Gaya 'Koboi' Densus 88

Seperti sebuah ritual rutin, tiap menjelang kunjungan pejabat tinggi Amerika ke Indonesia, atau ada isu besar skandal pejabat negara, selalu saja muncul isu perburuan terorisme oleh Densus 88. Pola ini bisa disimak publik dalam beberapa aksi perburuan terorisme  tahun-tahun terakhir ini.

Perburuan terhadap pelaku terorisme, terutama para pelaku yang dianggap tokoh, selalu saja berujung pada tembak mati. Selain ada potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia, pola ini justru memunculkan tanda tanya tersendiri. Ada apa di balik operasi tembak mati?

Jika polisi memang ingin memberantas jaringan terorisme, kenapa sang tokoh tidak ditangkap hidup-hidup? Bukankah tembak mati justru memutus aliran informasi tentang jaringan mereka?

Hal inilah yang disampaikan Anggota Komisi Hukum DPR dari FPKS, Nasir Jamil. Menurutnya, tindakan polisi menembak mati orang yang diduga teroris justru memutus aliran informasi terorisme.

Selain itu, masih menurut Nasir Jamil, tindakan polisi tersebut bisa memunculkan semangat lahirnya terorisme baru. “Ini seperti di Aceh. Ketika pemerintah membunuh GAM, justru lebih banyak GAM bermunculan,” ucap anggota DPR dari Aceh ini.

Dari segi pelanggaran HAM, aksi koboi Densus 88 ini juga memunculkan teror baru untuk keluarga korban. Padahal, mereka yang diburu sebagai teroris, belum tentu sebagai pelaku teroris. Karena proses peradilan terhadap mereka belum terjadi.

Komisioner Komnas HAM, Syafrudin Ngulma Simeulue mengatakan bahwa aksi Densus 88 Anti Teror justru memunculkan teror baru. “Tindakan Densus 88 sudah kebablasan. Tindakan brutal Densus 88 sudah merampas hak hidup warga negara dan hilangnya hak atas rasa aman dalam masyarakat,” tegasnya.

Menurut mantan Ketua PBNU, KH Hasyim Muzadi, polisi arogan dengan menembak mati para teroris. “Amerika Serikat saja sudah mengubah caranya menangani teroris menjadi lebih manusiawi. Indonesia malah memburuk,” ujarnya.

Hal senada juga diucapkan Ketua Majelis Ulama Jatim, KH Abdushomad. Menurutnya, Polri kerap menyebut para tersangka teroris dengan sebutan ustadz. “Kalau selalu menggunakan sebutan ustadz, atau istilah Islam lainnya, seakan-akan Islam sengaja diseret-seret terus kedalam isu terorisme,” ucapnya.

Sementara itu, seperti dikutip banyak media, Kapolri menjelaskan bahwa tembak mati terhadap pelaku terorisme karena terorisme mempunyai prinsip lebih baik mati daripada tertangkap hidup. (sumber: republika)

**

Redaksi mengucapkan terima kasih atas komentar dan saran pembaca pada Dialog sebelumnya.Semoga bisa bermanfaat sebagai masukan yang berharga untuk kita semua.