SBY dan Neo-Liberal

Teka-teki hampir terpecahkan. Siapa yang dipilih Presiden SBY menjadi pendampingnya, sebagai cawapres pada pemilu Juli nanti. Dari berbagai media yang ada di Jakarta, dan mengutip pernyataan Ahmad Mubarok, salah seorang Ketua Partai Demokrat, kecenderungannya, Presiden SBY akan memilih calon cawapres, yang bukan dari partai poliltik. Nama yang sudah mengerucut, berdasarkan penuturan Ahmad Mubarak, tak lain, adalah Gubernur BI, Budiono.

Budiono adalah ekonom, yang sudah beberapa kali masuk pemerintahan, sejak zamannya Presiden Megawati menjadi Menkeu, dan di zamannya Presiden SBY menjadi Menko Ekuin, dan selanjutnya menjadi Gubernur BI, menggantikan Burhanuddin Abdullah, yang dipenjara akibat korupsi.

Budiono alumni Universitas Gajah Mada, orangnya ‘low profile’, tak banyak berbicara, tapi di zaman Mega dinilai ‘sukses’, menghadapi krisis ekonomi, kala itu. Sebuah Koran di AS, menjuluki Budiono, sebagai ‘the silent voice’, yang tidak banyak dipublikasikan, tapi berhasil menyelamatkan ekonomi Indonesia.

Asumsinya, jika SBY memilih kalangan professional, dan pilihannya adalah Budiono, hanya memperlihatkan konsistensi pengaruh kelompok Neo-Lib, di Indonesia semakin kuat. Bagaimana di zaman partai-partai politik ini, SBY memilih kalangan professional yang non ‘partisan’, kalau tidak memiliki dukungan politik yang kuat, sangatlah tidak masuk akal.

Memang, SBY sudah kedua kalinya menaiki kekuasaan, dan tidak mungkin ketiga kalinya, berdasarkan konstitusi yang ada, karena adanya pembatasan jabatan, yang dia bisa tidak ambil peduli dengan partai-partai politik. Pilihan terhadap Budiono, menandakan betapa kuatnya pengaruh dan dukungan kelompok yang dibelakangnya adalah kepentingan AS.

Prediksi masa depan pasca pemilihan presiden Juli nanti, kalau Presiden SBY terpilih kembali, jajaran kabinet yang menangani ekonomi, sudah dapat dibaca dari sekarang. Posisi yang menangani ekuin, yang sekarang ini tidak akan berubah.

Sri Mulyani akan menjadi Menko Ekuin, dan kemungkinannya yang menjadi Menkeu, Anggito Abimanyu. Anggito, sudah menjadi Kepala Kebijakan Fiskal Depkeu, sejak zamannya Presiden Habibi, dan yang menjadi Menkeu adalah Bambang Sudibyo. Kemudian, berlanjut jamannya Gus Dur,  Presiden Megawati, dan di zamannya Presiden SBY, yang Menko Ekuinnya Budiono, Anggito juga menjadi Kepala Kebijakan Fiskal, serta sampai Menkeunya Sri Mulyani.

Maka, lima tahun ke depan, pengaruh kelompok Neo-Lib, yang kebijakan ekonominya lebih pro-Bartat, di dalam kekuasaan Indonesia semakin kuat. Artinya, pengaruh Barat dan Lembaga Multilateral seperti IMF terhadap Indonesia akan mempunyai tempatnya. Pilihan kebijakan ekonominya yang lebih pro-pasar, atau  menganut sistem ekonomi pasar, dan yang lebih berorientasi pada kebijakan ekonomi makro.

Tentu, yang tak kalah pentingnya, penguasaan atas SDA (sumber daya alam) Indonesia, termasuk asset BMUN, yang masuk dalam daftar penjualan. Dan, apakah tokoh-tokoh yang dipilih akan menjadi solusi atas krisis yang sekarang dihadapi oleh Indonesia? Tidak pasti. Apalagi, krisis ekonomi global, belum menampakkan tanda-tanda akan berakhir.

Tapi, di jajaran orang yang ada di sekitar Presiden SBY, bukan hanya di sektor ekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap Presiden SBY, tapi juga ada yang disebut sebagai ‘American Boys’, cukup nampak. Seperti Andi Mallarangeng, Rizal Mallarangeng, Dino Patti Jalal, yang akan banyak mempengaruhi kebijakan politik dan luar negeri Indonesia.

Partai-partai politik yang sudah memberikan dukungan kepada Presiden SBY, melalui ‘koalisi’  hanyalah akan menjadi faktor ‘komplementer’ (pelengkap), dan tidak akan mempunyai arti apa-apa, dan atas dukungan yang mereka berikan, dan akan dibarter dengan ‘kursi’ (portofolio) di kabinet yang akan datang.

Mereka akan senang hati menjadi stempel ‘rubber stamp’ atas kebijakan-kebijakan pemerintah SBY yang lebih cenderung pro-Barat. Ini adalah kelanjutan yang panjang sejak zamannya Soeharto, yang pro-Barat, dan sekarang dilanjutkan oleh Presiden berikutnya, yaitu SBY. Wallahu ‘alam