“Bergerak Tuntaskan Perubahan”, begitulah tema yang diusung pada Muktamar KAMMI ke 2 di Yogyakarta pada tahun 2000. Dulu para peserta Muktamar begitu semangat bahwa cita-cita perubahan yang dibawa pada saat reformasi 1998 akan bisa segera kita selesaikan. Saat ini, setelah hampir 11 tahun reformasi berlalu, perubahan itu belum juga tampak nyata. Korupsi masih saja merajalela, bahkan penyebarannya sampai ke daerah-daerah. Kemiskinan dan pengangguran terus bertambah, cita-cita hidup sejahtera terasa semakin jauh saja bagi sebagian besar anak bangsa.
Bergerak tuntaskan perubahan. Dulu saya juga sempat terhanyut oleh semangat heroik yang terkandung dalam kalimat ini. Namun, setelah lama saya renungkan kalimat itu rasanya memang kurang pas. Karena perubahan memiliki karakter yang dinamis dan terus bergerak. Sehingga tidak mungkin menemukan kata tuntas selama roda kehidupan ini masih berjalan. Perubahan akan terus nampak walau terkadang atau bahkan seringkali tidak memberi dampak.
Benarkah perubahan bersifat kekal sehingga tidak akan pernah bertemu dengan kata tuntas? Menarik untuk disimak pemikiran John Naisbitt dalam bukunya Mind Set. Naisbitt mengatakan bahwa sesungguhnya dalam kehidupan ini yang terus berubah dengan cepat hanyalah atributnya saja, sementara esensi kehidupan seringkali bersifat tetap karena memang sangat sulit merubahnya. Sebagai contoh, cinta seorang lelaki pada wanita sudah ada sejak zaman nabi adam dan akan terus ada sampai akhir kehidupan. Namun ekspresi cinta selalu berubah dari waktu ke waktu. Cinta adalah esensi yang bersifat tetap, sementara bagaimana cinta diekspresikan adalah atribut yang dapat berubah sesuai trend zaman.
Reformasi memang telah membawa perubahan dari sisi atribut kehidupan bernegara. Aktor-aktor politiknya berubah, aturan mainnya berubah, namun perilaku politik terlihat sulit sekali berubah. Orde Baru hanya mengizinkan 3 partai, kini sebanyak apapun partai diizinkan sepanjang memuhi persyaratan. Dulu hanya kalangan terbatas yang dapat menjadi menteri sampai bupati, kini siapa saja boleh berebut kursi. Mereka yang dulu merasa terzalimi kini berpeluang duduk disinggasana yang tertinggi, baik dari barisan yang dianggap kanan maupun kiri. Sekilas nampak seperti demokrasi, sekilas nampak seperti reformasi telah terjadi.
Mungkin benar perubahan telah datang namun hanya sebatas tataran atribut saja belum menyentuh esensi dari tujuan perubahan. Pergantian aktor tidak diikuti pergantian perilaku. Nafsu ingin mengeksploitasi negeri untuk kepentingan pribadi masih bersemayam dalam setiap diri yang mengaku berjuang atas nama reformasi. Mereka yang dulu tertindas kini justru menindas, mereka yang dulu tersisih dari kehidupan dan muak melihat gelimang kemewahan kini justru berjuang untuk kemewahan dengan melakukan strategi politik penjarahan. Uang negara yang tercatat dalam APBN dan APBD adalah objek jarahan yang paling menakjubkan. Para pengusaha hitam adalah objek pemerasan dengan jaminan perlindungan sebagai anggota dewan.
Bergerak tuntaskan perubahan. Jalan menuju keadilan dan kesejahteraan untuk semua anak bangsa rasanya semakin jauh. Terlebih lagi reformasi kini telah kehilangan pejuangnya yang sejati. Mereka yang mengaku nurani dewan kini telah mejadi bagian yang tak terpisahkan dari para pelaku penjarahan. Tidak ada lagi mainstream perbaikan, tidak di jalanan, tidak di kementrian apa lagi di gedung dewan. Gerakan perlawan kini lebih mirip roman picisan yang kurang enak untuk dipertontonkan.
Rekonstruksi gerakan perlawanan untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendasar di negeri ini sangat mendesak untuk dilakukan. Sebelum para pemuda yang memiliki kesucian jiwa memilih “Gua” sebagai tempat persembunyian mereka, sebagaimana yang pernah pemuda Kahfi lakukan, sebelum air bah datang seperti ketika ia datang untuk menenggelamkan kaum nabi Nuh, sebelum gempa dahsyat yang membelah bumi datang sebagaimana ia datang kepada kaum nabi Luth, sudah seharusnya gerakan perlawanan itu kembali dibangkitkan.
Kita memerlukan pemuda seperti Musa, yang ketika Allah memerintahkannya untuk pergi menyelesaikan Fir’aun, dia tidak berkata “bagaimana mungkin? Dana saja tidak punya..” atau “bagaimana mungkin? Kursi saja masih sedikit..” atau “ah..kitakan masih kecil..nantilah kalau sudah 20 persen”. Musa tidak mengajukan syarat logistik ataupun jumlah massa untuk melakukan perubahan. Musa tidak peduli apakah ia memiliki konstituen atau tidak, yang Musa peduli adalah perintah Allah harus segera dilakukan, perubahan harus segera diperjuangkan!
Bergerak tuntaskan perubahan. Semoga masih ada harapan!