Pada awal 1980-an, rezim Suharto menghendaki agar Pancasila dijadikan satu-satunya asas bagi seluruh partai politik dan organisasi kemasyarakatan yang ada di Indonesia. MPR akhirnya mengukuhkan Pancasila sebagai asas tunggal (astung) di Indonesia lewat Tap MPR No.11/1983 yang dituangkan dalam UU No.3/1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Penetapan Pancasila sebagai astung menuai badai kontroversi di tengah masyarakat, terutama bagi umat Islam karena hal tersebut telah nyata-nyata mengganggu akidah umat Islam. Walau ada elemen umat Islam yang mau tunduk pada keinginan rezim fasis ini, namun di berbagai tempat aksi unjuk rasa menentang ditetapkannya Pancasila sebagai astung meledak di mana-mana. Para ulama dan dai yang iman dan akidahnya masih lurus dan bersih, dengan tegas mengatakan jika astung bertentangan dengan akidah Islam, sebab itu wajib hukumnya menolak.
Apalagi langkah-langkah Jenderal Suharto ini lama-kelamaan mirip dengan apa yang dilakukan para pemimpin komunis di negaranya. Jika negara komunisme memiliki partai negara yang bertindak sebagai buldoser suara rakyat, maka Golongan Karya di masa Suharto pun demikian. Jika negara komunisme mengkultuskan pemimpinnya dan siapa pun yang berseberangan dengannya dihabisi, demikian pula dengan yang dilakukan Suharto.
Bukan itu saja, di mulut penguasa fasis ini, Indonesia katanya berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, namun kenyataannya rakyat kian banyak yang hidup melarat, umat Islam dipaksa ikut program KB, di bidang ekonomi pengusaha sipit diberi keistimewaan bahkan dengan mematikan pengusaha-pengusaha pribumi sekali pun, KKN di sekitar Suharto gila-gilaan, penembakan misterius yang direstui Suharto pun tengah meraja-lela, dan sebagainya. Apalagi saat itu Jenderal Leonardus Benny Moerdhani yang dikenal sebagai jenderal islamophobia sedang jadi anak emas Suharto, umat Islam terus-menerus ditindas.
Salah satu wilayah yang paling berani menyuarakan kebenaran, menentang sikap represif rezim ini adalah Tanjung Priok di Jakarta Utara. Para ulama dan dai setempat berkotbah dan menyerukan agar umat Islam agar berani untuk kembali ke akidah Islam yang sebenarnya, dan menentang thagut, dan melawan segala bentuk kesewenang-wenangan, seperti halnya Musa a.s. menentang dan melawan kediktatoran Firaun.
Dalam situasi panas seperti inilah, pada Senin, 10 September 1984, Sersan Hermanu yang non-Muslim, Babinsa setempat, tiba-tiba menyiram air got ke dinding Mushola Asy-Syahadah di Gang IV Priok. Hermanu juga masuk mushola tanpa melepas sepatu larsnya dan meninginjak-injak semua yang ada termsuk menginjak-injak Al-Qur’an. Di saat Suharto berkuasa, menginjak-injak Al-Qur’an, bahkan membakarnya sekali pun, adalah hal yang biasa.
Atas kelakuan Hermanu, warga marah. Diseretlah motornya dan dibakar. Babinsa itu kabur. Tak lama kemudian, empat pengurus mushola diciduk aparat. Saat itu tersiar kabar jika penembak misteriusnya Benny Moerdhany akan menghabisi para mubaligh. Ini kian memanaskan situasi.
Ba’da Maghrib, Rabu, 12 September 1984, usai hujan, digelar tabligh akbar di Jalan Sindang guna menuntut Kodim membebaskan empat pengurus mushola yang ditahan. Amir Biki berpesan pada Yayan Hendrayana, salah seorang mubaligh, “Jangan takut-takut ngomong.” Akhirnya Yayan yang mendapat kesempatan keempat berteriak lantang, “Man Anshoru ilallah!?” Siapa yang sanggup membela agama Allah!? Dijawab para jamaah, “Nahnu anshorullah!” Kami sanggup!
Jamaah berjubel malam itu memenuhi lorong-lorong dan jalan di Priok. Tak kurang dari delapan puluh buah speaker dipasang. Puluhan ribu warga Priok memadati jalan. Banyak di antaranya ibu-ibu dan gadis-gadis berjilbab, sesuatu pemandangan yang masih asing di tahun itu. Entah mengapa, malam itu Yayan Hendrayana memiliki firasat jika nanti sesuatu akan terjadi. Sebab itu dia memerintahkan agar para perempuan dan anak-anak segera menyisih dari jamaah dan segera masuk rumah terdekat jika terjadi apa-apa.
“…Sebab nanti tentaranya Benny akan membantai saudara-saudara sekalian!” ujar Yayan saat bercerita pada penulis di tahun 1998. “Padahal saya tidak tahu bila nanti benar-benar terjadi pembantaian. Saya ngomong begitu saja,” tambahnya.
Usai Yayan, Syarifin Maloko naik podium. Lalu Amir Biki. Tokoh Priok ini berkata lantang, “Saudara-saudara, para ikhwan hamba Allah. Ternyata hingga kini tidak ada jawaban dari Kodim. Ini berarti kita harus konsekuen dengan janji kita. Kepada saudara-saudara, saya titip keluarga saya. Andai saya terbunuh malam ini, tolong mayat saya diarak le seluruh Jakarta!
Jarum jam sudah menunjuk angka sebelas. Puluhan ribu jamaah Priok segera bergerak mendekati Kodim agar mau memberikan jawaban. Namun tiba-tiba, terdengar rentetan tembakan. Jamaah yang berada di barisan depan bertumbangan di aspal. Genangan air hujan yang masih tersisa di aspal seketika berubah warna menjadi merah. Situasi kacau. Tentara masih melepaskan rentetan tembakan dengan laras senjata lurus menghadap jamaah. Ratusan jamaah Priok meregang nyawa. Setelah jalanan sepi, ratusan mayat yang bergelimpangan di jalan segera diangkut truk tentara, entah dibawa kemana. Mobil pemadam kebakaran mondar-mandir menyemprotkan air ke aspal untuk menghilangkan genangan darah yang ada di sana-sini. Aparat berjaga di semua tempat strategis dengan senjata siap tembak.
Pembantaian ratusan jamaah pengajian Priok oleh tentaranya rezim Suharto ini menimbulkan kemarahan umat Islam di Indonesia. Untuk meredakannya, Benny Moerdhani menggandeng Abdurrahman Wahid keliling pesantren di Jawa. Sedang Pangdam Jaya Try Sutrisno mengamankan ibukota dari ekses tragedi besar tersebut. Tidak ada media massa yang berani memuat tragedi tersebut dengan sebenarnya.
Sejumlah tokoh Priok yang berhasil lolos dikejar dan ditangkap. Para ustadz dan aktivis Islam memenuhi penjara. Siksaan bathin dan fisik mereka alami. Ba’da Priok, aktivitas dakwah Islam benar-benar ditindas. Sedang pemurtadan meraja-lela. Inilah salah satu bentuk kekejaman rezim Suharto terhadap dakwah Islam. Sampai detik ini penegakan hukum atas Tragedi Priok masih belum tuntas. Misteri gelap masih menyelubunginya.(bersambung/rd)