Saya Terlahir di Bawah Pohon Waru

Jika dalam beberapa bulan mendatang akhirnya saya akan meninggalkan Yogya, maka masjid kampus (maskam) UGM adalah salah satu tempat yang paling akan saya rindukan. Sebuah masjid besar yang sangat indah, tempat dimana dulu hampir tiap pekan saya kunjungi. Namun siapa yang menyangka bahwa di halaman belakang masjid ini, di antara rerimbunan pohon itu, pernah lahir sepasang bayi.

Betapa mirisnya hati saya mengetahui kisah ini. Sudah beberapa tahun saya kuliah di sini, namun baru beberapa bulan ini saya mengetahui kisah pilu ini.

Berawal dari perubahan jadwal mentoring, akhirnya setiap sholat jumat saya putuskan untuk tetap berada di maskam, sembari menunggu kelompok mentoring berikutnya. Setiap waktu sholat jumat seperti biasa saya memilih untuk duduk di taman masjid sambil ngobrol-ngobrol dengan beberapa adik kecil. Adik – adik kecil itu memang seperti biasanya telah datang menjelang waktu sholat jumat untuk meminta sedikit rezeki dari para jamaah masjid. Sedih rasanya, anak sekecil mereka harus meminta-minta demikian, apalagi setelah beberapa kali ngobrol dengan ibu mereka yang kebetulan juga ikut serta, saya ketahui bahwa rumah mereka sangat jauh. Namun, ada sedikit kegembiraan terselip, manakala saya mengetahui bahwa beberapa adik kecil itu masih bersekolah serta masih memiliki ayah.

Dan tiba pada hari jumat itu, saat saya sedang asyik ngobrol dengan salah satu Ibu dari adik-adik kecil itu. Di sela-sela percakapan, dari kejauhan saya melihat dua orang adik kecil yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saya tergerak menghampiri mereka, saya menatap keduanya, pakaian mereka telah lebih usang (dibanding dengan adik-adik kecil lainnya), kulit dan rambut mereka memperlihatkan seperti telah sering terjemur dalam terik matahari. “Assalamualaikum,,, adek.. namanya siapa?” saya menyapa. Tapi mereka hanya tertegun menatap saya. Kemudian seseorang menghampiri saya dengan setengah berteriak “Namanya Arum sama Asih, Mbak…”. Saya menoleh, seorang nenek tiba-tiba telah berada di dekat saya.

“Mereka kembar Mbak..” lanjut Nenek tersebut. Ups.. ya baru saya sadari ternyata mereka kembar. Lalu saya ngobrol dengan sang Nenek. “Mereka lahir di bawah pohon waru itu loh, Mbak..” kata sang Nenek. Masya Allah.. saya terperanjat, rasanya hampir tak percaya, bagaimana mungkin di bawah pohon itu, di antara rerumputan itu, ada seorang ibu yang pernah melahirkan disana.. padahal kampus ini begitu besar dan rumah sakit pun sangat dekat dari sini. “Saya yang motongin tali puser mereka” tambah nenek tersebut. “Ibunya sekarang di mana, Mbah ? tanya saya. “Wah, ibunya gak mau tanggungjawab, dia nyerahin anaknya ke saya, padahal saya nggak kenal dan nggak tahu apa-apa, sekarang entah kemana Ibunya”. Jawab nenek.

Percakapan berlanjut, dari sana saya mengetahui bahwa sang nenek akhirnya yang merawat dan mengasuh kedua bayi tersebut hingga sebesar ini. Nenek bercerita bahwa dahulu ia bukanlah seorang peminta-minta seperti sekarang, namun belakangan ini tenaganya sudah tak cukup kuat untuk bekerja sementara harga-harga kebutuhan hidup semakin meningkat, hingga akhirnya ia dengan berat hati menjadi peminta-minta dengan membawa kedua adik kecil itu. Waktu berlalu, saya jadi rutin menemui mereka dan dari Ibu – ibu peminta lainnya, saya mendapat kisah yang sama tentang betapa pilunya kisah si adik kembar tersebut.

Subhanallah,, betapa kagumnya saya dengan sang nenek, dia yang hidupnya penuh kekurangan saja, bersedia merawat dan membesarkan dua orang bayi yang bukan cucunya. Ya Allah, mulianya hati nenek ini, padahal untuk hidupnya sendiri saja sulit, namun ia dengan keyakinan dan pertolongan Allah akhirnya bisa membesarkan kedua bayi tersebut. Sementara ada banyak sekali orang berkecukupan yang masih merasa kekurangan. Namun lihatlah sang nenek, dia justru mampu berkorban dalam kekurangan dan keterbatasannya.

Di antara kekokohan kampus ini, di antara hingar-bingar mahasiswa yang bergembira dalam serba kecukupan, ada kisah pilu dua adik kecil yang tak punya orangtua, yang menggantungkan hidupnya pada seorang nenek yang kekurangan. Bagaimana nasib adik-adik itu selanjutnya, bila sang nenek sudah tidak ada? Mereka masih kecil sekali, perjalanan hidup mereka masih harus terus berlanjut.
Melihat ini, saya malu menatap diri ini yang hingga kini juga belum mampu berbuat sesuatu untuk kehidupan orang lain. Ingin sekali rasanya bisa seperti Mbak Asma Nadia, Pak Fauzil Adhim, dan orang-orang lainnya yang bisa mengabdikan hidupnya untuk kepentingan orang-orang yang membutuhkan.

Sekarang telah lebih dua pekan saya tak bertemu adik-adik kecil itu. Semenjak kecelakaan yang menimpa saya dua pekan lalu, saya belum bisa leluasa beraktifitas. Saya rindu pada adik-adik kecil itu… dan menjadi sedih bila teringat di hari terakhir saya bertemu dengan sang nenek, beliau mengeluh sedang demam.

Ya Allah yang Maha Segalanya, sayangi adik-adik kecil itu dan berikanlah kekuatan dan kemudahan pada Nenek untuk bisa membesarkan mereka, amin.