Antara Syura dan Demokrasi

Akhir-akhir ini, isu dan wacana yang sempat membahana dan marak dibicarakan oleh para pemikir Islam maupun politikus, adalah Islam dan demokrasi. Islam sebagai agama universal diyakini telah sempurna dan mengcover segenap perangkap dasar persoalan, hingga yang berkembang di kemudian hari, termasuk domokrasi.

Banyaknya Negara Islam seperti Mesir dan Indonesia, yang mengadopsi sistem ini dalam mengatur negara, menjadi salah satu sebab gemparnya wacana tersebut. Konsep syura yang diperaktekkan baik oleh Nabi maupun Sahabat khususnya Abu Bakar dan Umar r.a., seringkali menjadi rujukan dalam upaya mempertemukan kedua konsep di atas.

Nah, Benarkah konsep Demokrasi sejalan dengan konsep syura sehingga harus diterima, ataukah konsep itu harus ditolak karena bersumber dari Barat (Yunani) dan betentangan dengan nilai-nilai Islam?

Syura sebagai Landasan Hukum

Syura adalah salah satu mekanisme dalam proses pengambilan hukum ataupun keputusan. Ia adalah konsep dan ciri khas Islam, yang membedakannya dengan konsep yang lain. Orang yang ikut serta dalam pengambilan hukum tersebut disebut sebagai khalifatullah. Dia mempunyai otoritas dalam memimpin masyarakat di bumi sesuai dengan koridor yang telah ditentukan oleh Tuhan sebagai shahibu siyaada `ala sultaatil insan (Muhammad Imarah dalam bukunya hal islam hua hal, limadza wakaifa?).

Demikian falsafah Islam dalam konsep syura-nya. Medan kajian manusia hanya berkisar pada persoalan ijtihadi. Adapun yang berhubungan dengan hal-hal ubudiah yang mempunyai dalil gath`i dalalah, maka ia tidak mendapat legitimasi untuk ikut campur, sekalipun hal itu melalui syura atau ijma. Olehnya itu, sahabat dalam peperangan seringkali bertanya kepada Rasulullah “ Ya Rasulullah a huwa al-waahyu am ar-ra`yu awi al-masyura?”.

Di lain waktu, Nabi Saw. sendiri, dalam urusan ijtihadi atau perang, jarang sekali tidak berkonsultasi (syura) dengan para sahabatnya baik berkaitan masalah strategi maupun serangan. Sehingga Abu bakar r.a. pernah berkata, “saya tidak pernah melihat orang yang paling sering bermusyawarah dengan sahabatnya, dari Rasulullah. Saw.”(riwayat at-Turmudzi).

Syura yang tadinya kebanyakan berkisar pada urusan militer, meluas dan mencakup segala aspek kehidupan, baik itu urusan keluarga, masyarakat, maupun urusan negara. Betapa banyak bukti sejarah yang mensinyalir hal di atas. Mulai dari praktek Rasulullah Saw. sampai pada musyawarah kaum Ansar dan Muhajirin di Bani Saqifah, untuk mengangkat seorang khalifah pengganti Nabi, sebagai penerus tongkat estafeta kepemimpinannya. Yang mana Abu Bakar akhirnya di bai`at sebagai khalifah pertama secara musyawarah dan dalam penuh nuansa domokratis melalui pemilihan bebas, langsung dari ummat. Sampai seorang orientalis, Thomas Arnold, pun mengakui, kenyataan tersebut dangan mengatakan bahwa,”sungguh telah terpilih, tanpa diragukan, khalifah yang empat, Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali, tanpa ada unsur pewarisan (kekuasaan) dan juga jauh dari unsur hubungan kerabat dan keluarga”(Abd Syafi` Muh. Abd. Latif :2008).

Dalam al-Qur`an sendiri banyak ayat, baik secara langsung maupun tidak, menegaskan pentingnya musyawarah dalam segala hal. Ayat yang secara langsung denga kata syawara, “…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (S.Q al-Imaran : 159). Dalam ayat lain dikatan bahwa, “Wahai orang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasulnya dan ulil amri di antara kamu” (SQ.An-Nisa: 59). Dalam ayat tersebut kata “Ulil Amri” berbentuk jamak. Hal itu mengindikasikan suara jamaah dengan melalui musyawarah sebagai landasan hukum. (Muhammad Imarah: 2007).

Sehingga tidak mengherankan kalau Nabi memberikan legitimasi hukum kepada hasil kesepakatan Ummat, “sesungguhnya ummatku tidak akan bersatu dalam kesesatan” (Ibnu Majah).

Prinsip Pokok Syura

Posisi ummat sebagai penegak hukum sekaligus pemilik otoritas dalam pengaturan negara, untuk menghindari kecenderungan manusia yang melampaui batas dan diktator sebagaimana yang dikhawatirkan Jamal al-Banna (islam dinun wa ummah wa laisan dinan wa daulah), maka syura adalah jalan satu-satunya yang harus ditempuh untuk mewujudkan keadilan.

Tapi sistem itu pun membutuhkan lembaga atau konstitusi sebagai sarana perwakilan dalam pengambilan hukum, yang mana hal itu dikenal sebagai ahlul hall wal-aqdi dari para ilmuan dan agamawan, yang akan mewakili aspirasi rakyat. Hal itu sudah ada sejak Nabi. Bahkan Rasulullah sendiri memberikan contoh ketika sahabat dari kaum `Auz dan Khazraj ingin membaiatnya, yang dikenal dengan Bai`tul `Aqabah, sebagai pondasi awal negara Islam di Madinah. Rasulullah, pada saat itu, meminta utusan dari setiap suku sebagai wakil mereka.

Dari kaum Anshar kemudian dikenal dengan muassisatun nuqabah al-isna asyarah. Dan dari pihak muhajirin diwakli sepuluh pemuka dan pembesar Quraisy yang dikenal al-muhajirin al awwalin. melalui kedua lembaga tersebut, segala urusan dibicarakan, dimusyawarakan dan diputuskan seksama. Dan urusan-urusan negara pun dibagi tugaskan kepada setiap orang sesuai keahliannya masing-masing. Demikian realitas sistem dalam syura yang hampir sama, kalau tidak sama, dengan lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam demokrasi dewasa ini.

Selain itu, syura sebagai landasan hukum mempunyai prinsip dasar yang lain yaitu; pertama, syura adalah falsafah ummat dalam mengatur kelurga, sosial dan negara; kedua, medan dan arena kekuasaanya terletak pada perkara yang tidak dijelaskan langsung oleh wahyu atau yang bersifat ijtihadi; ketiga, ummat-dalam syura dan melalui syura-mempunyai otoritas dalam mengatur negara, masyarakat dan meningkatkan kemakmuran; keempat, ahlu halli wan naqdi sebagai lembaga perwakilan ummat. (Muhammad Imarah: 2007)

Demokrasi Sebagai Pilihan?

Sebelum menerima dan menolak demokrasi, ada beberapa hal yang mesti diketahui dari demokrasi tersebut. Pertama; falsafah atau prinsip dasar demokrsi; dan kedua adalah sistem demokrasi itu sendiri.

Pertama; falsafah demokrasi adalah sistem masyarakat yang menekankan nilai pribadi dan kehormatan individu manusia, berdiri di atas asas kerja sama anggota kelompok dalam mengatur urusannya. (Hartono Ahmad Jaiz: 2005). Hal itu senada dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad Imarah: demokrasi adalah sistem politik (masyarakat) yang muncul dan diperkenalkan oleh peradaban Barat (Yunani), dan berkembang pesat di Eropa.

Demokrasi mengatur hubungan individu masyarakat dengan negara berasaskan persamaan hak dan kewajiban, dan mengikutsertakan dalam perumusan undang-undang. Hal itu disandarkan pada konsep dasar; bahwa rakyat adalah pemilik otoritas dan sumber hukum. Kedaulatan ada ditangan rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Abraham Lincoln).

Dengan prinsif dasar ini banyak kalangan yang menolak penuh demokrasi. Demokrasi mengingkari aturan Tuhan. Kedaulatan rakyat adalah teori yang berangkat dari sebuah ilustrasi inkar/kafir(ilhad), kerena teori ini memandang manusia itu diciptakan, disepelekan lalu dibiarkan tanpa memiliki aturan hidup, tidak dijelaskan mana yang baik dan mana yang buruk, antara yang bermanfaat dan yang membawa sengsara, seakan-akan mereka dibiarkan chaos tanpa aturan dan tanpa pemimpin(Hartono Ahmad Jaiz:2005)

Kedua; adalah sistem demokrasi, yaitu sistem perwakilan atau perlemen. Sistem ini merupakan kecakapan dan percobaan yang dihasilkan oleh manusia sesuai dengan zaman dan masa diman ia hidup. Bukan persoalan yang mempunyai aturan main yang transenden. Tidak jauh beda dengan konsep bai`at yang mashur dalam konsep syura.( Muhammad Imarah)

Melalui ilustrasi di atas, maka jelas bahwa perbedaan mendasar antar demokrasi sekuler dengan konsep politik Islam terletak pada pandangn tentang siapa pemegang kedaualatan. Konsep demokrasi sekuler memberikannya kepada rakyat. Mereka mengatakan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat karena suara rakyat adalah suara Tuhan. Sementara dalam konsep Islam, kedaulatan sepenuhnya di tangan Tuhan dan suara Tuhan harus menjadi suara rakyat.

Implementasinya, hukum dalam demokrasi sekuler merupakan nota kesepakatan bersama yang diproduk melalui konstitusi, sementara dalam Islam, hukum itu given dan adalah tugas konstitusi untuk merealisasikannya.

Perbedaan itu sangat mendasar. Tapi, titik temunya sangat mendasar. Yaitu, pada konsep partisipasi. Konsep ini memberikan posisi yang kuat kepada masyarakat terhadap negara dan mengunggulkan akal kolektif atas akal individu. Pemberadayaan masyarakat terhadap negara berbasis pada nilai-nilai kebebasan dan hak-hak asasi manusia, sedang keunggulan akal kolektif berbasis pada upaya mengubah keagamaan menjadi kekuatan, kreativitas, dan produktivitas. Karena itu demokrasi mempunyai implikasi yang kuat terhadap proses pemberdayaan manusia.(Anis Matta: 2002)

Jadi, demokrasi dan syura tidak bisa disamakan secara mutlak. Juga, tidak bisa dibedakan secara menyeluruh. Keduanya mempunyai sisi perbedaan dan kesamaan. Sehingga, Hasan al-Banna dalam Rasailnya mengatakan bahwa”tidak ada dalam sistem perwakilan ini (demokrasi) -yang kita ambil dari Eropa-yang bertentangan dengan konsep hukum Islam. Maka dengan ini, tidak jauh dari sistem Islam dan dan bukan sesuatu yang baru…” ( Muhammad Imarah:2007). Hal itu dibahasakan oleh Anis matta bahwa walaupun demokrasi bukan sistem Islam, tapi inilah sistem politik modern yang paling dekat dengan Islam.

Oleh karena itu, pandangan penulis, demokrasi dalam tataran konsep banyak persamaan dengan nilai-nilai syura, maka kita tidak bisa menolak sepenuhnya. Tapi, sebagai orang Islam, kita juga harus jeli melihat demokrasi dalam tataran praktis. Karena biar bagaimana pun, demokrasi adalah tetap produk manusia dan dijalankan oleh manusia yang terbatas. Wallahu a`lam bis sawab!

Biodata penulis:

Darlis Dawing, lahir di Sanrego Bone Sul-Sel, 15 Juli 1985, sempat Mondok selama enam tahun di Mts/Aliyah Pon-Pes As`diyah Sengkang Wajo Su-Sel, sekarang dalam proses penyelesaian S1, tingkat akhir, Jurusan Tafsir dan Ulumul Qur`an, di Univ. Al-Azhar Kairo.