Teks Khutbah Idul Adha 1430 H Hizbut Tahrir Indonesia

Khutbah Idul Adha 1430 H: Tunduk dan Berkorban Demi Tegaknya Syariah dan Khilafah

الله أكبر ×٩ ولله الحمد.

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللَّهُمَّ صَلَِّ عَلَى حَبِيْبِنَا الْمُصْطَفَى وَعَلىَ آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَتِهِ إِلىَ يَوْمِ الْقِيَامَةْ. قَالَ تَعاَلَى فِي كِتَابِهِ، وَهُوَ أَصْدَقُ الْقَائِلِيْنَ:( إِنّا أَعطَينٰكَ الكَوثَرَ ﴿١﴾ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانحَر ﴿٢﴾ إِنَّ شانِئَكَ هُوَ الأَبتَرُ ﴿٣﴾ ). فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,

Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumul-Lâh

Hari ini kaum Muslimin di seluruh dunia kembali merayakan hari raya Idul Adha. Di hari yang agung ini, kaum Muslimin menggemakan takbîr, tahmîd, tashbîh, dan tahlîl; berbondong-bondong menunaikan shalat Id dan mendengarkan khutbah, kemudian diteruskan dengan penyembelihan dan pembagian hewan kurban. Selama hari tasyriq, alunan kalimat thayyibah itu pun masih akan terus terdengar. Pada saat yang sama di tanah Haram, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul memenuhi panggilan Allah, bersama-sama menunaikan ibadah haji dengan segala rangkaian manasiknya. Mereka berbaur menjadi satu tanpa dibatasi sekat kebangsaan, warna kulit dan aliran.

Realitas ini menunjukkan bahwa sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu.

Umat yang diikat dengan akidah yang sama, akidah Islam; dan diatur dengan hukum yang sama, yaitu hukum Islam; memiliki kitab yang sama, al-Quran; dan menghadap kiblat yang sama; Baitullah al-Haram.

Namun sayangnya, persatuan itu hanya sesaat dan terbatas dalam perkara ibadah ritual. Di luar itu, kondisi mereka amat memprihatinkan. Pertikaian, konflik, hingga pertumpahan darah sesama umat Islam masih menjadi problem serius yang belum teratasi.

Ukhuwah Islamiyyah yang diperintahkan masih sebatas seruan dan persatuan baru menjadi dambaan. Mengapa ini bisa terjadi?

Jawabnya: Karena umat Islam saat ini tidak lagi hidup dalam satu kepemimpinan dan satu institusi negara. Padahal, selain dipersatukan oleh akidah, hukum, rasul, kitab, dan kiblat yang sama, umat Islam juga diwajibkan agar hidup dalam satu kepemimpinan dan satu institusi negara. Itulah khalifah, yang memerintah dengan syariah dalam satu wadah daulah Khilafah.

Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumul-Lâh

Sesungguhnya masalah kesatuan umat dalam kepemimpinan dan institusi negara ini merupakan masalah yang amat penting. Sedemikian pentingnya hingga perkara tersebut ditetapkan sebagai salah satu al-qadhiyyah al-mashîriyyah (perkara utama) umat ini.

Yakni, perkara yang mempertaruhkan hidup dan mati. Siapa pun yang berani memecah belah kesatuan umat dalam kepemimpinan ini harus ditindak tegas. Rasulullah saw bersabda:

مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ

Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian —sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang (khalifah)— kemudian dia hendak memecah-belah kesatuan dan jama’ah kalian, maka bunuhlah dia (HR Muslim)

Hadits ini amat jelas menunjukkan wajibnya umat Islam berada dalam satu kepemimpinan. Ketika mereka berada dalam satu jama’ah, di bawah kepemimpinan seorang khalifah, lalu ada orang lain yang datang ingin memecah persatuan dan jama’ah mereka, maka wajib dijatuhkan sanksi tegas: hukuman mati.

Kita semua telah menyaksikan betapa sengsaranya umat Islam ketika tidak hidup dalam satu kepemimpinan khilafah. Setelah tiga belas abad hidup dalam satu institusi daulah, kini kaum Muslim terpecah-belah dalam puluhan negara kecil. Umat yang dulu disegani ini pun berubah menjadi umat yang lemah. Keadaan ini diperparah oleh sikap rezim di negeri-negeri Islam yang tidak peduli terhadap Islam dan umatnya.

Akibatnya, meskipun kaum kafir telah nyata-nyata menampakan permusuhan terhadap kaum Muslim, menumpahkan darah, menguras harta kekayaan, dan menginjak-injak kehormatan mereka, para penguasa itu hanya diam. Bahkan ketika Rasulullah saw dilecehkan dalam gambar-gambar kartun, al-Quran dihinakan dan mushafnya dimasukkan ke dalam WC di penjara Guantanamo, Islam dicerca sebagai agama teroris, dan Masjid al-Aqsha dikangkangi, dibakar, dan hendak dirobohkan oleh kaum kafir Yahudi, para penguasa itu pun tidak merasa terusik. Kondisi umat Islam benar-benar laksana buih yang diombang-ambing oleh gelombang. Sungguh amat menyedihkan!

Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,

Setiap hari raya Idul Adha, kita selalu diingatkan kisah tentang ketundukan, ketaatan, dan pengorbanan Nabi Ibrahim as dan putranya dalam menjalankan perintah Allah Swt. Ketika Nabi Ibrahim as diperintahkan untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail as, keduanya segera bergegas melaksanakan perintah Allah. Tak tampak sama sekali keraguan, keengganan, apalagi penolakan. Keduanya dengan ikhlas menunaikan perintah Allah Swt, meski harus mengorbankan sesuatu yang paling berharga dan dicintai. Ibrahim rela kehilangan putranya, dan Ismail pun tak keberatan kehilangan nyawanya.

Ketundukan dan pengorbanan sesungguhnya telah menjadi tabiat para kekasih Allah (khalilu-Llah). Dalam menyebarkan risalahnya, Qudwatunâ wa uswatunâ Rasulullah saw telah mempertaruhkan semua yang dimilikinya. Meskipun mendapatkan berbagai penentangan dan perlawanan, sama sekali tidak membuat beliau mundur. Bahkan beliau bersumpah tidak akan berhenti berjuang hingga Islam dimenangkan atau beliau binasa karenanya.

Ketundukan dan pengorbanan juga ditunjukkan oleh para sahabat. Lihatlah, peristiwa heroik yang ditunjukkan oleh generasi awal umat terbaik ini. Antara lain Muhaishah, sahabat Rasulullah saw yang mengikuti perintah baginda untuk membunuh seorang Yahudi dalam sebuah peperangan. Yahudi yang dibunuhnya itu tak lain adalah pedagang yang biasa memberi pakaian kepadanya. Kakak Muhaishah, yang belum memeluk Islam, yaitu Huwaishah marah kepada Muhaishah, adiknya, seraya memukul dan menghardiknya,

“Apakah kamu membunuhnya? Demi Allah, makanan di dalam perutmu itu berasal dari hartanya.”

Muhaishah pun menjawab, “Demi Allah, sekiranya orang yang memerintahkan aku untuk membunuhnya, memerintahkan aku untuk membunuhmu, pasti aku akan penggal lehermu.” Huwaishah bertanya lagi dengan nada heran, “Demi Allah, kalau Muhammad memerintahkan kamu membunuhku, kamu akan membunuhku?” Muhaishah menjawab dengan tegas, “Benar.” Padahal, kita adalah kakak-beradik. Allahu Akbar. Inilah manifestasi ketaatan generasi emas para sahabat Rasulullah saw.

Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumul-Lâh

Bercermin pada ketundukan mereka, kita pun patut bertanya kepada diri kita: Sudahkah kita memiliki ketaatan total kepada Allah dan Rasul-Nya? Tunduk dan patuh pada setiap perintah dan larangan-Nya? Atau sebaliknya, kita hanya mau tunduk kepada sebagian, namun menolak sebagian yang lain?

Ketika diperintahkan shalat, puasa, atau haji, barangkali kita segera bergegas mengerjakannya. Ketika dilarang berzina, mencuri, atau memakan babi, kita pun tak keberatan meninggalkannya. Semua ketetuan itu kita terima, tanpa sedikit pun mempersoalkan mengapa semua itu diwajibkan atau diharamkan. Akan tetapi, ketika diperintahkan Allah Swt untuk menerapkan syariah-Nya dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, dan pidana mengapa di antara kita masih ada yang mempertanyakan, merasa keberatan, bahkan menyatakan penolakannya? Mengapa itu bisa terjadi? Bukankah akidah yang kita yakini menuntut kita untuk memiliki ketundukan dan ketaatan total kepada seluruh syariah-Nya?

Apakah kita tidak tahu bahwa beriman kepada sebagian dan ingkar sebagian lainnya dapat mengantarkan pelakunya kepada kekufuran, mendapatkan kehinaan di dunia, siksa yang pedih di akhirat? (lihat QS al-Baqarah [2]: 85, al-Nisa [4]: 150-151) .

Apakah kita juga tidak sadar dengan kalimat tawhîd — lâ ilâha illal-Lâh — yang kita ucapkan berulang-ulang itu? Ketahuilah, bahwa kalimat tawhîd itu bukan hanya berisi pengakuan tentang keesaan Allah Swt semata. Namun di dalamnya terkandung ikrar bahwa Allah Swt adalah satu-satunya Ilâh yang haq. Dialah satu-satunya Dzat yang berhak dan wajib disembah, diibadahi, dan ditaati. Konsekuensinya, kita harus tunduk dan patuh terhadap seluruh hukum-Nya. Ucapan yang keluar dari seorang Mukmin dalam merespon semua seruan-Nya hanyalah sami’nâ wa atha’nâ. Allah Swt berfirman:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS al-Nur [24]: 51).

Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,

Kita juga patut bertanya: sejauh manakah pengorbanan kita dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Swt? Sudahkah kita sanggup merelakan harta, jabatan, keluarga, bahkan jiwa dan raga kita demi menegakkan agama-Nya? Atau justru sebaliknya, kita masih merasa berat dan enggan melakukannya. Jangankan nyawa, berkorban dengan sedikit tenaga, pikiran, harta, dan waktu saja, kadang masih terasa sulit. Mengapa ini bisa terjadi? Bukankah kita dituntut untuk meletakkan kecintaatan kepada Allah Swt, Rasul, dan jihad di jalan-Nya melebihi segalanya (lihat QS al-Taubah [9]: 24).

Di antara kiat memupuk jiwa mudah berkorban adalah dengan memperkokoh keimanan kepada akhirat. Bahwa besarnya pengorbanan yang kita berikan di dunia, jauh lebih kecil dibandingkan dengan balasan yang bakal kita terima: surga beserta ragam kenikmatan di dalamnya. Sebaliknya, kesenangan mengabaikan perintah Allah Swt dan rasul-Nya hanya akan menjerumuskan pelakunya kepada siksa neraka yang amat dahsyat.

Keyakinan inilah yang mampu menjadikan kaum Muhajirin terasa ringan melangkahkan kaki meninggalkan harta dan keluarga untuk berhijrah ke Madinah. Keyakinan ini pula yang membuat kaum Anshar bersedia menyerahkan kekuasaannya kepada Rasululalh saw dan menerima saudaranya dari kalangan Muhajirin dengan rasa cinta. Juga karena keyakinan ini, kaum Muslim bersemangat melakukan futûhât sehingga wilayah kekuasaan Islam terbentang luas dalam waktu yang amat cepat.

Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumul-Lâh

Telah 88 tahun umat Islam hidup tanpa Khilafah. Padahal, umat Islam hanya diberikan masa tenggang selama tiga hari hidup tanpa khalifah. Ini berarti, kewajiban mengangkat khalifah telah jauh melampaui batas waktu yang diperbolehkan. Keadaan ini harus melecut semangat kita untuk berjuang menegakkannya.

Maka, inilah saatnya kita berkorban. Tampil ke depan membawa panji-panji Islam. Berjuang dengan segenap daya dan kemampuan menyongsong kemenangan yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Hari ini kita diperintahkan berkurban, semestinya menjadi ibrah, dalam memberikan pengorbanan kita yang lain. Tidak hanya berhenti pada penyembelihan kambing, sapi, atau unta. Namun pengorbanan harta, waktu, jiwa dan raga kita demi tegaknya agama Allah di muka bumi.

Sekaranglah saat yang tepat bagi kita untuk membuktikan ketundukan dan pengorbanan kita dalam berjuang menegakkan agama-Nya.

Janganlah sia-siakan kempatan emas ini. Karena Allah Swt melebihkan derajat orang yang berjuang sebelum tegaknya daulah khilafah. Allah Swt berfirman:

لاَ يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى

Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik (QS al-Hadid [57]: 10).

Akhirnya, marilah kita berdoa semoga Allah Swt memberi kita kesabaran, kekuatan, dan kekompakan, serta memungkinkan kita berperan penting dalam upaya menegakkan dan memperjuangkan negara Khilafah.

اللَّهُمَّ يَا شَاهِدَ كُلِّ نَجْوَى، وَمَوْضِعَ كُلِّ شَكْوَى، وَعَالِمَ كُلِّ خَفِيَّةِ، وَمُنْتَهَى كُلِّ حَاجَةٍ. اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى أَخْشَاكَ كَأَنِّي أَرَاكَ، وَأَسْعِدْنِي بِتَقْوَاكَ، وَلاَتَشْقِنِي بِمَعْصِيَتِكَ، وَخِرْ لِي فِي قَضَائِكَ، وَبَارِكْ لِي فِي قَدَرِكَ حَتىَّ لاَ أُحِبَّ مَا أَخَّرْتَ وَلاَ تَأْخِيْرَ مَا عَجَّلْتَ، اللَّهُمَّ مَا أَخَافُ فَاكْفِنِيْ، وَماَ أَحْذَرُ فَقِنِيْ، وَفِي نَفْسِيْ وَدِيْنِيْ فَاحْرُسْنِيْ، وَفِي رِزْقِيْ فَبَارِكْ لِي، وَفِي أَعْيُنِ النَّاسِ فَعَظِّمْنِيْ، وَمِنْ شَرِّ الْجِنِّ وَالإِنْسِ فَسَلِّمْنِيْ، وَبِعَمَلِيْ فَلاَ تَبْتَلِنِيْ، وَبِنِعَمِكَ فَلاَ تَسْلُبْنِيْ، وَإِلَى غَيْرِكَ فَلاَ تَكِلْنِي، إِلَهِي إِلَى مَنْ تَكِلُنِي، إِلَى قَرِيْبٍ فَيَقْطَعُنِيْ، أَمْ إِلَى بَعِيْدٍ فَيَتَجَهَّمُنِيْ، أَمْ إِلَى الُمْسَتْضَعَفِيْنَ لِيْ وَأَنْتَ رَبِّي وَمَلِيْكُ أَمْرِيْ.. اللَّهُمَّ هَذَا حَالُنَا، وَهَذَا ضَعْفُنَا لاَيَخْفَى عَلَيْكَ ظَاهِرٌ بَيْنَ يَدَيْكَ، اللَّهُمَّ عَجِّلْ نُصْرَتَكَ بِقِيَامِ دَوْلَةِ الْخِلاَفَةِ الرَّاشِدَةِ التي تُطَبِّقُ أَحْكَامَكَ، وَتَحْرُسُ دِيْنَكَ وَأُمَّةَ نَبِيِّكَ، وَتَوَحَّدَتْ بِهَا كَأُمَّةٍ وَاحِدَةٍ، وَأَعَادَ الله بِهَا مَجْدَهَا، وَأَذَلَّ بِهَا الْكُفْرَ وَطُغْيَانَه. اللَّهُمَّ أَعِدْنَا فِي عِيْدِنَا الْقَادِمِ وَالْخِلاَفَةُ قَائِمَة بِإِذْنِكَ، فِي عَصْرِنَا هَذَا وَبِأَيْدِيْنَا..

وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وبارك وسلم..