Who Knows The Depth of Heart

Tidak ada suasana yang paling menyenangkan di kantor pada saat kita kerja kecuali jika menyukai lingkungan pekerjaan kita. Salah satu faktor terbesar yang membuat kita kerasan adalah sikap rekan kerja di sekitar kita.

Ketika bekerja di Indonesia dulu, semua rekan kerja nyaris dari latarbelakang budaya yang sama. Kalaupun berbeda, paling banter sukunya. Ada yang dari Makassar, Batak, Papua, Ambon, Timor, Sumbawa, Bali, Manado, Kalimantan dan yang terbanyak biasanya Jawa. Keberagaman itu memang asyik dan amat menyenangkan meski terkadang menyakitkan. Hubungan tidak terbatas di kantor saja. Bahkan saling berkunjung, arisan hingga wisata bersama. Canda dan tawa menghiasi banyak kesempatan, walaupun yang namanya konflik terkadang tidak dapat dihindarkan.

Ketika saya pindah di Timur Tengah, kejadian yang serupa terulang. Yang berbeda adalah tempat dan manusianya. Ada yang dari Eropa, Amerika, Canada, Afrika, Arab, ada pula Asia. Ada yang berkulit putih, kuning, coklat, hingga yang hitam. Semuanya mewarnai keberagaman kerja, yang tentunya sarat dengan pelajaran berharga bagi yang jeli memanfaatkannya.

Akan tetapi, perjalanan kehidupan kerja kita tidak selamanya mulus. Seperti halnya berjalan, kadang kita tersandung, sekalipun sudah berhati-hati.

Di kantor kami yang dihuni oleh orang-orang yang berasal dari India, Filipina, Syria, Sudan, Indonesia, Palestina, Masir, Irlandia, Inggris, Canada dan Afrika Selatan. Rutinitas pagi hari umumnya dimulai dengan ucapan sapa, biasanya bergilir menyapa satu sama lain dengan logat dan dialeknya yang khas. Meski semuanya berarti kata sapa: ‘Apa Kabar’, namun tidak selalu ekspresinya sama. Ada yang diungkapkan dalam bahasa Inggris, ada yang India, ada pula Arab. Kepada saya, ada satu dua orang yang menggunakan Bahasa Indonesia dengan nada yang tentu saja berbeda dengan lidah orang-orang kita.

Sapaan hangat ini sebagai salah satu hal yang melatar-belakangi mengapa saya suka bekerja di kantor ini. Kantor menjadi seperti rumah kedua. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya orang yang tidak akrab dengan rekan-rekan kerja di kantor. Bagaimana suasana hati seseorang yang memiliki begitu banyak konflik dengan rekan kerja. Bagaimana dengan orang-orang yang inginnya hanya mencari uang? Betapa sengsara batinnya. Oleh sebab itu, barangkali kunci utama yang perlu kita ‘taklukkan’ jika kerja adalah: rekan-rekan kerja kita. Bukan ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Betapapun kita menyandang gelar doktor atau professor. Karena, sekali kita tidak disukai oleh kolega, meja kerja bisa saja berubah seperti ‘neraka’.

Di tempat kerja saya, ada salah seorang pekerja yang boleh dikata tertua, paling senior. Saya segan terhadapnya sebatas pada karena beliau lebih tua dari saya yang harus saya hargai. Satu dari sikapnya yang saya suka adalah, dia juga suka guyon dengan rekan-rekan, tidak terkecuali saya. Setiap hari, sebelum memulai kerjanya, yang saya tahu kebiasaan dia adalah berkeliling kantor, seolah-olah kerja seorang supervisor, menemui hampir setiap orang yang ada di kantor, menebar senyum dan menjabat tangan mereka satu persatu penuh akrab. Tidak terkecuali kepada saya.

Sunggingan senyum di bibirnya, menghiasi wajah tua yang terlihat jelas dari garis-garis di kulit wajahnya. Dalam Bahasa Arab khasnya, dia biasa menyapa saya, dengan gaya ‘bergurau’: “Syeikh Baarak….?” Yang artinya: ‘Apa kabar?’. Saya pun tidak menyia-nyiakan sapaan hangat ini biasanya dengan segera menjawab: “Thamaam…”. Baik, kataku sesegera mungkin. Pula dengan senyuman.

Di tengah-tengah kesibukan, kadang dia juga datang ke saya, entah itu berbicara tentang pekerjaan, keluarga, atau kegiatan sosial lainnya. Tidak jarang dengan canda. Bahkan, dia akhir-akhir ini sering mengolokkan ballpoint yang saya punya, sebagai produk Yahudi. Saya pun ketawa dibuatnya. Dan itu terjadi beberapa kali. Namun demikian, saya tidak pernah tersinggung, apalagi sakit hati dibuatnya. Sungguh, segala gurauannya, hanya bikin saya tersenyum atau ketawa. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Tidak pernah saya anggap serius.

Selama kami kumpul hampir dua tahun, hatta tidak terlalu akrab, saya menganggap ‘tahu’ sebagian kepribadiannya. Bahwa dia suka humor. Itulah kesan yang tertanam dalam pikiran saya. Setidaknya, hingga kejadian siang itu.

Siang itu, ketika saya keluar dari kantor sang manager, tidak lebih dari lima langkah, teman saya yang tua itu berdiri di depan saya dengan ekspresi berbeda. Tiba-tiba berkata:
“Dalam hidup saya selama 30 tahun di kantor ini, tidak ada orang yang pernah mengatakan :”Go out!” kepada saya” Katanya dengan mimik, bibir, serta sebagian anggota badan yang bergetar. Saya terkejut. “What happened?” Tanya saya balik, bercampur keheranan.
“We will meet the boss after this. You said, and you mean it!” Katanya lagi menegaskan, lebih serius.

Dia bilang bahwa ketika saya dan manajer sedang berbincang, dia kemudian masuk, menyela, saya mengusirnya. Pada saat itu, katanya saya berkata ‘kasar’ dengan kata-kata ‘Go out!’ Saya terperanjat dengan ‘tuduhannya’ yang bahkan saya lupa apakah mengatakannya atau tidak. Seingat saya, sangat tidak sopan ungkapan seperti itu diungkapkan kepadanya sementara saya di depan sang manajer. Sepanjang ingatan saya, saya hanya bilang :”Wait….!” Tentu dengan ekspresi yang kurang serius, karena memang bukan itu tujuan saya sebagai kolega.

Tanpa menunggu bah…bih…buh…, segera saya jabat tangannya. Saya coba rangkul untuk mengungkapkan penyesalan saya apabila dia tersinggung dengan kata-kata saya, yang saya yakin bahwa itu bukan suatu kesengajaan. Apalagi dia tahu bahwa saya orangnya senang humor. Dengan boss saja, saya dikatakan sebagai orang yang paling berani bergurau dengannya. Tidak ada staf lain. Persepsi yang sama saya gunakan untuk rekan kami yang satu ini, bahwa saya tidak pernah dengan sengaja menyinggung apalagi menyakiti hatinya dengan ungkapan-ungkapan yang kasar. Ditambah perlakukan dia terhadap saya juga begitu.

Masih dengan ekspresi penuh amarah yang ditahan, dia kemudian menuju ke kantornya. Saya ikuti di belakangnya, hingga dia duduk. Saya pun tetap berada di depannya. Saya coba yakinkan ungkapan penyesalan jika memang saya telah menyakitinya. Saya kemudian peluk dia dan saya katakan bahwa kejadian itu sungguh di luar kesengajaan. Bahkan, seandainya benar bahwa saya berkata “Go out!”, namun dia tetap masuk, saya akan tertawa senang.

Sekedar tahu saja, sebelum saya masuk kantor bos, biasanya saya ketuk pintu. “Enter!” jawabnya dari dalam. Sesudah daun pintu saya dorong, masih juga sejengkal kaki ini melangkah di belakang pintu kantornya, saya bertanya: “May I come in?” Anda tahu apa jawab dia: “No!” layaknya seorang bos yang memang punya otoritas. Tapi apa reaksi saya? Bukannya saya tutup kembali pintu atau berbalik, tapi justru sebaliknya, saya tetap masuk. Kalau boleh saya terjemahkan apa yang dikatakan oleh bos atas sikap saya ini ke dalam Bahasa Indonesia, dia bilang: “Orang ini suka ganggu aja! Sudah dikasih tahu jangan masuk eh…malah nyolonong!” Saya pun tetap senyum!

Pada babakan berikutnya, berulang kali saya katakan maaf atas keteledoran saya ini. Sungguh, selama ini saya tidak pernah menyangka bahwa gurauan saya terhadapnya dianggap serius. Padahal setiap hari dia juga mengajak saya bergurau, sampai-sampai dia mengatakan Yahudi kepada saya di depan orang-orang pada hari di mana peristiwa di atas terjadi. Tapi, ya itu tadi, saya tidak pernah menganggapnya serius, kecuali sebagai canda belaka. Saya katakan kepadanya, saya tidak akan meninggalkan kantornya sampai saya dengar ucapan dari bibirnya bahwa dia memaafkan saya. Yang kedua, dia yakini bahwa kejadian itu bukan suatu kesengajaan.

Alhamdulillah, ‘trick’ ini berhasil. Betapa lega batin saya ketika dikatakan: “Yes!” kepada saya, dan membatalkan ketemu bos karena kejadian tersebut. Saya amati wajahnya yang semula kusut, perlahan jadi cerah. Raut muka yang semula memerah jadi pudar. Dia kelihatan bernafas lega. Saya pun, ‘plong’ dibuatnya.

Ada dua pelajaran yang bisa dipetik dari kejadian ini. Pertama, jangan menjeneralisasi sikap atau watak orang, sekalipun anda tahu. Karena watak dan sikap manusia setiap saat bisa berubah. Dan yang kedua, siap-siaplah bagaimana harus mengantisipasi masalah jika muncul kejadian seperti di atas. Bila perlu, jangan segan-segan mengungkapkan kata maaf. Sekalipun anda bukan orang yang salah. Memohon maaf menunjukkan kebesaran jiwa kita. Memohon maaf tidak berarti kita salah. Meminta maaf bisa memosisikan kita sebagai ‘pemenang’. Walaupun bukan itu sebenarnya tujuan kita. Wallahu a’lam! 

Doha 23 May 2009

[email protected]