.” (Fatawa al Azhar juz X hal 109)

Sebagaimana firman Allah swt :

Artinya : “Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa.” (QS. Al Maidah : 3)

Wallahu A’lam