Bunuh Diri Dalam Pandangan Psikolog

Orang Islam harus diterapi dengan cara Islam (Profesor Malik Badri, Psikolog Muslim)

Akhir-akhir ini kita sebagai warga dan umat muslim pada khususnya disuguhkan berbagai macam manifesto pengakhiran hidup berupa bunuh diri di berbagai media masa. Dari yang terjun di Senayan city, lompat tanpa payung di tingkat tinggi Mangga Dua Square hingga momentum bunuh diri monumental, begitu bersejarah. Bunuh diri di Tanah Haram, Tanah Suci saat bulan haji. Naudzubillah min dzalik

Kasus pertama menimpa jemaah haji Indonesia asal Palembang, Sumatera Selatan, Sukimah Sariman Sosiaji Binti Sariman,50, almarhumah tewas setelah terjun dari lantai 6 pemondokannya, di kawasan Sektor 5 Wilayah Aziziyah Janubiayah, Mekah, Arab Saudi, Senin (30/11) sekitar pukul 20:00 waktu setempat.

Kasus ini menggegerkan pasca kasus bunuh diri pertama di tanah suci menimpa seorang jamaah haji asal Tangerang, Nata Rahmadi bin Miska (56) meninggal di Aziziah, Jamarat, Mina, dengan cara menggantung diri, Jumat (12/1/2007).Nata yang tergabung dalam kloter JKG 29 ditemukan tergantung pada pohon di Aziziah oleh kepolisian setempat.

Kasus kedua kasus kematian Richard Kurniawan, warga Kebon Jeruk yang nekad terjun dari lantai 11 gedung Mangga Dua Square. Dari hasil penyelidikan sementara, kuat dugaan korban murni bunuh diri.

Kisah tragis lainnya dilakoni oleh tindakan nekat Reno Fadillan Hakim (25 tahun) yang melompat dari lantai lima ke lantai satu. Seperti diketahui, Reno, warga Patal Senayan, nekat mengakhiri hidupnya dengan melompat pada malam (Senin) pukul 20.15 WIB. Akibat aksi nekatnya itu ia pun terjatuh tepat di atas karpet hitam yang ada di lantai satu Senayan City. Kendati tidak tewas seketika di tempat, akhirnya Reno menghembuskan nafas terakhirnya di RS Pelni.

Setelah kejadian beruntun ini muncul ke khalayak dan infonya acap dikonsumsi umat, tak ayal pihak stasiun TV mengundang beberapa psikolog untuk menjadi tamu membahas dan menebak apa sebab faktor bunh diri yang massif dilakukan akhir-akhir ini.

Beberapa narasumber, penulis mengenalinya sebagai psikolog tersohor di Indonesia. Berpengalaman bahkan suka tampil di TV pada kasus-kasus psikologis sebelumnya. Dari sini, tentu jawaban yang muncul beragam.

Uniknya walau berbeda pendapat, kebanyakan narasumber sebenarnya terjebak kepada Isu tunggal yang sama dari manifesto pengakhiran hidup, mereka seperti mengambil benang merah yang similar dan ditarik beramai-ramai, lalu pada kenyataannya mengambil ranah yang sama pula, tak berbeda. Kenapa? Ini tak lain tak bukan bahwa mereka terjebak pada faktor duniawi sebagai “sutradara” di belakang layar penyebab terjadinya bunuh diri.

Jawaban mereka melihat ketiga kasus ini masih terbatas pada himpitan materialisme, alasan kecukupan ekonomi, alasan perhatian keluarga. Mulai dari kurang perhatian, faktor ekonomi, keluarga, perjodohan dan bahkan ada yang mengatakan faktor penyebab bunuh diri karena adanya peluang.

Alasan mereka bisa jadi benar jika itu hanya ekses atau faktor kesekian dari sebuah faktor besar, namun menjadi salah, ketika alasan-alasan itu dikatakan sebagai factor utama, factor tunggal, factor paling berpengaruh. Kita sebagai umat muslim harus jeli melihat ini, mengedepankan kritisisme, dan membaca dengan worldvied keislaman.

Alsan seperti ini bisa berbahaya karena secara tidak langsung psikolog menganjurkan kita untuk mengejar dunia dan materi sebagai pengantisipasi tindakan bunuh diri. Tentu miris, seakan dengan menjadi orang kaya dan banyak teman selesai perkara. Padahal banyak orang yang kaya dan terkenal karena banyak teman justru melakukan tindakan nista tersebut.

Seperti bintang dalam drama Meteor Garden, drama seri yang di gilai oleh remaja se Asia, Jang Ja-yeon, ditemukan gantung diri di rumahnya. Sebelumnya, pada bulan Februari Eun-joo artis dalam film Tae Guk Gi, Lover’s Concerto, dan The Garden of Heaven, bunuh diri juga. Adapula Kiper Timnas Jerman, yang ditemukan juga mati dalam kondisi bunuh diri. Padahal di antara mereka orang berada dan terkenal seantero dunia bahkan.

Namun ada kepala sekolah yang juga pemulung dengaa gaji pas-pasan hidup rukun dan tenang. Ada anak yang busung lapar tidak pernah berpikir untuk bunuh diri, walau sakit mendera perut. Sebelumnya banyak sahabat-sahabat Rasulullah SAW seperti Abu Hurairoh RA dan Abu Dzar al Ghifari RA, jangankan bunuh diri, terpikir menghamba sama dunia saja tidak. Mereka malah tegar kala Islam cukup menjadi pegangan di dada. Subhanallah, itulah yang membedakan Islamic Worldview dan cara pandang Materialisme.

Namun di samping itu, melihat analisa-analisa para psikolog. Kita seperti disajikan wajah kurikulum psikologi kebanyakan, wajah sekularistik, dan meletakkan nafas-nafas religiusitas pada bagian yang tak perlu diungkap.

Wajah tes psikodiagnostik yang mengeliminir manusia pada kertas-kertas, gambar-gambar, dan angka-angka yang tidak ada hubungannya sama keimanan, sekedar dunia an sich. Alhasil, tidak ada satupun keluar dari keilmuan mereka yang rata-rata bergelar Master Profesi Psikologi yang menyebutkan faktor terkikisnya penghambaan diri seseorang kepada Tuhannya sebagai penyebab utama bunuh diri. Padahal Allah dengan jelas melarang hambanya untuk melihat suatu peristiwa di luar kuasa Allah

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Qs. Al Hujurat : 1)

Allah saja yang Maha Pemilik Manusia yang bunuh diri itu, yang lebih tahu tentang alam semesta sudah mewanti-wanti manusia jauh dari psikologi modern timbul. Bagaimana Allah menganjurkan kita ketika melihat problem harus dengan cara yang fitrah, memanusiakan, dan serta merta menggunakan kerangka analisa Islami, karena Allah lah yang menciptakan manusia, dan lebih tahu daripada kita.

“Maka hadapkanlah wajahmu benar-benar kepada agama; menurut fitrah Allah yang atas pola itu Ia menciptakan manusia. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, itulah agama yang baku; tetapi kebanyakan manusia tidak tahu.” (Q. s. al-Rûm/30:30).

Kasus bunuh diri, tidak hanya terjadi saat ini, sejaka zaman dahulu sudah berkembang. Bahkan Rasulullah meletakkan kasus bunuh diri ini dengan perhatian yang jelas.

"Barangsiapa menjatuhkan diri dari atas gunung kemudian bunuh diri, maka dia berada di neraka, dia akan menjatuhkan diri ke dalam neraka untuk selama-lamanya. Dan barangsiapa minum racun kemudian bunuh diri, maka racunnya itu berada di tangannya kemudian minum di neraka jahanam untuk selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri dengan alat tajam, maka alat tajamnya itu di tangannya akan menusuk dia di neraka jahanam untuk selama-lamanya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

"Sebelum kamu, pernah ada seorang laki-laki luka, kemudian marah sambil mengambil sebilah pisau dan di potongnya tangannya, darahnya terus mengalir sehingga dia mati. Maka berkatalah Allah: hambaku ini mau mendahulukan dirinya dari (takdir) Ku. Oleh karena itu Kuharamkan sorga atasnya." (Riwayat Bukhari, dan Muslim)

Di sini penulis bukan mau memvonis, menghakimi saudara kita yang telah menghabisi nyawanya sendiri, bukan pula bermaksud berhujjah tanpa alasan, namun perkara bunuh diri bukanlah faktor duniawi belaka dan melulu dijawab dengan cara pandang dunia, ataupun faktor sepele yang bersandar materialisme seperti yang jelimet diajarkan kurikulum Fakultas Psikologi kebanyakan. Namun dia mempunyai analisis tajam mendalam yang masuk ke akar-akar relung manusia, yang mustahil bisa ditempuh jika kita mengedepankan faktor duniawi pisau untuk membelahnya.

Kenapa Factor Materialisme Bermasalah? Kisah dari Barat

Barat dengan segala keangkuhanya telah menjadi saksi atas kejatuhan mereka sendiri. Barat bukanlah sebuah daratan biru tanpa cacat. Barat (nilai) juga bukanlah matahari yang senantiasa menyilaukan kita dengan kebudayannya.

Baratpun bukanlah “tokoh” yang mesti kita teladani seratus persen, dengan keminderan taklid buta kita. Karena dalam keilmuan Barat wabil khsuus psikologinya, terpedam lumpur paradoksitas yang luar biasa, dicirkan atas kegagalan praktis ilmu mereka, dan kesalahan mereka membaca manusia secara utuh.

Kita akan melihat bagaimana peradaban itu hancur, bagaimana ilmu yang mereka agung-agungkan justru melindas mereka sendiri dalam rel kereta kehinaan. Bagaimana psikologi yang mereka agung-agungkan dan kita pelajari justru tidak bisa mengobati luka jiwa mereka sendiri. Lantas buat apa kita megimitasi mereka, dan meninggirkan Islam sebagai fitrah dan ilmu paripurna dalam relung mental defeat kita?

Sebagai contoh, saat ini jumlah Tentara Amerika Serikat yang bunuh diri memecahkan rekor pada tahun 2008 saat bertugas dalam medan perang. Tercatat 143 orang prajurit melakukan bunuh diri. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya dimana ada 115 prajurit AS yang mengakhiri hidupnya. Demikian ditulis AFP berdasarkan rilis dari AD AS, Kamis (29/1/2009). Militer AS mencatat angka bunuh diri prajurit meningkat menjadi 20,2 per 100.000 orang. Melewati angka bunuh diri di AS yang hanya 19,5 per 100.000 orang.

Kasus-kasus orang mabuk berkelahi justru mereka ekspos dan pertontonkan sendiri. Di manakah moralisme tinggi mereka yang kita impor, dimana psikologi mereka yang kita cicipi? Bahkan Amerika Serikat karena sudah frustasi tidak bisa menekan kejahatan, mereka melegalkan aborsi dan kejahatan lainnya.

Lalu Di manakah kepiawaian pskiratri mereka? Ironisnya kita justru belajar dari mereka yang tidak memberikan keteledanan. Barat seperti menutupi suatu lubang dan memuka lubang yang lain, ini yang penulis simpulkan melihat buku Steven Levitt berjudul Freaknomics-nya.

Sayangnya psikolog kita justru seperti Mereka, dengan terjebak pada kasus bunuh dirinya itu sendiri, terjebak pada materialimse semu persis seperti Abraham Maslow menjelaskan hirarki manusia.

Islam memang mengakui adanya materi, namun Islam tidak menjadikan matersialistik sebagai sesembahan baru. Islam bisa merangkul materi, namun menjadikan materi itu positif dan tunduk kepada kekuasaan Allah. Jadi keliru jika menjadikan factor utama bunuh diri terikat pada hal-hal non substantive yang amat tak bernilai dalam Islam.

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (QS. Al Hadiid(57) ayat.20)

Jadi buat apa kita menipu, menipu saudara kita sendiri yang sedang diuji?

Allah juga berungkali menasehati kita untuk tidak termakan logika dunia, logika yang kebanyakan dipemainkan oleh syaitan yang endingnya mencoba mengaburkan kebenaran sejati, meminggirkan peran sentral penghambaan diri, kebergantungan diri, dan pengharapan diri kepada Allah Azza Wa Jalla menjadi puing-puing yang jatuh berserakan.

Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali- kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.(QS: Faathir(35) Ayat No: 5)

Domain spiritualitas, keimanan, melihat yang terdalam ketimbang yang zhahir, tidak hanya domain Islam atau komunitas umat muslim, ini juga menjadi fokus seluruh agama dan lintas bangsa. Sebagai contoh, pada tahun 1983, Alexander I. Solzhenitsyn, pemenang hadiah Nobel tahun 1970 untuk bidang literatur, memberikan pidato di London di mana ia berusaha menjelaskan mengapa banyak sekali malapetaka buruk yang telah menimpa rakyatnya:

”Lebih dari setengah abad yang lalu, ketika saya masih kecil, saya teringat saat mendengarkan sejumlah orang-orang tua memberikan penjelasan berikut ini atas bencana dahsyat yang menimpa Rusia: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi.

Sejak saat itu saya menghabiskan hampir 50 tahun untuk menulis tentang sejarah revolusi kami; dalam proses tersebut saya telah membaca ratusan buku, mengumpukan ratusan kesaksian dari orang-orang, dan telah menyumbangkan delapan jilid karya saya dalam upaya membersihkan puing-puing reruntuhan yang tertinggal akibat petaka tersebut.

Tapi, jika sekarang saya di minta untuk mengatakan seringkas mungkin penyebab utama revolusi yang menghancurkan tersebut, yang menelan sekitar 60 juta rakyat kami, saya tidak mampu mengungkapkannya dengan lebih tepat kecuali mengulang perkataan: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi.

Karena itu, sudah saatnya kita tidak terjebak kembali mengatakan factor utama bunuh diri karena kurang perhatian, himpitan ekonomi, kemiskinan, apalagi karena adanya kesempatan. Bentengi iman keluarga kita, saudara kita, anak didik kita, kawan kita agar tidak ikut pada pengarusutamaan materialisme dan dunia seperti yang telah menenggelamkan Barat, menjadikan agama sebagai pelengkap, dan meletakkan kasus-kasus vital untuk diserahkan kepada cara pandang atheisitk yang tak mengenali agama.

Namun sudah saatnya, jika memang kita mengaku beriman, sepatutnya sudah satu paket dalam diri kita untuk memakai ilmu-ilmu yang didasarkan kepada nafas keagungan Qur’ani dan al hadits sebagai kitab paripurna yang menjawab semua tantangan zaman.

Mendahulukan setiap problem untuk dilihat dari kacamata Islam. Barat yang berbondong-bondong masuk Islam seakan menjwab keresahan mereka sendiri atas kekosongan maknawi jiwa mereka sendiri. Jika mereka membuang pandangan hidup mereka sendiri ke sampah kehinaan, namun kenapa kita jutsru mengaisnya?

Karena itu, Umat muslim wabil khusus psikolog muslim harus mulai belajar dengan sungguh-sungguh tentang agama mereka sendiri, mengkaji Islam setiap hari atau pekan, mendalami Ilmu Islam dari dasarnya, yakni tauhid.

Jangan sampai kita megalami amnesia cara pandang terhadap agama kita sendiri, Islam. Dan lebih suka memakai cara pandang di luar Islam sebagai sesembahan baru dan tandingan-tandingan baru. Kalau begitu penulis ingin bertanya nakal: jadi apa bedanya kita dengan Charles Darwin.

Dan diantara sebagian manusia, ada yang mengambil (menjadikan) selain Allah sebagai tandingan-tandingan (sekutu), mereka mencintai tandingan-tandingan itu seperti layaknya mencintai Allah, sedangkan orang-orang yang beriman itu sangat cinta kepada Allah
(QS. Al-Baqoroh : 165).

Wallahu’alam Bishshawab

Pizaro, Konselor Muslim ;Ketua Umum Forum Komunikasi Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Islam Se Indonesia; Anggota Kajian Zionisme International (KaZI)