Kala Jodoh Bukan di Tangan Murrobi

                 

Sabtu, 07 Februari 2009 masih ditemani rinai hujan.

Rintik hujan masih saja mengguyur daerah kawasan Ulujami-Bintaro saat itu. Beberapa kali saya mengirimkan pesan singkat kepada kawan saya—yang malamnya sudah mengultimatum saya jika hari Sabtu pagi akan ada pengajian seperti biasanya dalam seminggu. Itu saya ketahui ketika membaca pesan singkatnya pada malam hari ketika saya sedang membaca buku. Sungguh ketika saya mendapatkan pesan singkat itu jujur saya sangat terasa. Ya, karena apa? Saya sudah beberapa bulan tak menyetor muka. Alias, tak ada pemberitahuan dari saya itu. Padahal sudah memakai jasa MLM. Message Lewat Message. Atau, bahasa kerennya Mulut Lewat Mulut. Alias, jarkom. Tapi entah kenapa ketika saat saya mendapatkan pesan seperti itu hati saya tergerak dan tersadarkan diri. Oya, gue sudah beberapa hari nggak hadir, gumam saya saat itu. Dan, akhirnya hari itu, Sabtu itu saya pun melangkahkan azzam saya untuk pergi memenuhi pesan singkat dari kawan saya itu walau rintik hujan masih membasahi daerah kawasan itu.

Senangnya bertemu kawan-kawan….

“Ente kemana aja, Yan? Kok, nggak pernah ngaji lagi. Sibuk ya?”

“Kemana aja Yan udah lama banget nggak ngaji. Udah gitu nggak ada kabar-kaburnya lagi.”

“Gimana kabarmu, Yan?”

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang saya harus jawab secara bertubi-tubi saat saya baru mengucapkan salam dan sampai di rumah kawan. Kebenaran acara pengajian hari itu diadakan di rumah kawan saya—yang bertepatan dengan sekolah taman kanak-kanak.

Saya tak langsung menjawab. Masih mengatur nafas dan mengeringkan badan dari rintik hujan yang mengguyur saya dalam perjalanan.

“Sori, ya kalo udah beberapa minggu ini ane nggak  nyetor muka. Ya, nih, ane  lagi banyak problem (baca: urusan) yang ane hadapi. Makanya ane  sadar diri mau nyetor muka dan mau bertemu ente-ente semua. Soalnya ane kangen udah lama nggak ketemu!” seru saya kepada semua kawan-kawan saya yang sudah lama tak berjumpa. ”Ma’af Pak saya nggak ngaji-ngaji!.” lanjut saya pada guru ngaji saya dengan rasa tak enak hati.

Alhamdulillah, akhirnya pertanyaan-pertanyaan kawan-kawan sudah terjawab oleh saya walau dengan pasang muka tidak enak hati kepada mereka semua. Padahal mereka adalah kawan-kawan saya yang sangat peduli terhadap sesama kawannya. Terlebih ketika ada kawan saya yang dapat musibah dan yang ber-walimah-an semua turut urun tangan. Menyumbang sesuka relanya. Ya, dari sinilah saya sangat merindukan hal itu. Betapa saya sangat merindukan mereka jika saya tak bersua berminggu-minggu kepada mereka.

Kabar bahagia itu datang dari kawan saya….

Usai saya dan kawan-kawan menuntaskan tilawah serta mendengarkan taujih (nasehat) kini berganti dengan moment yang sangat saya tunggu-tunggu. Moment yang menjadi favorit semua kawan-kawan saya dan tentunya juga saya. Qadayah. Curhatan masing-masing diri. Apalagi dalam acara ini banyak yang harus diketahui tentang bagaimana keadaan dan kabar masing-masing selama seminggu maupun apa yang sedang dikerjakan maupun dialami. Entah itu pokoknya kabar suka-duka, baik-buruk, maupun sedang mencari pendamping. Disinilah hal-hal yang sangat dinanti oleh saya maupun kawan-kawan saya. Dan pada saat curhatan hati (curhat) dari salah satu kawan saya yang sedang mencari pendamping menjadi kabar yang mengejutkan. Maklum semua yang mengikuti pengajian hari itu semua masih menjabat dan memilIki bintang kejora. Alias, Kelompok Jomblo Ceria.

“Kabar saya hari ini baik. Aktivitas saya sekarang juga baik-baik saja dan ….”

Belum habis curhatan hati kawan saya berlanjut tiba-tiba kawan saya ada yang nyeletuk….,”kapan nih jadinya?”

Saya yang mendengar hal itu pertama agak lemot. Lodingnya lama. Saya tidak tahu maksudnya. Mungkin ini akibata saya sudah tak bersua dan mengaji jadi saya tak tahu kabar-kabur dari kawan saya. Salah satunya kawan saya yang belum habis curhatnya itu. Akhirnya curhatan hati dari kawan saya pun usai. Dikarenakan batas waktu yang tidak mencukupi karena saat itu akan tiba jelang dzuhur. Jadi aktiviatas saat itu pun disudahi diabrengi seusai curhatan hati kawan saya yang membuat saya masih bertanya-tanya.

Masih penasaran….

Akhirnya walaupun ajang curhatan sudah usai begitu dengan mengajinya saya pun masih penasaran dengan kabar kawan saya itu. Dengan penuh keingintahuan saya memberanikan diri untuk menanyakan kabar gembira itu.

“Ente  benar mau married?” tanya saya dengan lugas tepat pada sasaran.

Kawan saya hanya senyum-senyum malu-malu kucing. Tapi kalau dberi ikan asin (baca:akhwat cantik) mungkin mau tanpa malu-malu untuk dinikahinya.

“Ya, ane sih nunggu kabar dari murrobi kita. Ya, insyaAllah doain aja bulan 6 kalau ketemu jodohnya. Kan ini lagi dicariin sama murobbi.” Ucapnya lagi dan benar-benar membuat saya tak habis pikir. Lho, kok nunggu murrobi,” kata saya dalam hati.

“Ane  doain biar ente  cepat ketemu, jodoh, ya!” tukas saya lagi masih membuat saya agak heran.

Jodoh bukan di tangan murrobi….Tapi di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Hingga akhirnya hal itu mengingatkan cerita saya dan kawan saya beberapa bulan lalu saat berboncengan naik motor. Saat itu saya dan kawan ingin pulang seusia dari acara rapat organisasi (komunitas) yang saya diami.

“Sekarang usia kamu berapa,Yan?” Kata kawan saya saat di atas motor sambil memboncengi diri saya.

“Ya, mau jalan 28.”

“Terus udah ada jodohnya,” lanjut kawan saya itu.

“Jodoh sih banyak tapi belum berani nikah. Kan tahu sendiri saya aja baru dirumahkan dari pekerjaan jadi hal itu nanti aja deh. Lagi pula kalo nanti belum ketemu minta aja sama murrobi saya….”pancing saya.

“Lho, kok sama murrobi! Memangnya nyari sendiri belum ketemu-ketemu. Awas nanti ketuaan!”

Saya diam! Tapi diam untuk mencoba memikirkan perkataaannya.

“Iya, sih murrobi mak comblang (baca: perantara) juga yang cukup dipertanggungjawabkan. Ya, baik soal jodoh kita nanti. Apakah baik, shaleh maupun sesuai dengan keingginan kita. Dan juga serta-merta tidak asal memilih (menjodohkan) kita, kok. Tapi kalo nanti terjadi perselisihan (perceraian) apa kita perlu minta pertanggungjawabkan sama murrobi juga nggak kan? Nah juga tetap kudu berikhtiar kepada Yang di Atas. Itu nomor wahid jangan samapi nggak…!” lanjut kawan saya lagi memberitahukan saya.

“Nah, kalo begitu jodoh bukan ditangan murrobi dong!” kata saya singkat.

“…………………………”

Hening.

Tak ada jawab lagi.

Saya dan kawan saya hanya membisu. Hingga saya berpikir mungkin hanya angin yang menerpa ke wajah saya yang dapat menjawabnya dari semua pertanyaan-pertanyaan kawan saya itu disaat saya masih berada di perjalanan pulang dan di atas motor kawan saya. Melewati ruas-ruas jalan berbatuan serta ditemani awan yang saat itu mendung. Kalau begitu jodoh itu selain di tangan Murrobi juga ada di tangan Yang Maha Kuasa, bukan begitu? Itu harus!*.(fy)