Presiden IASA, Mukhamad Najib, tengah memberi sambutan
Tokyo, 24/12/2010
Di tengah usaha pemerintah melakukan impor beras untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan stock beras nasional, Prof. Hiroyoshi Kano, pakar ekonomi dari The University of Tokyo malah mengatakan tidak mengerti dengan kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah Indonesia.
Professor Hiroyoshi Kano (kanan) bersama Subejo (Dosen Universitas Gadjah Mada)
Kano yang telah lebih dari 30 tahun melakukan penelitian di Indonesia ini, mengatakan bahwa produksi padi Indonesia sejak tahun 1968 sampai tahun 2008 menunjukkan trend yang terus meningkat, dan secara agregat seharusnya mampu memenuhi kebutuhan beras rakyat Indonesia.
Suasana Seminar Akhir Tahun
“Saat ke Vietnam beberapa tahun lalu, saat itu Indonesia tengah impor beras dari Vietnem, saya berdiskusi dengan pakar ekonomi pertanian disana, mereka juga mengatakan keheranannya mengapa Indonesia harus impor beras dari Vietnam, padahal kapasitas produksi Indonesia memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri”, demikian ungkap Prof. Hiroyoshi Kano dalam acara Seminar Akhir Tahun yang diadakan Indonesian Agricultural Sciences Association (IASA) di Auditorium ANEX 1, The University of Tokyo, Jepang pada Jum`at, 24/12/2010, pukul 18.00-21.00 waktu Tokyo. Acara yang bertema “Pertanian Indonesia dalam Pusaran Zaman” dihadiri oleh lebih dari 60 orang mahasiswa dan peneliti Indonesia yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Tokyo.
Berturut-turut dari kiri ke kanan: M. Abbas Ridwan (Atase Ekonomi, KBRI Jepang), Arman Widjanarko (Atase Pertanian, KBRI Jepang)
Sementara Presiden IASA, Mukhamad Najib, dalam sambutannya mengatakan bahwa ketahanan pangan yang berkelanjutan menjadi tantangan serius bagi pemerintahan saat ini.
Menurutnya swasembada beras yang telah dicapai pada periode sebelumnya ternyata masih sangat rapuh, karena tidak mampu dipertahankan dan Indonesia kembali membuka opsi impor. “sebagai negara besar dan memiliki basis lahan pertanian yang luas, seharusnya opsi kita adalah bagaimana bisa mengirimkan pangan kita ke seluruh dunia, bukan sebaliknya”, jelas Najib. Dosen IPB yang tengah melanjutkan S3 di Tokyo ini menambahkan bahwa kepentingan bisnis dari segilintir orang seringkali dominan dalam mempengaruhi kebijakan impor beras di Indonesia.
Najib mengatakan “selama ini impor beras sering dilakukan dengan mengabaikan aspirasi petani, disini memang pemerintah diuji apakah mereka berpihak pada petani domestic yang notabene adalah anak bangsa yang harus dijaga atau berpihak pada petani asing dan broker-brokernya di Indonesia”.
Atase Ekonomi (M. Abbas Ridwan) memberikan kenang-kenangan
Jika mengacu pada data tahun 1968 dengan melihat trend yang terjadi dan membandingkannya dengan situasi tahun 2008 maka sebenarnya produksi beras Indonesia bukan hanya memadai untuk memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia, melainkan surplus. “Luas panen Indonesia pada tahun 1968 ada dibawah 4 juta hektar dan pada tahun 2008 sudah mencapai 7 juta hektar, produktivitas padi perhektar juga menunjukkan peningkatan dimana pada tahun 1968 angkanya dibawah 3 ton perhektar dan pada tahun 2008 hampir mencapai 6 ton perhektarnya”, demikian dikatakan Kano.
Sebenarnya tingkat produktivitas padi Indonesia masih bisa ditingkatkan lagi, karena memang masih belum mencapai tingkat yang maksimum. Namun berbagai persoalan memang seringkali sangat memberatkan petani sehingga kurang memotivasi petani Indonesia. Dalam hal kesejahteraan misalnya, Kano mengatakan bahwa tidak bisa diperbandingkan antara petani jepang dengan petani Indonesia. Petani jepang hanya 20% yang spesialis, sisanya hanyalah petani paruh waktu, sementara di Indonesia sebaliknya. “Petani jepang, khususnya petani beras sangat dilindungi oleh pemerintah Jepang, sehingga petani beras disini bisa hidup sejahtera”, jelas Profesor yang sangat fasih berbahasa Indonesia ini.
Acara yang terselenggara atas kerjasama antara IASA dengan PPI-The University of Tokyo dan didukung oleh Kedutaan Besar Respublik Indonesia (KBRI) di Tokyo ini dihadiri oleh Atase Ekonomi dan Atase Pertanian. Seminar akhir tahun ini diakhiri dengan semangat bersama untuk membangkitkan kembali pertanian Indonesia di masa yang akan datang.
Farah Fahma;Humas IASA