Mengapa Kita Menyebut Nama Penguasa

Masih ingat dahulu, ketika zaman orde baru. Kalau ada urusan/kepentingan/kegiatan dengan menyebut nama Pak Harto atau Bu Tien maka urusan/kepentingan/kegiatan kemungkinan lebih besar terselesaikan.

Kinipun kalau punya urusan/kepentingan/kegiatan di sebuah instansi pejabat dengan menyebut nama pejabat yang paling berkuasa di instansi pejabat tersebut (untuk menunjukkan kedekatan) maka urusan/kepentingan/kegiatan kemungkinan lebih besar terselesaikan.

Di tempat kerja pun jika kita punya urusan/kepentingan/kegiatan dengan menyebut nama yang paling berkuasa di tempat kerja (untuk menunjukkan keterkaitan/perintah/izin) maka urusan/kepentingan/kegiatan kemungkinan lebih besar terselesaikan.

Sudah naluri manusia, membutuhkan menyebut nama yang berkuasa agar terbantukan.

Seorang muslim dalam mengarungi kehidupan kita di dunia, sebelum melakukan kegiatan dan aktivitas selalu diawali menyebut nama Allah. Mengucapkan Bismillah.

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." (al-Fatihah : 1)

Sehingga Allah yang Maha Kuasa akan mengizinkan dan menolong kegiatan dan aktivitas tersebut akan terlaksana. Seberapa dekat dengan Allah akan memperbesar kemungkinan terkabulkannya.

Dalam Hadits Rasulullah saw bersabda, “Setiap pekerjaan yang baik, jika tidak dimulai dengan “Bismillah” (menyebut nama Allah) maka (pekerjaan tersebut) akan terputus (dari keberkahan Allah)”.

Perbedaannya, kalau kita menyebut nama manusia, manusia yang kita sebutkan kemungkina tidak mendengar langsung dan bukan pula dia yang menolong. Namun kalau kita menyebut nama Allah, Allah Maha Mendengar dan berkenan menolong kita.

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang dalam keseharian maka membuat mukmin menjadi "dekat" dengan Allah sehingga dengan kedekatan ini terdorong untuk melakukan yang diperintahNya dan meninggalkan yang dilarangNya. Sehingga terwujud tingkatan ketaqwaan yang menentukan tingkat kemulian di sisi Allah.

Ironisnya, dalam pemilihan calon ketua umum PB NU, ada calon menyebut nama penguasa negeri sebagai klaim dukungan (kedekatan dengan penguasa). Kita belum tahu apa hubungan dan manfaatnya dengan keberhasilan dalam pemilihan. Apalagi penguasa kini walaupun seorang muslim belum mempedulikan fatwa MUI yang telah tegas menyatakan kesesatan paham Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme Agama dangan Fatwa MUI No: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005. Sekarang kita dapat mengetahui orang-orang dengan paham liberalisme mencoba mendekati organisasi NU bahkan mengarah akan berkiprah lebih banyak dalam organisasi.

Semoga dalam pemilihan ketua umum PB NU tidak dilakukan berdasarkan "suara terbanyak" namun dilakukan pemilihan secara musyawarah mufakat berdasarkan pengalaman, kompetensi dan memfilter dari paham-paham yang sudah jelas dinyatakan sesat oleh para Ulama.

Semoga kita sebagai muslim lebih merasakan kedekatan dengan Allah.

Untuk mengetahui lebih lanjut kedekatan muslim dengan Allah, bisa kunjungi http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/03/24/allah-itu-dekat/

Salam

Zon di Jonggol ([email protected])
mutiarazuhud.wordpress.com