Pemerintah China memberlakukan situasi darurat di Xinjiang dan memerintahkan agar semua akses internet ditutup. Kebijakan itu diambil menyusul kerusuhan di ibukota Xinjiang, Urumqi sejak hari Minggu (5/7) kemarin. Korban tewas akibat kerusuhan itu mencapai 156 orang.
Kantor berita Cina, Xinhua melaporkan, polisi anti huru hara menangkap 1.500 orang dalam kerusuhan hari kedua, Senin kemarin. Pemerintah China menuding dalang kerusuhan di Xinjiang adalah tokoh-tokoh Muslim China Uighur di pengasingan, bekerjasama dengan kelompok pro-kemerdekaan yang juga terlibat kerusuhan di Tibet bulan Maret tahun 2008 kemarin.
Dalam pidatonya di televisi, Gubernur Xinjiang yang juga seorang Uighur, Nuer Baikeli menyebut "tiga kekuatan" yang dinilainya sudah memanfaatkan aksi protes massa. Menurut istilah yang digunakan pemerintah China, "tiga kekuatan" itu adalah kelompok separatis, kelompok militan dan kelompok ektrimis keagamaan.
Sebuah sumber di pemeirntahan China, seperti dikutip Xinhua, bahkan menuding kerusuhan itu didalangi oleh organisasi Kongres Uighur Dunia pimpinan Rabiya Kadeer. "Ini merupakan aksi kekerasan yang sudah direncanakan dan diorganisir," demikian laporan Xinhua.
Rabiya Kadeer yang kini mengasingkan diri di AS belum memberikan komentar atas tuduhan itu. Pemerintah China selama ini menuduh Rabiya memimpin gerakan separatis dan pernah dipenjarakan selama bertahun-tahun di China.
Sementara itu, komunitas-komunitas Ughur lainnya yang berada di pengasingan menolak tuduhan pemerintah China. Mereka mengatakan, kebijakan diskriminatif pemerintah-lah yang telah memicu aksi protes yang berujung pada kerusuhan dan aksi anarkis.
"Mereka menyalahkan kami untuk mengalihkan perhatian atas penindasan dan diskriminasi yang dilakukan pemerintah China terhadap Muslim Uighur," kata jubir Kongres Uighur Se-dunia, Dilxat Raxit dari tempat pengasingannya di Swedia.
Sudah bertahun-tahun masyarakat Muslim Uighur memprotes penindasan dan diskriminasi yang dilakukan pemerintah China. Pemerintah memberikan perlakukan berbeda terhadap Muslim Uighur dengan komunitas Han dari etnis China. Meski jumlah Muslim di Xinjiang lebih dari setengah dari 20 juta jiwa total populasi penduduk di wilayah itu.
"Pemerintah selalu merendahkan kami. Mereka bahkan tidak mau melihat kami karena kami dianggap sebagai manusia bermartabat rendah," kelih seorang Muslim Uighur yang membuka usaha dry-clean di Urumqi.
Ribuan massa hari Senin kemarin kembali terlibat bentrokan dengan 2.000 aparat polisi yang dikerahkan ke Urumqi. Kerusuhan itu menjadi kerusuhan paling buruk di Xinjiang. Pemerintah memberlakukan situasi darurat untuk mengendalikan situasi dan memerintahkan seluruh akses internet ditutup.
"Sejak hari Minggu malam, kami tidak mengakses internet," kata Han Zhenyu, seorang pemilik toko di Urumqi. (ln/aby/iol)