Lutfi as-Syaukani Menolak Islam dan Nabi Muhammad

Lutfi Asy-Syaukani, foto: internet

Hari Rabu (17/2) ruang sidang MK dikejutkan dengan pernyataan saksi ahli yang dihadirkan oleh pemohon uji materi UU 1/PNPS/1965, Lutfi as-Syaukani yang menyatakan, bahwa kesalahan Lia Eden, sama dengan kesalahan Nabi Muhammad saat awal kemunculan Islam (detik.com, 17/2/2010).

Pernyataan ini, sebenarnya tidak mengejutkan, jika kita membaca naskah permohonan uji materi UU 1/PNPS/1965 yang diajukan oleh tim advokasi kebebasan beragama, selaku pemohon, sebagai berikut:

“Jika logika penyimpangan agama ini terus dilanjutkan, maka sesungguhnya masing-masing agama merupakan penyimpangan terhadap yang lainnya. Kristen tentu menyimpang dari Yahudi dalam banyak kasus, misalnya bolehnya memakan daging babi atau tidak khitanan dalam Kristen, sementara Yahudi melarang memakan babi dan mengharuskan khitanan. Islam pasti dalam penyimpangan nyata dari agama Kristen yang menganggap Yesus sebagai Tuhan, sementara Islam hanya menganggap Yesus sebagai Nabi. Jika ditunjuk ke dalam sejarah, maka semua agama sebetulnya muncul sebagai bentuk penyimpangan terhadap doktrin-doktrin agama tradisional sebelumnya.” (hal. 21)

Bagi Lutfi, dkk tentu Islam dianggap sebagai agama sempalan dari Kristen dan Yahudi. Karena Nabi Muhammad SAW. yang membawa Islam, maka dengan demikian beliau SAW. pun dianggap sebagai orang yang melakukan penyimpangan. Nah, pada titik ini, beliau SAW. dianggap sama statusnya dengan Lia Eden, yang melakukan penyimpangan terhadap ajaran Islam.

Kesimpulan seperti ini bukan saja ngawur, tetapi menunjukkan kebodohan Lutfi, dkk yang luar biasa. Kalau kita telusuri, kesimpulan ini salah sejak presmis pertama, yang dibangun berdasarkan asumsi yang salah, yang menyatakan bahwa Islam adalah agama sempalan dari Kristen dan Yahudi. Pertanyaan sederhananya, apa buktinya bahwa Islam merupakan sempalan dari Kristen dan Yahudi? Jelas tidak ada. Kalaulah pada bagian tertentu ada persamaan, tetapi Islam tetaplah Islam; Kristen tetap Kristen dan Yahudi juga tetap Yahudi. Menyamakan ketiganya, karena sama-sama agama samawi juga tidak tepat. Karena secara faktual, ketiganya juga berbeda.

Selain itu, baik Kristen maupun Yahudi, sebagaimana sabda Nabi, diturunkan untuk kaum tertentu, bukan untuk seluruh umat manusia. Ini jelas berbeda dengan Islam, yang merupakan risalah universal. Karena itu, masing-masing mempunyai syariah yang berbeda satu sama lain. Satu-satunya persamaan di antara ketiganya, sebelum Yahudi dan Kristen diselewengkan, adalah pada doktrin monoteistiknya, dimana baik Islam, Kristen dan Yahudi, pada awalnya hanya mengakui bahwa hanya ada satu tuhan yang berhak disembah, yaitu Allah SWT. Inilah yang ditegaskan oleh al-Qur’an:

Katakanlah: “Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. (Q.s. Ali ‘Imran [03]: 64)

Melalui ayat ini, bisa dibuktikan, bahwa sesungguhnya Kristen dan Yahudi memang telah diselewengkan. Penyelewengan yang paling fatal adalah pada doktrin monoteistiknya, karena itu terhadap mereka al-Qur’an menyatakan Kafir: Pertama, terhadap orang Kristen yang dengan tegas menyatakan Nabi Isa –’alaihissalam—adalah Allah (Q.s. 5: 17); dan mereka yang menyatakan Allah adalah tiga dalam satu (trinitas) (Q.s. 5: 73). Juga menyatakan Kafir terhadap orang Yahudi yang menyatakan Uzair adalah anak Allah (Q.s. 9: 30). Dengan demikian, Yahudi dan Kristen jelas sama-sama telah diselewengkan.

Justru dalam konteks seperti inilah, Islam diturunkan oleh Allah kepada umat manusia, termasuk di dalamnya orang Kristen dan Yahudi. Di situlah, esensi seruan Allah dalam surat Ali ‘Imran: 64 di atas, yaitu seruan untuk mengajak mereka kembali ke pangkal jalan, dengan hanya menyembah kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, termasuk tidak menjadikan rahib dan pendeta sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Seruan ini dipertegas di dalam nas al-Qur’an yang lain:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka.” (Q.s. al-Baqarah [02]: 62)

Dengan tegas nas ini menyatakan, bahwa orang Mukmin (Islam), Yahudi, Kristen dan Shabiah, jika mereka beriman kepada Allah, Hari Kiamat dan beramal shaleh, yaitu dengan melaksanakan syariat Islam, atau dengan kata lain menjadi pemeluk Islam, maka mereka berhak mendapatkan pahala di sisi tuhan mereka. Dengan demikian, Islam adalah agama yang berbeda, bukan sempalan Kristen atau Yahudi, yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad untuk seluruh umat manusia. Islam diturunkan justru untuk meluruskan penyimpangan yang dilakukan oleh para penganut Kristen dan Yahudi. Bukan dibalik, bahwa Nabi Muhammad dengan Islamnyalah yang menyimpang dari agama sebelumnya, yaitu Kristen dan Yahudi. Karena itu, tuduhan ini hanyalah ilusi Lutfi, dkk. Tuduhan ini juga tidak bisa dibuktikan, baik secara historis, normatif maupun empiris.

Lalu, dari mana logikanya Nabi Muhammad dengan Islam disamakan dengan Lia Eden dengan ajaran Salamullah-nya?

Pertama, Lia Eden, awalnya pemeluk Islam, kemudian menodai ajaran Islam, dengan sekte Salamullah-nya. Sementara Nabi Muhammad, sebelumnya bukan pemeluk Kristen atau Yahudi; beliau juga bukan membuat sekte baru, tetapi mendapatkan risalah baru, yang berbeda sama sekali dengan Kristen dan Yahudi, sebelumnya. Karena itu, beliau diyakini oleh umat Islam sebagai Nabi dan Rasul.

Kedua, Lia Eden, dengan sekte dan ajaran Salamullah-nya jelas untuk merusak Islam, bukan meluruskan Islam yang telah diselewengkan. Sementara Nabi Muhammad, dengan risalah Islam-nya diutus, di antaranya, untuk meluruskan penyelewengan yang dilakukan oleh kaum Kristen dan Yahudi. Bukan sebaliknya. Karena itu, pandangan Lutfi, dkk ini justru menunjukkan, bahwa mereka tidak meyakini Islam dan risalah Nabi Muhammad. Wallahu a’lam. (KH Hafidz Abdurrahman)