Catatan ber-Islam di Jepang: Bersyukur Menjadi Muslimah

Setelah hampir tiga bulan menjalani hidup di Jepang, semakin lama aku semakin bersyukur atas nikmat Allah yang menjadikanku seorang Muslimah. Aku, yang sangat belum bisa lancar berbahasa Jepang, sangat bersyukur ketika beberapa kali aku berbelanja atau membeli makanan, tiba-tiba ada orang Jepang yang mengingatkanku kalau-kalau yang aku beli mengandung daging babi, mereka mengkhawatirkan apa yang aku beli, karena mereka tahu melalui jilbab yang kukenakan bahwa aku seorang muslimah.
Kemarin malam aku dan rekan-rekan berjalan-jalan menikmati Illumination di Shinjuku, Tokyo.

Setiap akhir tahun, di Jepang selalu ada Illumination, yaitu semacam dekorasi lampu-lampu kecil pada pohon-pohon dan gedung-gedung. Lampu-lampu tersebut didesain sedemikian rupa hingga mempesona orang-orang yang melihatnya.

Setelah puas menikmati menawannya pemandangan malam itu, kami pulang dan melewati para pemuda yang sedang bermabuk-mabukkan. Pada akhir pekan, banyak sekali orang-orang melepas stress dengan party dan beer. Sungguh, selama 20 tahun aku hidup, baru kala itu aku menyaksikan orang-orang mabuk di depan mata kepalaku.

Para pemuda itu mabuk sampai bergelimpangan di tanah, pria dan wanita, tak sadarkan diri terlentang di trotoar dengan sesekali cegukan dan muntah. Sangat menjijikkan! Aku takut dan selalu berjalan beriringan bersama teman-temanku. Dalam hati aku bersyukur menjadi seorang Muslimah, sehingga aku tak mengenal minuman-minuman maut seperti itu.

Tak hanya itu, kami pun melewai daerah lokalisasi perzinaan yang sangat ramai. Beberapa bangunan menawarkan “produk-produk”nya. Aku sungguh takut, ternyata kehidupan malam yang mengerikan seperti itu memang benar-benar ada. Memang benar kata temanku, Tokyo memang 4 kali (mungkin lebih) jauh lebih hedon dibandingkan Jakarta. Kemudahan dan kecanggihan teknologi Jepang tak hanya memajukan kualitas hidup manusianya, namun kebobrokan moral pun semakin meningkat.

Akhirnya jalan kaki kami terhenti di stasiun. Kami masuk kereta dan ada orang yang tiba-tiba bilang “Isuram.. Isuram..” , maksudnya “Islam..Islam..”, Orang Jepang tak bisa mengucapkan huruf L. Orang itu kemudian berguman panjang dengan bahasa Jepang yang tidak aku mengerti. Temanku bilang dia orang gila, ternyata dia bergumam sendiri.

Temanku bilang di Jepang memang banyak orang stress dan akhirnya menjadi gila. Bahkan ada yang bilang bahwa angka bunuh diri Jepang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ketika kita berada di Jepang, hampir pasti kereta api akan datang tepat waktu sesuai jadwal kereta, keterlambatan kereta hampir bisa dipastikan karena ada orang bunuh diri dengan melompat ke rel kereta. Sungguh mengerikan, bahkan ada jalur kereta cepat yang menjadi favorit sebagai tempat bunuh diri. Naudzubillah.

Selama perjalanan pulang di dalam kereta aku merenung, untuk kesekian kalinya aku bersyukur menjadi seorang muslimah. Bahkan Allah menyebut kami, orang-orang Islam ini, sebagai umat terbaik.

Tiba-tiba saja aku teringat ayahku di desa yang menjalani hidup dengan sederhana, tanpa teknologi yang canggih, namun tetap bersahaja menjalankan puasa senin kamis, mengaji, dan mencari nafkah yang halal. Ayah tak tahu banyak tentang internet dan teknologi sejenisnya, tapi ayah selalu mengajarkanku bahwa tujuan hidup manusia itu hanya keridhoan Allah saja. Segala hal yang kita lakukan adalah hal yang disukai Allah saja, jauhi yang terlarang, itu akan cukup membuat hati kita tenang dalam keadaan apapun.

Menjalani hidup di Jepang dan pelajaran dari Ayah semakin membuatku bersyukur (untuk kesekian kalinya) menjadi seorang Muslimah. Semakin bersyukur bahwa bukanlah kekayaan dan kesenangan sesaat yang pantas di kejar, namun keridhoan dan keberkahan Allah saja, itu akan cukup membuat hati kita tenang. Sungguh. Tidak akan ada stress karena seluruh kerja kita memang untuk beribadah dengan sepenuh hati untuk Allah.

Tidak akan ada rasa rugi atas setiap peluh keringat karena kita memang yakin bahwa balasan yang sesungguhnya akan diberikan Allah, bukan oleh selembar uang. Tidak aka nada niat bunuh diri, karena kita yakin bahwa hidup ini adalah amanah besar yang justru harus disyukuri. Sungguh menjadi seorang yang berserah diri pada Allah adalah orang yang sangat beruntung. Tak akan ada harga yang lebih mahal melebihi harga hidayah menjadi seorang Muslim.

Alhamdulillah aku bersyukur menjadi muslimah.
***
Fakhria Itmainati
http://fakhria.wordpress.com