Catatan atas kejahatan HAM rezim Suharto akan dimulai dari wilayah paling timur negeri ini, yakni Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kejahatan HAM atas Muslim Aceh diawali oleh VOC Belanda, diteruskan oleh rezim Orde Lama Soekarno, dan ditindas lebih kejam lagi di masa kekuasaan Suharto. Bahkan di zaman Jenderal Suharto-lah, NAD yang sangat berjasa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI—terutama dari segi finansial, sebab itu NAD juga disebut sebagai ‘Lumbung Uang RI’—malah dijadikan lapangan tembak dengan nama Daerah Operasi Militer (DOM), 1989-1998.
NAD merupakan daerah yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, yakni minyak dan gas bumi. Sampai dengan akhir dasawarsa 1980-an, Aceh telah menyumbang lebih dari 30% total produksi ekspor migas Indonesia. Pada 1971 di Aceh Utara ditemukan cadangan gas alam cair (LNG) yang sangat besar. Mobil Oil, perusahaan tambang AS, diberi hak untuk mengekploitasinya dan dalam enam tahun kemudian kompleks penyulingan KNG sudah beroperasi di dalam areal yang dinamakan Zona Industri Lhokseumauwe (ZIL). Di tempat yang sama, berabad lalu, di sinilah Kerajaan Islam pertama Samudera Pase berdiri, dan kini oleh Suharto diserahkan kekayaan alam negeri ini yang sungguh besar kepada AS.
Sebelumnya, di Aceh Timur, dalam waktu 30 tahun sejak 1961, Asamera, suatu perusahaan minyak Kanada, telah menggali tak kurang dari 450 sumur minyak. Sumber gas alam yang ditemukan di sekitar sumur-sumur itu lebih kaya dari persediaan gas alam di Aceh Utara. Produksi Pabrik Pupuk ASEAN di Aceh hampir 90 persen diekspor, dan dari kompleks petrokimia diharapkan penjualan kimia aromatik sebesar US$200 juta setahun. Pabrik Kertas Kraft Aceh juga sudah mulai memproduksi kertas karung semen sejak 1989. Dari penghematan impor pembungkus semen saja pemerintah sudah memperoleh laba US$89 juta setahun, sedang ekspor kertas semen menghasilkan US$43 juta. Pada 1983 Aceh menyumbang 11 persen dari seluruh ekspor Indonesia.
Suharto sangat tahu jika kekayaan alam Aceh sungguh luar biasa. Sebab itu, dengan amat rakus rezim Orde Baru terus-menerus menguras kekayaan alam ini. Ironisnya, nyaris semua keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan alam Aceh ini dibawa kabur ke Jakarta. Rakyat Aceh tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan dan kemelaratan. Pemerintah Jakarta bukannya mengembalikan uang Aceh ke rakyat Aceh sebagai pemilik yang sah, tapi malah mengirim ribuan tentara untuk memerangi rakyat Aceh yang sudah tidak berdaya.
Dalam dasawarsa 1990-an, dari 27 provinsi di Indonesia, Aceh menempati posisi provinsi ke-7 termiskin di seluruh Indonesia. Lebih dari 40 persen dari 5.643 desa di Aceh telah jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hanya 10 persen pedesaan Aceh menikmati aliran listrik. Di kawasan ZIL hanya 20% penduduk yang mendapat saluran air bersih. Yang lain mendapat pasok air dari sumur galian yang sering tercemar oleh limbah zona industri.
Peneliti AS, Tim Kell, dalam laporannya menulis, “Friksi dan perbenturan nilai pun terjadi antara penduduk asli dan pendatang. Para migran menenggak bir, berdansa-dansi, melambungkan harga-harga di pasar. Mereka hidup mewah di kolam kemiskinan rakyat Aceh. Limbah industri mencemari tanah dan masuk ke sumur-sumur penduduk asli. Polusi meluas ke laut, merusak lahan nelayan. Pengangguran meningkat. Pemiskinan berlanjut. Industrialisasi gagal merombak struktur perekonomian rakyat Aceh secara fundamental, karena ia memang tak pernah menjadi bagian dari perekonomian asli rakyat Aceh”. Inilah salah satu “hasil” pembangunan rezim Suharto di Aceh.
Secara obyektif Tim Kell melanjutkan, “Pada tahun-tahun 1940-an para ulama PUSA sudah kecewa atas tak diterapkannya hukum Islam di seluruh Indonesia. Pada 1950, status Aceh sebagai provinsi dicabut dan dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Pemerintahan sipil, pertahanan, dan perekonomian, diambil dari ruang lingkup pengaruh PUSA. Kekecewaan atas perlakuan semacam ini, dan kecemasan akan kehilangan identitasnya, mengantar Aceh ke pemberontakan 1953 di bawah pimpinan Daud Beureueh.”
Di bawah rezim Suharto, jenderal ini membawa ideologi pembangunan dan stabilitas politik, dan dengan kacamata kuda yang “sentralistik-Majapahit”, Suharto mengangap sama semua orang, semua daerah, semua suku, semua organisasi, termasuk Aceh. Suharto menganggap semuanya itu sama saja dengan “Majapahit”. Status "istimewa" sebagai negeri Islam Aceh pun dihabisi. Otonomi Aceh di bidang agama, pendidikan, dan hukum adat, sebagaimana tercantum dalam UU No.5/1974 tentang Dasar-Dasar Pemerintahan Daerah, pada kenyataannya keistimewaan Provinsi Aceh hanyalah di atas kertas. Gubernur dipilih hanya dengan persetujuan Suharto, Bupati hanya bisa menjabat dengan restu Golkar. Pelecehan Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan dianggap tak cukup terhormat untuk menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah Militer dipindahkan ke Medan.
Pada 1990, Gubernur Ibrahim Hasan yang notabene direstui Suharto mewajibkan semua murid sekolah dasar Islam untuk mampu membaca Al-Qur’an. Peraturan ini dikecam oleh para pejabat di Jakarta. Bahkan Depdikbud mengirim tim untuk menyelidiki "penyelewengan" ini. Beberapa bulan kemudian pejabat Dikbud kabupaten melonggarkan peraturan yang melarang murid perempuan memakai jilbab ke sekolah. Kepada murid yang ingin berjilbab diizinkan untuk menyimpang dari peraturan tersebut. Pemerintah Jakarta bereaksi keras atas pelonggaran ini. Peraturan nasional harus dipatuhi secara nasional, tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh rezim Suharto di Aceh.
Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel telah menulis bahwa orang akan berontak jika way of life-nya terancam oleh perkembangan baru. Orang Aceh telah kehilangan sumber alamnya, mata pencariannya, gaya hidupnya. Orang Aceh kehilangan suaminya, anak-anaknya, kehilangan harapannya, kehilangan segalanya . . . Lalu masih adakah orang yang sangat-sangat bebal yang masih saja bertanya, “Mengapa rakyat Aceh berontak?” Rakyat Aceh jelas telah dijadikan tumbal bagi rezim Orde Baru. Telah diperkosa habis-habisan oleh Jakarta. Siapa pun yang punya hati nurani jelas akan mendukung sikap rakyat Aceh yang menarik kembali kesediaannya bergabung dengan Republik Indonesia jika hal seperti ini terus dibiarkan. Kesabaran itu ada batasnya! (bersambung/rd)