Sang Pembebas : Sholahuddin Al Ayoubi (1)

Sholahudin Al Ayoubi

Siapa yang tak kenal dengan nama kota Jerussalem. Kota yang melahirkan banyak orang-orang militan dalam perjuangan Islam ini ternyata punya kisah panjang dalam sejarah. Masjidil Aqsa, kiblat pertama umat Islam pun ada di kota mulia ini, sebelum akhirnya berpindah ke tanah suci Makkah, menghadap Ka’bah.

Dari kota ini pula Rasulullah memulai perjalanan Isra’ Mi’r-ajnya ke Sidratul Muntaha. Dalam sejarah keagamaan, kota ini juga dianggap suci oleh tiga agama samawi. Bagi umat Islam sudah jelas mengapa kota ini dianggap suci, karena masjid Aqsa persinggahan Rasulullah ada di sana. Bagi umat Nasrani, kota ini juga dianggap bersejarah karena berdekatan dengan kota Bethlehem tempat lahir Nabi Isa. Sedang bagi kaum Yahudi, kota ini diper-caya sebagai tempat berdirinya istana Nabi Sulaiman zaman dahulu kala. Haikal Sulaiman, begitu mereka menyebutnya.

Jauh sebelum Shalahuddin Al Ayyubi lahir, kota ini makmur dalam daulat pemerintahan Islam. Khalifah Umar bin Khattab berhasil merebut kota ini dengan damai dan hampir tanpa pertumpahan darah. Uskup Agung Sophronius pemegang tampuk kekuasaan Jerussalem kala itu, meminta Khalifah Umar mengambil alih kekuasaan.

Berabad-abad lamanya Jerussalem menjadi kota dambaan. Tak ada hak yang dilanggar, dan tak satupun kewajiban ditinggalkan tanpa mendapat sangsi. Semua peraturan berjalan dengan adil, penduduk makmur dan sejahtera. Semua pemeluk agama bebas melakukan iba-dahnya masing-masing tanpa khawatir diganggu atau ditindas kaum mayoritas.

Kaum Nasrani seluruh dunia bebas keluar masuk Jerussalem untuk melakukan ibadah agama mereka di Bethlehem, begitu juga orang-orang Yahudi. Pendeknya tak ada satu pun yang diganggu. Bahkan tak jarang orang-orang Nasrani dari Eropa datang dengan jumlah yang besar dalam iring-iringan panjang bersenjata lengkap bak pasukan perang.

Bak kata pepatah, dikasih hati minta jantung, diberi kebeba-san mereka kian kurang ajar. Dengan rombongan besar, kaum nasrani kerap kali mencelakai penduduk dan orang-orang muslim yang kebe-tulan mereka temui di perjalanan. Tercatat pada tahun 1064, 7000 orang yang bergabung dalam rombongan untuk beribadah itu telah menyerang orang-orang Arab dan Turki. Lebih jauh dari itu, para pemimpin agama mereka malah mengobarkan semangat untuk membebas-kan Jerussalem dari pemerintatah Islam pada kemudian.

Adalah Patriach Ermite, seorang pendeta yang getol sekali menyebarkan hasutan dan tak henti-hentinya memprovokasi orang Nasrani untuk membalas dendam serta merebut kembali kota Jerussa-lem. Dengan menunggang keledai dan memikul salib besar ia menje-lajah Eropa dan mengabarkan, bahwa di Jerussalem umat Nasrani telah dianiaya. Dengan pakaiannya yang compang-camping ia berk-hutbah dari gereja ke gereja, dari satu kota ke kota lainnya, bahwa kubur Nabi Isa telah diinjak-injak dan umat Kristen telah dihina oleh muslim Jerussalem.

Kontan saja, mendengar kabar bohong yang demikian, semangat juang kaum Nasrani membela agamanya berkobar dengan segera. Tak peduli perampok, tak peduli pencuri semua mengangkat senjata untuk membela. Dana-dana dikumpulkan, senjata-senjata diasah tajam dan perang suci pun diumumkan. Lebih dari itu, Paus Urbanus II mengumumkan akan memberikan ampunan dosa bagi siapa saja yang ikut berperang. Siapa yang tak ingin ikut berperang jika jami-nannya terbebas dari dosa turunan yang selama ini mereka emban.

15 Agustus 1095 adalah hari yang ditentukan untuk memberang-katkan pasukan Salib ke Timur Tengah oleh Paus Urbanus II. Lagi-lagi pendeta Patriach Ermite menghasut rakyat, “Hari yang diten-tukan terlalu lama,” katanya. Ia tak sabar untuk segera menghan-curkan Islam. Akhirnya dengan membawa 60.000 pasukan, Pendeta Ermite memimpin penyerbuan. Di tengah jalan, kaum tani dan orang awam datang bergabung, dan hampir semua tempat yang dilalui pasukan itu selalu menyumbangkan tenaga-tenaga mudanya untuk berperang suci. Sehingga jumlah pasukan yang menyerbu lebih awal sebanyak membengkak menjadi 200.000 orang.

Sepanjang perjalanan mereka membuat huru-hara, pasukan dii-zinkan untuk merampok, memperkosa dan membunuh orang yang mereka temui, dimana saja. Meski demikian sepanjang jalan pasukan salib selalu dieluk-elukan. Tapi ketika mereka tiba di Hongaria dan Bulgari, sambutan yang mereka tak seperti biasanya. Penduduk bersikap biasa saja, bahkan acuh pada mereka. Hal ini ternyata membuat sebagian besar pasukan salib kecewa dan marah, lalu menyerang penduduk Hongaria, juga Bulgaria. Tapi penduduk setem-pat tak tinggal diam, mereka pun angkat senjata melakukan perla-wanan, peperanganpun tak terelakkan. Dari jumlah 200. 000 orang, hanya 70.000 saja yang tersisa untuk melanjutkan perjalannya menuju Timur Tengah, sedang yang lainnya menemui nasib binasa.

Ekspedisi pasukan salib pertama yang dipimpin oleh sang pendeta yang tak tahu strategi kancah laga, akhirnya tumpas tak tersisa. Hal ini kian membuat pasukan salib yang belum berangkat kian membara dendamnya. Pasukan salib kedua pun tercipta, dengan dipimpin oleh anak-anak Raja Godfrey dari Perancis, mereka mengumpulkan pasukannya di Konstantinopel. Bak banjir bandang mereka datang menyerbu wilayah-wilayah yang berada dalam daulat pemerin-tahan Islam. Daerah-daerah Islam yang memang tak memiliki pasukan perang dalam jumlah besar, hampir dengan mudah mereka kalahkan.

Setelah bertempur sekian lama dan menghadapi pejuang-pejuang Islam yang pantang menyerah, akhirnya pasukan salib berhasil juga merebut kota Jerussalem dengan banjir darah. Pertengahan bulan Juli tahun 1099 kota Jerussalem mutlak dikuasai pasukan salib yang membabi buta.

Seperti kerasukan setan mereka membunuhi siapa saja yang beragama Islam. Tak peduli anak-anak, orang tua dan perempuan, asal Islam tak ada ampunan. Tak hanya itu mereka juga membantai kaum Yahudi dan Nasrani yang tak mau bergabung dengan pasukan salib. Mereka telah lupa daratan, berperang dengan biadab.

Seorang sejarawan Perancis dalam sebuah karyanya menuliskan, “Orang-orang Kristen pada tahun 1099 saat penaklukkan kota Jerus-salem membantai orang-orang Islam di jalan-jalan dan di rumah-rumah. Jerussalem tak punya tempat lagi bagi orang-orang yang kalah.” Bersambung…(her)