Teroris, Obama, dan Simbiosis Mutualisme

Setelah drama penangkapan Noordin M Top, tahun lalu, ‘proyek’ terorisme sempat istirahat. Kini di tengah gonjang-ganjing kasus Century, hingar bingar rencana kedatangan Obama ke Indonesia, dan citra polisi yang kian memburuk; tiba-tiba drama terorisme dihidupkan lagi. Apakah ada kaitannya?

Sebelum semua itu terjawab, masih banyak pertanyaan lain yang mengganjal di benak kita. Antara lain, kenapa setiap terjadi penggrebekan teroris selalu berakhir dengan korban penembakan? Mengapa setiap kejadian penangkapan yang diduga teroris harus dibunuh, tewas, tanpa kata, tanpa pesan? Tidak ada yang tahu apa kegundahan mereka sebagai seorang Muslim.

Sebaliknya, kita juga tak mampu menerka dalil apa yang digunakan densus atau aparat terkait yang langsung membunuh. Padahal, setiap orang berhak untuk hidup meski ia seorang perampok. Bahkan bila menggunakan dalil hak asasi manusia, bukankah para terduga juga berhak mendapatkan hak itu? Lalu kenapa ditembak hingga mati?

Bila memang terduga melawan, kenapa tak dilumpuhkan saja? Bukankah kesalahan mereka belum terbukti. Atau katakanlah mereka melawan, tapi siapa yang bisa melihatnya langsung selain polisi? Begitu banyak pertanyaan mengganjal yang belum terjawab. Tindakan reprsesif bukanlah solusi. Curiga boleh, tapi tak harus membuat mati seseorang.

Saya merasa masygul. Kenapa modusnya selalu berulang dan berakhir dengan kematian. Kenapa masyarakat seolah terhipnotis terbawa konstruksi opini publik yang diciptakan media melalui keterangan polisi. Sering kali teroris diidentikkan dengan pria berjenggot, wanita bercadar, atau celana menggantung. Atau orang-orang yang ‘terkontaminasi’ dengan ‘ceramah kekerasan’? Tak adakah lembaga independen yang bisa dijadikan second opinion? Saya pun masygul karena kita tak mampu memperjelas keadaan, mendengar atau menjembatani keluhan mereka yang (diduga) teroris.

Termasuk terhadap kasus ‘pembunuhan yang dilegalkan’ pada Selasa (9/3), dimana tiga orang yang (baru) diduga teroris kembali tewas akibat penyergapan Densus di Pamulang. Satu di antaranya, seorang wanita yang menggunakan cadar ikut diberondong peluru. Siapa pun tahu, wanita bercadar adalah simbol dari wanita Muslimah. Bisa saja nantinya Islam kembali akan mendapat stigma buruk. Dan mungkin, proyek terorisme ini masih terus berlanjut.

Logika saya pun masih tak mampu menemukan jawabannya: Bagaimana seorang wanita bercadar ditembak dengan tiga peluru, tanpa sedikit pun diberi maaf. Toh, kita belum tahu apa kesalahannya. Mengapa harus ditembak di antara perumahan warga yang jalannya sempit. Secara logika, apakah sebegitu membahayakannya wanita itu hingga harus dibunuh? Apalagi sedang berada di motor. Kenapa bukan motornya saja yang dilumpuhkan, lalu orangnya ditangkap. Ada apa sesungguhnya dengan aksi terorisme di negeri ini?

Sebab jika pun ada terduga yang ditangkap hidup-hidup, polisi belum mampu membuktikannya bahwa orang itu benar-benar teroris. Contohnya, Abu Bakar Basyr serta Abu Jibril. Mereka tidak terbukti terlibat terorisme seperti yang dituduhkan. Akhirnya dilepaskan meski sempat merasakan penahanan. Anehnya, tidak ada pemulihan nama baik yang diberikan.

Bahkan Muhammad Jibril, anak dari Abu Jibril, yang kini masih dalam proses persidangan dituduh dengan pasal berbeda. Ketika ditangkap ia dituding ikut membiayai Al Qaidah. Tapi di persidangan, jaksa justru memasukkan pasal karet yang terkait dengan imigrasi. Dakwaan dan pembuktiannya sangat lemah. Keterangan hasil persidangan ini disampaikan Abu Jibril pada Tv One (9/3) malam.

Lalu, sudah sejauh mana bentuk pertanggung jawaban densus/polisi terkait rumah warga atau tempat-tempat lain yang rusak akibat adanya penyergapan? Apalagi tempat-tempat itu bisa menyisakan kenangan buruk bagi warga setempat. Ini pertanyaan lain yang seharusnya bisa dijelaskan polisi ke publik.

Siapa yang Teroris

Beredar kabar, proyek teroris ini dikait-kaitkan dengan kedatangan Obama ke Indonesia. Apakah mungkin ada relevansinya? Ataukah memang cuma kebetulan? Entahlah, hal ini perlu penelitian dan pembuktian lebih lanjut. Tapi satu hal yang pasti, aksi terorisme di Indonesia memang selalu berkaitan dengan stigma buruk Islam dan istilah jihad yang diperdebatkan.

Tak jarang pula pesantren diobok-obok musuh Islam. Hampir setiap kejadian teroris di negeri ini dikaitkan dengan pesantren. Pelaku yang diduga teroris selalu dihubungkan dengan alumni pesantren A atau pesantren B. Tapi mengapa bila terjadi pembunuhan lain, sang pelaku tak pernah dikaitkan alumni dari mana. Bahkan bila kita ingat kasus di Poso, Tibo pernah menyebutkan 16 nama yang terlibat. Tapi, mengapa hanya berhenti sampai Tibo. Begitu pula dengan Alex Manuputty, kenapa berhenti. Bila kasus dugaan teroris –yang melibatkan kaum Muslim—selalu ditangkap dan dibunuh.

Gambaran ini seolah menunjukkan kasus teroris adalah konstruksi apik hasil konspirasi terselubung musuh-musuh Islam dengan membuat citra Islam semakin buruk serta mengadu domba umat dengan memecah belah dan membuat dikotomi gerakan-gerakan Islam; seperti Islam fundamentalis, fanatisme, radikal, dan sebagainya. Padahal Islam adalah Islam. Rahmatan lil Alamin.

Perang terhadap teroris telah lama digagas Bush sejak peristiwa 11/9. Amerika pun mengajak seluruh dunia untuk memerangi teroris. Padahal itu adalah perang terhadap Islam. Bagaimana invasi AS ke Irak, Afghanistan, dan invasi ke negara Islam penghasil minyak bumi lainnya terus diincar AS dengan dalih macam-macam. Sasarannya mengambil keuntungan kandungan minyak bumi melimpah dan menghancurkan negeri Islam.

Indonesia pun ikut menjadi sasaran. AS dan sekutunya enggan melihat Islam berkembang kuat di Indonesia, termasuk ingin meraup sumber daya alam kita yang melimpah.

Bagaimana Obama? Ia tak jauh berbeda dengan seniornya. Dusta demi dusta Obama kepada dunia Islam telah ia torehkan dalam sejarah. Penutupan Guantanamo, penarikan pasukan di Irak, penambahan pasukan ke Afghanistan, masalah Palestina, pembelaan AS kepada Israel; satu bukti kecil bahwa Obama tak berbeda jauh dengan para seniornya.

Bagaimana bisa pembantaian anak-anak di Palestina dibiarkan begitu saja? Belum lagi kejahatan perang yang dilakukan terhadap negara Islam lainnya? Di Indonesia, umat dipecah belah. Diracuni dengan mencuci otak umat Islam dengan dalih pertukaran pelajar atau beasiswa pendidikan. Bahkan Bush sendiri menggelontorkan dana sekitar 157 juta US Dolar hanya untuk merubah kurikulum pesantren. Jadi siapa yang sebenarnya teroris?

Pengalihan Isu dan Konstruksi Citra Positif

Sementara tiga bulan terakhir kasus Century menyita perhatian bangsa ini. Pansus pun akhirnya menghasilkan keputusan dengan memilih Opsi C dimana kasus ini diduga terdapat pelanggaran dan harus diteruskan ke ranah hukum. Tapi ICW mensinyalir akan ada pengalihan isu untuk mengubur kasus hukum Century yang melibatkan Wapres dan Menku.

Pertanyaannya, mungkinkah terorisme dihidupkan kembali sebagai pengalihan isu? Apalagi citra polisi dan densus kian terpuruk. Contohnya kasus terhangat adanya kasus pengrusakan kantor cabang HMI di Makassar yang melibatkan oknum dari Densus. Dimana-mana kantor Polda di demo.

Dan, bukankah ketika dulu polisi menggerebek teroris, citranya sempat terangkat begitu tinggi. Lalu, bukankah ketika ada kasus besar Cicak-Buaya dan Century, SBY lambat memberikan komentarnya. Sementara setiap ada isu terorisme ia begitu cepat merespon dengan memuji kepolisian. Jadi, apa iya penyergapan di Aceh dan Pamulang-atau nanti bila ada lagi- hanya dilakukan untuk mengangkat citra positif aparat sekaligus mengubur kasus Century? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Wallahu ‘Alam

Rudi Agung
www.klikrudi.blogspot.com